.
.
.
.
.

‘With The End of The Could War, Has Liberal Democracy Triumhped AS A Global Phenomenon?’ by Fukuyama & Barber

Posted by Edy Jayakarya

By : M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Review Artikel

Pada intinya, artikel ini berusaha menjawab sebuah pertanyaan, yaitu apakah demokrasi menjadi sebuah fenomena global pasca berakhirnya Perang Dingin? Hal ini dilatarbelakangi era Perang Dingin yang diwarnai oleh pertarungan dua ideologi besar antara AS yang liberal-kapitalis dengan Soviet yang sosialis-komunis. Pada 1980-an dan 1991, kekuatan dan simbol komunis hancur ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Soviet sebagai sebuah negara induk komunisme. Peristiwa tersebut kemudian menandai berakhirnya Perang Dingin dalam sistem politik internasional. Hal yang menarik untuk dilihat bahwa berakhirnya Perang Dingin telah memunculkan AS sebagai kekuatan global tunggal dimana sistem internasional pada waktu itu berubah dari bipolarisme ke unipolarisme AS. Nah apakah dengan “tersingkirnya“ Soviet telah membuat AS leluasa menyebarkan paham demokrasinya tersebut secara global dimana pada waktu Perang Dingin hal itu sulit dilakukan karena selalu berhadapan dengan ideologi Komunis Soviet yang juga berpengaruh dalam sistem internasional? Fenomena tersebut kemudian dipandang dengan berbeda oleh Fukuyama dan Barber dimana dua orang ini saling berargumen bahwa di satu sisi–menurut Fukuyama–AS memiliki momentum untuk menyebarkan Demokrasi dan liberalisasi dan menjadikannya mainstream dalam sistem global, tapi disisi lain–menurut Barber–kekuatan AS sebagai satu-satunya super power tidak dengan begitu saja bisa diterima oleh negara-negara tertentu terlebih sifat intervensionis dan tekanan-tekanan AS terhadap negara non-demokrasi telah menimbulkan resistensi terhadap demokrasi itu sendiri, bahkan resistensii tersebut dapat membahayakan posisi AS sebagai super power. Setidaknya ada dua hal yang berbeda dalam menilai fenomena tersebut.

Fukuyama yakin pada tesis “the End of History and the Last Man”-nya bahwa berakhirnya Perang Dingin membawa AS sebagai satu-satunya siper power yang berpengaruh terhadap dunia internasional. Implikasinya adalah de-ideologisasi dunia dimana hanya ideologi liberal demokrasilah yang menjadi sebuah keniscayaan bagi dunia. Era ini adalah era berakhirnya sejarah dimana hanya ada satu pemenang yang akan eksis dan menyebarkan pengaruhnya secara global. Dan itu menjadi dasar bagi demokrasi di AS untuk menjadi sebuah paham yang dianut oleh semua negara. Terlebih ini disokong dengan kemajuan-kemajuan pembangunan yang ada di Barat–jika dibandingkan dengan Komunis–dengan kerangka liberalisasi dan demokrasinya telah menjadi ketertarikan sendiri bagi dunia untuk menerapkan paham tersebut. Apalagi era globalisasi ekonomi semakin memerlukan daya saing yang kuat untuk tetap eksis dalam sistem yang anarkis ini. Dan demokrasi adalh jawabannya untuk menuju kemakmuran dan kemajuan tidak hanya ekonomi tapi juga politik dan sosial. Hal ini kemudian menguatkan argumen yang mengatakan bahwa demokrasi berjalan seiring dengan kemajuan dan kemakmuran ekonomi suatu negara karena iklim politiknya mendukung kompetensi yang bebas. Dan ini akan membawa kemajuan. Tentunya, argumen Fukuyama ini didukung dengan fakta-fakta yang ada antara lain mulai munculnya gerakan dan proses demokratisasi di Eropa Timur dan Tengah dimana dulunya merupakan bagian dari pengaruh Soviet-komunis. Transformasi sosial antara German Timur dan German Barat yang berhasil dengan kerangka nilai demokrasi. Berkembangnya negara-negara yang menganut demokrasi, yaitu hampir dua per tiga populasi dunia. Dan fenomena globalisasi dengan kerangka liberalisasi pasar telah membuat demokrasi menjadi suatu keniscayaan bagi dunia dan inilah yang disebut The Last Man.

Berseberangan dengan Fukuyama, Barber menilai bahwa meskipun AS muncul sebagai kekuatan dunia dan demokrasi menjadi trend utama dalam dunia kontemporer, bukanlah suatu alasan tidak adanya gerakan-gerakan perlawanan terhadap sifat intervensionis dan dominasi AS terhadap dunia. Hal ini kemudian memunculkan sikap resisten terhadap demokrasi dan liberalisme karena sifat imperative-nya telah membuat keunikan dan karakter khas suatu kelompok teredusir oleh nilai-nilai Amerikanisasi (McWorld) atau “Universalisme”. Tak heran jika resistensi tersebut memunculkan gerakan-gerakan jihad terutama di Timur Tengah yang sudah muak dengan campur tangan AS disana yang malah menimbulkan kedisharmonisan antar negara dan instabilitas kawasan tersebut. Fenomena jihad ini muncul didasari oleh rasa nasionalisme yang inklusif atas bangsanya untuk tidak didominasi dan didekte oleh kekuatan asing. Hal ini telah menjadi fenomena umum di dunia sekarang. Akibatnya, ada semacam masa depan yang suram bagi keberlangsungan demokrasi di dunia sehingga demokrasi pada kenyataannya bukanlah sebuah jawaban atas berakhirnya Perang Dingin dan ia bukan pula sebagai the last history and the last man, seperti kata Fukuyama, tapi ia semata-mata hanyalah alternatif yang “dipaksakan”. Tak heran implikasi gerakan jihad ini memunculkan gerakan-gerakan terorisme sebagai manifestasi atas resistensi terhadap demokrasi. Fenomena ini sangat marak di dunia terutama dunia muslim dan Timur Tengah.

Jadi apakah benar jawaban dan argumentasi mereka berdua, inilah yang menurut kaum postmodernis dikatakan binary opposition dalam sejarah pembangunan dan kemajuan peradaban manusia. Kita lihat saja…

0 comments:

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.