.
.
.
.
.

“Thailand  Political Culture: Problems of Development of Democracy” by Thinapan Nakata

Posted by Edy Jayakarya

By : M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Review Artikel

Berbicara mengenai Thailand, masalah kudeta militer dan rezim junta militer sangatlah kental dalam perpolitikan di Thailand. Tak heran jika proses demokratisasi disana mengalami hambatan dan tantangan menuju sistem demokrasi yang sesungguhnya. Tentunya dinamika ini tak lepas juga dari budaya politik masyarakat Thai yang masih bersandar dan berpegang pada nilai-nilai tradisional, sementara dalam demokrasi membutuhkan nilai-nilai kontemporer yang mengacu pada budaya Barat. Hal inilah yang kemudian berimplikasi pada pembentukan state-building dan konstitusi yang mengatur distribusi kekuasaan politik Thailand dimana selalu diwarnai oleh perebutan dan persaingan antara elit militer, sipil, dan cendekiawan.

Nilai paternalisme dan patriakal dalam budaya Thai masih melekat erat, dimana mereka menganggap raja sebagai “father” dalam mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, raja dianggap sebagai perwakilan Wisnu, Siwa, dan Budhisattava yang merupakan titisan dewa. Sehingga tak heran bila masyarakat Thai lebih mencintai raja daripada politik. Segala tindak raja merupakan pengejahwantahan dewa yang harus dipatuhi. Hal ini kemudian bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang dilandaskan pada nilai-nilai liberal. Nilai-nilai tersebut tidak hanya bertentangan tapi nilai tradisional tersebut teatap dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Thai. Akibatnya, budaya politik dan derajat partisipasi masyarakat Thailand sangat pasif. Padahal untuk membangun sistem demokrasi diperlukan budaya dan derajat partisipasi politik yang signifikan, yaitu sebuah budaya politik partisipan dan subjek (Almond). Implikasinya adalah, dengan kepasifan politik masyarakat Thailand, maka perebutan kekuasaan antara militer, sipil, dan cendekiawan selalu terjadi dan ini menjadi salah satu problem lain dalam demokrasi di Thailand. Elit militer merasa dirinya memiliki kapabilitas dan kapasitas dalam menjalakan pemerintahan dan negara karena latarbelakang pendidikan akademi militer dapat membuat mereka berpikir strategis dan taktis yang memang diperlukan oleh pertahanan dan keamanan negara. Selain itu, secara historis mereka menganggap dirinya berjasa atas pertahanan dan keamanan Thailand dari kekuatan eksternal baik pada zaman monarki maupun saat revolusi. Di pihak lain, sipil menganggap bahwa masalah politik merupakan wilayah sipil yang harus lepas dari campur tangan militer. Mereka cenderung mendukung profesionalisme militer daripada fungsi militer di ranah politik. Anggapan mereka bahwa campur tangan militer dapat menghambat proses politik dan demokrasi. Menurut Sundhaussen (1999) bahwa kebiasaan militer cenderung anti-demokrasi. Lanjutnya bahwa persepsi tentang lawan dan bagaimana berurusan dengan mereka sering kali menggiring rezim militer memperlakukan lawan politik lebih keras dari sepatutnya sehingga merintangi penyelesaian politik. Sementara, pihak cendekiawan menganggap bahwa dalam menjalankan pemerintahan dan negara diperlukan sebuah kerangka berpikir dan ilmu mengenai pemerintahan dan politik dimana hanya kaum cendekiawan itulah yang bisa melakukan. Dengan pondasi pengetahuan dan ilmu yang yang mereka miliki tersebut mereka menganggap bisa menjalankan dan selalu menemukan penyelesaian masalah dalam menghadapi krisis.

Perselisihan dan persaingan politik tersebut pada hakikatnya tak membawa masyarakat Thailand pada kondisi riot seperti di Filipina ataupun Myanmar. Karena peran Raja tetap eksis sebagai simbol zaman keemasan Thailand dan sebagai pengayom masyarakat Thai. Setidaknya pandangan tersebut menjadikan masyarakat Thai sebagai masyarakat yang “tentram” tanpa ada pertumpahan darah sebagai akibat persaingan kaum elit tersebut.

Secara garis besar, ada beberapa karakteristik budaya politik Thailand, yaitu:

  1. Otoritarianisme => budaya politik yang ada di Thailand cenderung mengarah pada otoritarianisme dimana kepemimpinan dipandang sebagai representasi dari dewa sehingga pelaksanaan perintah nyaris tanpa celah untuk dikritisi. Terlebih ini didukung dengan budaya patriakal dan paternalistik yang cenderung mengagungkan pemimpin sebagai “father” dalam keluarga yang punya wewenang dan kekuasaan atas keluarganya.
  2. Patron Klien => kaum elit lebih mengedepankan kepentingan kelompoknya sendiri dari pada kepentingan untuk melayani rakyat. Sehingga karakter elit lebih pada “tuan yang diagungkan” dari pada “servant of people”. Hal ini berdampak pada hubungan antar elit atas kelompoknya lebih kuat daripada dengan rakyat.
  3. Personalisme => hubungan personal lebih penting dalam politik Thailand. Begitu pula fungsi seorang tokoh akan sangat menentukan garis kebijakan politik karena orang Thailand yang pragmatis lebih melihat figur tokoh daripda ideologi ataupun latarbelakang partai.
  4. Hirarkis => orang Thailand lebih mementingkan tingkatan status daripada pencapaian seseorang. Senioritas, strata sosial, kekayaan, menjadi faktor utama daripada prestasi seseorang. Hal ini kemudian yang mengarahkan masyarakat Thailand pada masyarakat yang unequal.
  5. Tradisionalisme => masyarakat Thailand masih memegang kuat kepercayaan mistis dan tahayul serta kepercayaan pada nenek moyang. Hal ini membuat irasionalitas menjadi hal yang umum terjadi dalam menghadapi kehidupan (sifat konservatif).
  6. Pasivitas => sifat tradisional dan percaya pada adanya hirarki serta takdir membuat masyarakat Thailand menjadi pasif dan tidak memiliki interest terhadap proses dan partisipasi politik.
  7. Cinta Damai => hal ini tak lepas dari pengaruh agama Budha yang dianut orang Thailand yang mengajarkan ajara-ajaran cinta dan damai. Sehingga mereka lebih memilih untuk mengalah dalam rangka mencapai kedamaian bersama aripada konfrontasi yang berdampak pada ketidakdamaian. Sehingga tak heran manakala terjadi kudeta militer tidak sampai terjadi peristiwa berdarah. Karena selain peran Raja yang berpengaruh terhadap legitimasi kudeta tersebut, peran agama Budha yang cinta damai juga tak kalah pengaruhnya terhadap way of life masyarakat Thai.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dilihat bahwa demokrasi yang ada di Thailand akan selalu mengalami dan menghadapi two face of dillema dan binarry opposition, yaitu di satu sisi nilai demokrasi berusaha diterapkan dan dijalankan dengan sepenuh hati namun disisi lain ada nilai-nilai tradisional yang berberturan dengan paham demokrasi. Terlebih hal itu diperparah dengan persaingan politik antara kaum elit yang ada. Jadi, proses transisi menuju Demokrasi yang sesungguhnya sesuai dengan nilai-nilai liberalisme sangat panjang dan berliku yang musti dihadapi oleh Thailand.

Tentunya untuk menerapkan sebuah rezim demokrasi di Thailand butuh waktu yang panjang dan proses adaptasi yang memakan biaya-sosial yang tinggi manakala nilai-nilai liberalisme Barat harus menjadi nilai utama dalam tranformasi sosial menuju demokrasi sesungguhnya. Hal ini diperlukan karena, demokrasi tidak akan bisa diterapkan tanpa menerapkan nilai-nilai Barat yang memang merupakan pondasi utama bagi kemajuan demokrasi suatu negara. Permasalahan yang muncul adalah apakah masyarakat bisa menerima dengan begitu saja sebuah nilai yang bukan merupakan nilai yang berasal dari budaya setempat? Tentunya antara ya dan tidak. Ya, jika mereka telah merubah tatanan nilai dan norma sesuai dengan nilai Barat. Tidak, jika mereka menganggap bahwa nilai tradisional mereka merupakan nilai yang tidak dapat dihilangkan dan ditinggalkan begitu saja karena telah mengakar kuat dalam akar budaya dan sistem kepercayaan mereka. Bagi masyarakat Thai, hal tersebut cenderung pada Tidak, karena nilai-nilai yang mereka miliki meruupakan nilai warisan nenek moyang dan merupakan hal yang sakral apabila ditinggalkan. Terlebih, akar budaya agama Budha sangatlah kental dalam membentuk karakter masyarakat Thai. Tak heran jika budaya politik mereka adalah Parokial, dicirikan dengan rendahnya pengetahuan dan kesadaran politik, dan Subjek, dicirikan kepatuhan pada pejabat-pejabat pemerintahan dan hukum yang berlaku.

Oleh karena itu, merujuk pada kaum postmodernis, nilai-nilai demokrasi pada hakikatnya bisa diterapkan sesuai dengan tata nilai dan budaya yang ada di Thailand sendiri, jadi Demokrasi ala Thailand. Karena, pembangunan politik dan sosial suatu bangsa bisa jadi sama, yaitu ingin mencapai masyarakat yang adil, makmur, dan madani, namun wujud untuk mencapainya berbeda. Sehingga nilai terbaik bagi Thailand sebenarnya bukanlah nilai Demokrasi sesuai dengan standar Barat tetapi dapat diadaptasi dan dimodifikasi dengan nilai-nilai dan tradisi Thai yang pada akhirnya akan tercipta rezim demokrasi sesuai dengan social-character masyarakat Thai. Bila itu tercapai maka tidaklah suatu hal yang mustahil jika kondisi politik akan stabil tanpa ada persaingan antar elit.

Hal yang perlu dilihat lagi adalah untuk membangun rezim demokrasi ala Thailand seharusnya ketiga elit yang bertentangan tersebut harus menyadari akan nilai-nilai Thai sehingga mereka dapat berkumpul bersama dengan raja dan rakyatnya untuk membentuk semacam konsensus nasional bagi pembanguanan state building yang diinginkan. Tetapi, apakah itu mungkin? Kita lihat saja bagaimana tekanan dari negara tetangga terhadap Thailand akan merubah semua itu dan bagaimanan kaum elit tersebut sadar akan posisi nilai di masyarakat Thai. Sekali lagi kapan?


0 comments:

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.