.
.
.
.
.

Kebangkitan Islam di Indonesia

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Krisis ekonomi yang terjadi sejak akhir tahun 1997 dengan demikian jelas menimbulkan dampak-dampak signifikan terhadap perkembangan Islam di negeri ini. Perkembangan tersebut akan terus berlanjut mengikuti perkembangan zaman yang semakin jauh dari nilai-nilai agama dimana kemajuan zaman semakin membuat manusia kehilangan jati dirinya dan “kekacauan” karena sistem yang sangat sekuler. Lebih dari itu, berlarut-larutnya krisis ekonomi yang terjadi membukakan kenyataan tidak hanya rapuhnya “kelas menengah Muslim” tetapi juga bahkan ekonomi dan juga politik Indonesia ketika berhadapan dengan globalisasi (Azra 1999: xviii).

Dilihat dari perspektif perkembangan internalnya, umat Islam Indonesia sendiri kelihatannya semakin plural. Globalisasi pemikiran Islam yang memasuki Indonesia semakin beragam, sehingga “klaim-klaim kebenaran” dari pihak tertentu di dalam umat Islam Indonesia sendiri semakin kehilangan momentumnya. Secara aktual dapat dilihat, bahwa perbedaan dan pertikaian aliran di kalangan umat Islam, seperti antara Muhammadiyah dan NU misalnya, semakin tidak populer. Dan ini terlihat dari motif-motif kemunculan partai-partai politik Islam yang disebabkan persoalan furu’iyah, atau perbedaan mahzab dan aliran, tetapi lebih karena konteks pengaruh dan kekuasaan di kalangan elit kepemimpinan Muslim (Azra 1999: xix).

Sementara itu, para pengamat pernah memprediksi bahwa jika ada “kebangkitan Islam”, maka kebangkitan Islam itu akan terjadi di Indonesia atau Malaysia, atau tepatnya Asia Tenggara. Menurut Azra (1999, pp. 19-24), dengan berlanjutnya krisis ekonomi, politik, dan sosial di Indonesia, maka prediksi tersebut agaknya perlu dikaji kembali. Namun, variabel-variabel krisis tersebut dapat diabaikan atau jangan terlalu dibuat sebagai suatu problematika bagi kebangkitan Islam. Karena, pada hakekatnya krisis tersebut terjadi karena sistem yang “tidak harmonis” (baca: kacau) antara manusia, kehidupan, dan lingkungannya (an-Nabhani 2003). Jika kita memiliki keinginan dan kemampuan untuk mempengaruhi dan merubah sistem politik yang ada dengan suatu sistem yang benar-benar menyeluruh dalam memandang kehidupan–dalam arti yang seluas-luasnya–secara jelas dan objektif sehingga pemaknaan kehidupan akan dikaitkan dengan kehidupan selanjutnya–yang merupakan sebuah keniscayaan–pada akhirnya akan menimbulkan sinergi antara materi dengan rohani/spiritualitas. Dari sana akan terlihat suatu kehidupan yang penuh dengan “keharmonisan” dan ketawadu’an serta penuh kasih dan sayang antara manusia dengan sesama maupun dengan mahluk hidup ciptaan Allah Swt. serta dengan lingkungan sekitarnya.

Mengenai akan adanya kebangkitan/revivalisasi Islam ini, terdapat suatu pendapat yang sangat “mencolok” seperti yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dalam sebuah bukunya yang berjudul The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (dalam Rudy 2003: 72-74) mengatakan bahwa akan terjadi suatu benturan peradaban antara Islam dan Barat (baca: Amerika Serikat) setelah perseteruan dan perselisihan ideologi yang sebelumnya antara Barat, yang liberal kapitalis, dengan Komunis, yang dianggap diktator otoritarian. Lanjutnya bahwa musuh kedua Barat (baca: Amerika Serikat) setelah Komunis runtuh adalah Islam dan konfusianis (baca: Republik Rakyat Cina). Tesisnya mengenai benturan peradaban antara Islam dan Barat didasari oleh beberapa asumsi dan konflik yang terjadi diantaranya sebagai berikut.

a). Term la guerra fria merupakan istilah yang digunakan oleh orang-orang Spanyol abad XIII untuk melukiskan hubungan yang tidak “menyenangkan” antara mereka dengan umat Islam Mediteranian, dan pada tahun 1990-an, sebagian orang melihatnya sebagai “perang dingin peradaban” yang kemudian kembali terulang dalam hubungan antara Barat dengan Islam;

b). Islam adalah satu-satunya peradaban yang mampu membuat Barat selalu berada dalam keraguan antara hidup dan mati, dan ia telah melakukannya, setidak-tidaknya, dua kali yaitu ketika Khilafah Turki Utsmani melemahkan kekuatan Byzantyum dan kemudian menaklukan sebagian besar di wilayah Balkan serta Afrika Utara, serta mengepung Konstantinopel pada tahun 1453, kemudian pada tahun 1529 menyerbu Wina;

c). Bahwa 50% dari seluruh penyerangan yang terjadi di pelbagai negara antara tahun 1820 sampai dengan 1929 merupakan perang agama antara Islam dengan Kristen;

d). Konflik, di satu pihak disebabkan adanya perbedaan kondes Islam, terutama menyangkut pandangan hidup, mentransendensikan dan menyatukan antara agama dan politik versus konsep Kristen yang memisahkan antara Tuhan dengan Kaisar;

e). Tingkatan konflik antara Islam dengan Kristen senantiasa dipengaruhi oleh siklus pertumbuhan penduduk, kemajuan ekonomi, perubahan teknologikal, dan intensitas komitmen keagamaan;

f). Selama Islam tetap sebagai Islam (dan akan tetap demikian), Barat tetap Barat (yang tampaknya tidak bisa dipastikan), konflik fundamental antara dua peradaban besar dan dua way of life ini akan terus terjadi di masa yang akan datangsebagaimana ia pernah terjadi empat belas abad yang lalu;

g). Selama lima belas tahun, antara tahun 1980-1995, menurut Departemen Keamanan AS, Amerika Serikat telah melakukan tujuh belas operasi militer di Timur Tengah, seluruhnya diarahkan untuk menyerang Islam. Tidak pernah dilakukan bentuk-bentuk operasi miiter AS yang demikian itu terhadap peradaban-peradaban lain;

h). Bagi Barat, yang menjadi “ganjalan” utama bukanlah fundamentalisme Islam, tetapi Islam itu sendiri, sebuah peradaban yang masyarakatnya berbeda dengan kebudayaan yang mereka diyakini memiliki keunggulan dan terobsesi dengan inferioritas kekuatan mereka.

Itulah benturan peradaban yang disampaikan oleh Huntington. Poin yang ingin disampaikan disini adalah bahwa Islam baik sebagai agama dan ideologi sangatlah mempunyai potensi dan kemampuan yang dapat “memusingkan” Barat sehingga tidak menutup kemungkinan Islam akan bangkit kembali seperti mengalami kejayaan dan kemajuan masa lalu. Dan hal ini akan menjadi resistensi bagi Barat sendiri.

Dan adapun kaitannya dengan Islam di Indonesia maka akan sangat menguntungkan dan berpotensi sekali apabila Islam telah “revival” di seluruh dunia, entah awal dari revivalitas Islam itu sendiri berada di Indonesia, Malaysia, Iran, Mesir, Arab, Brunai atau di negara/tempat lain–entah dimana itu–yang pasti revivalitas Islam, menurut penulis, kemungkinan besar akan terjadi. Dan revivalitas itu akan mempengaruhi kedinamikaan politik dan sosial di Indonesia karena Indonesia merupakan negara Muslim terbesar di dunia. Dan pada saat itu umat Islam akan bersatu di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang apabila hal itu (baca: revivalitas) terjadi maka kemungkinan besar negeri tercinta kita akan menjadi Negara yang berazaskan Islam, suatu agama yang diridhoi oleh Allah Swt. untuk menjadi agama seluruh umat manusia dengan al-Quran dan al-Hadist sebagai pedoman hidupnya. Terlihat jelas betapa revivalitas Islam kemungkinan besar akan terjadi bahkan memiliki prospek juga di Indonesia, Islam di Indonesia akan revival.

Selain dari kerangka Huntington bahwa pada akhir abad ke-20 terjadi kebangkitan agama di seluruh dunia yang melibatkan intensifikasi kesadaran keagamaan dan menggejalanya gerakan-gerakan fundamentalis, berdasarkan Word Christian Encyclopedia 1982 bahwa sebagai hasil kenaikan jumlah penduduk dunia yang luar biasa, jumlah pemeluk agama Islam terus mengalami kenaikan secara dramatis, dan mencapai sekitar 20% dari seluruh penduduk dunia pada peralihan abad ke-20, yang beberapa tahun kemudian, akan mencapai kurang lebih 30% dari seluruh penduduk dunia pada tahun 2025. Hal ini juga mengisyaratkan pada Islam di Indonesia bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah beragama Islam, artinya agama Islam adalah agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat/warga negara Indonesia dari pada agama yang lainnya. Sehingga, dengan mengabaikan dan tidak terlenakan oleh perbedaan-perbedaan paham/aliran yang ada, sekali lagi bahwa prospek kebangkitan Islam di Indonesia adalah sangat besar.

Seperti yang diungkapkan oleh Azra (1999: 17-18) bahwa pengalaman Islam di Indonesia dalam [dua] dasawarsa terakhir membuat kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Islam tidaklah mengalami kebangkrutan dalam proses modernisasi. Seperti diketahui, banyak ahli seperti Donald E. Smith, Robert Bellah atau pakar/pendeta Protestan semacam Harvey Cox berteori bahwa agama akan mengalami kebangkrutan dan tersingkir dalam kehidupan masyarakat yang semakin teknokratis dan impersonal tidak lagi memerlukan agama, dan bahkan harus disingkirkan karena dianggap menghalangi modernisasi (Arif dalam Islamia vol. III no. 2, Januari-Maret 2007). Berheda dengan teori-teori tersebut, agama bahkan mengalami kebangkitan dan menemukan momentum dan vitalitas baru dalam modernisasi. Dengan demikian, jelaslah bahwa teori-teori yang berangkat dari kerangka sosio-kultural (sosio-cultural framework) Barat tidak selalu mampu mejelaska fenomena dan perkembangan masyarakat-masyarakat non-Barat, seperti masyarakat Islam. Pengalaman historis dan sosiologis Barat yang mempunyai latar belakang kultural keagamaan Kristen tidak harus sama dengan pengalaman Indonesia dengan lingkungan dan latar belakang sosial keagamaannya yang banyak diwarnai Islam (Azra 1999).

Oleh karena itu, jelas bahwa revivalisme Islam ini akan sangat berpengaruh sekali terhadap sistem sosial-politik di Indonesia. Sehingga kalangan muslim akan menjadi “suatu hal” yang sangat serius untuk sangat diperhatikan karena mereka telah memiliki potensi dan kemampuan serta kapasitas yang telah didukung oleh revivalisme Islam. Dimana revivalisme ini tidak hanya di Indonesia tapi seluruh Dunia untuk kembali berjaya seperti pada masa kejayaannya dulu, yaitu saat dipimpin oleh Rosulullah saw. dan pada zaman khalifaur rosyidin yang dipimpin oleh seorang khalifah–dimana khalifah ini menjadi pemimpin umat Islam sedunia. Maka timbullah persatuan yang kuat dan rasa persaudaraan yang tinggi seperti yang diajarkan oleh Rosulullah saw, bahwa sesama muslim adalah bersaudara, seperti apabila ada bagian dari tubuh kita yang sakit maka yang lainnya akan merasakan sakit juga. Di saat itulah entitas negara Indonesia akan menemui suatu “pembaruan sistem” yang pada akhirnya segala sesuatunya akan merujuk pada al-Quran dan al-Hadist. Mengenai perbedaan penafsiran al-Quran dan al-Hadist tidaklah perlu dikhawatirkan karena telah ada suatu khalifah yang memimpin umat Islam yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan atas hal tersebut (Kurnia dalam al-Wa’ie no. 86 tahun VII, 1-31 Oktober).

Salah satu momen yang terkait dengan revivalisme ini misalnya, pada 12 Agustus 2007 kemarin Hizbut Tahrir Indonesia telah mengadakan Konferensi Khilafah Internasional di Stadion Glora Bung Karno. Konferensi yang dihadiri seratus ribuan orang ini memberikan nuansa yang berbeda terhadap kebangkiatan Islam karena komitmen untuk mendirikan manhaj Kenabian (baca: Khilafah Islamiah) merupakan tujuan utama bagi HTI agar syariah bisa diterapkan di Indonesia. Manakala dibandingkan dengan muktamar NU ataupun Muhammadiyah maka sangat jauh sekali karena kedua gerakan Islam ini memiliki metoda yang beda dalam menerapkan syariah yang tidak harus melalui pemerintahan Islam (Khilafah). Menurut Hasyim Muzadi, yang dikutip dari Gatra.com, 9 Juli 2007 mengatakan,

“meskipun sama-sama berdakwah dan berjuang untuk menegakkan ajaran Islam, katanya, NU dan HTI memiliki pandangan yang mendasar tentang konsep kenegaraan. NU turut berjuang dalam upaya kemerdekaan Indonesia dan akan tetap mendukung tegaknya NKRI, sementara HTI berjuang mengembangkan Khilafah Islamiyah.”

Di lain pihak Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin ketika diwawancarai oleh ANTARA (Kapanlagi.com 2007) mengatakan,

“Saya kira kita sudah final dengan NKRI dan Pancasila sebagai landasan kita berbangsa dan bernegara, katanya, silakan saja HTI menganggap Khilafah Islamiyah sebagai kepemimpinan Islam. Tetapi dalam Islam, makna khilafah sangat luas dan banyak persepsi. Misalnya, setiap orang adalah khilafah atau pemimpin dalam dirinya sendiri.”

Terlepas dari perbedaan tersebut yang pasti dalam sejarah Indonesia, Islam memiliki pengaruh kuat terhadap dinamika bangsa ini yang berdampak pada kebangkitannya kembali.

Jadi, mengenai revivalisme Islam tidaklah perlu diragukan lagi karena banyak pengamat politik khususnya, telah memprediksikan hal tersebut dan sebagai konsekuensinya akan berimbas kepada Indonesia yang memiliki potensi muslim terbesar di seluruh dunia. Mengenai dimanakah–wilayah atau negara tertentu–revivalisme Islam itu terjadi, masih perlu dikaji dan diteliti lebih jauh lagi. Dan hal ini merupakan pertanyaan besar bagi kita, apakah akan terjadi di Asia Tenggara (tepatnya apakah di Indonesia, Malaysia, atau dimana?) atau terjadi di Timur Tengah (Arab Saudi, Mesir, Iran, atau dimana?) ataukah di Eropa mungkin, Amerika mungkin, atau dimana? Yang pasti (baca: kemungkinan besar) akan memiliki pengaruh bagi Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar.


Research

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Penelitian merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat dimana beberapa aspek dari fenomena dan problem social dapat diteliti dan dipecahkan dengan menerapkan alternatif yang tepat, tentunya itu dilakukan dengan melakukan sebuah peneltian terlebih dahulu. Dalam konteks ini, penelitian yang dimaksud adalah penelitian yang berdasakan pada prosedur yang sistematis dan ilmiah. Menurut Silalahi (2006: 1-3) penelitian merupakan sebuah upaya melakukan penyelidikan yang dilakukan secara sistematis dengan menimbang prosedur ilmiah untuk menemukan sebuah jawaban atas pertanyaan yang kita ajukan sehingga menghasilkan sebuah alternatif solusi atas masalah tersebut. Selain sebuah alternative solusi, hasil penelitian juga dapat menambah kazanah pengetahuan yang berguna bagi pengembangan bidang studi atau ilmu tertentu. Dapat didefinisikan bahwa penelitian merupakan suatu upaya sistematis melalui prosedur dan langkah-langkah tertentu untuk mencari jawaban atas suatu masalah.

Karena merupakan bagian integral dari masyarakat, penelitian sangatlah penting untuk membantu menemukan pokok persoalan sehingga jawaban atas persoalan tersebut dapat secara tepat memberikan solusi yang tepat pula tanpa ada side effect yang signifikan untuk menimbulkan persoalan baru. Pada dasarnya, penelitian merupakan bagian dari berbagai cara untuk menemukan sesuatu. Cara lain mungkin dapat dilakukan dengan intuisi, persepsi, pernyataan, analisis permukaan, dan lain-lain. Namun, hanya dengan penelitian, jawaban sebuah persoalan dapat dipandang secara objektif dan kritis sehingga benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara reliable dan empiris (ilmiah). Selain itu, penelitian dilakukan juga didasarkan pada sifat dasar dari manusia yaitu, adanya “curiosity” (rasa ingin tahu). Dari rasa ingin tahu inilah mereka melakukan penelitian untuk memperdalam persoalan dan memperluas ilmu yang dikajinya. Ini menunjukkan mengapa penelitian itu dilakukan.

Seperti yang dijelaskan di atas bahwa, penelitian memerlukan prosedur yang sistematis dan ilmiah. Untuk itu, dalam melakukan penelitian harus mengetahui dan memahami betul apa itu metodologi penelitian. Karena metodologi merupakan hal yang sangat fundamental mengenai bagaimana kita tahu sesuatu tersebut. Metodologi dapat diartikan sebagai prosedur mengenai bagaimana kita memperoleh pengetahuan dalam bidang ilmu tertentu (Mas’oed, 1990: 2-3). Inilah yang kemudian membedakan dengan metode. Dalam bahasa Silalahi (2006: 10-13) metode merupakan cara bagaimana kita melakukan penelitian sementara metodologi lebih pada studi mengenai metode penelitian. Dari sini jelas bahwa metodologi merupakan induk mengenai bagaimana penelitian dilakukan. Untuk melalukan penelitian harus paham dan mengerti apa itu metodologi.

Dengan bekal tersebut, maka kita dapat melakukan pilihan atas tipe-tipe penelitian apa yang ingin kita pakai dalam penelitian kita. Tipe penelitian pada dasarnya menunjukkan pada bagaimana kita menyelidiki, menggambarkan, dan menjelaskan suatu permasalahan yang ingin kita cari jawabannya. Untuk itu, ada banyak cara macam penelitian yang sering dilakukan oleh para peneliti, yaitu penelitian Eksploratif, Verifikatif, dan Pengembangan, serta Eksplanatif. Selain itu, tipe penelitian dapat juga dikategorikan berdasar pada pendekatan yang dilakukan atau cara memperoleh data, antara lain; penelitian survey, expost facto, eksperimen, kualitaif, content analysis, dan penelitian tindakan. Sementara menurut Soekanto (2001:1), lebih melihat tipe penelitian berdasarkan tujuannya, yaitu needs to do, penelitian yang bertujuan untuk melakukan suatu perubahan; needs to know, penelitian yang bertujuan untuk mencari tahu; needs to choose, penelitian yang bertujuan untuk menentukan pilihan, seperti penelitian evaluatif. Dari berbagai tipe tersebut dapat kita pilih mana yang tepat dalam menggambarkan dan menjelaskan fenomena yang kita teliti.

Dalam sebuah penelitian, pasti tak lepas dari fenomena apa yang akan kita teliti. Tentunya fenomena atau masalah tersebut merupakan hal yang layak untuk diteliti (researchable). Mengenai hal ini kita harus mencari sebuah topic sehingga kita tahu apa yang akan kita teliti dan fenomena atau masalah tersebut jelas dan focus. Hal mendasar bila kita dihadapkan dengan topic penelitian adalah mencari dan menemukan topic itu sendiri. Bagi sebagian kalangan topic merupakan hal yang amat sulit ditemukan. Hal ini tak heran karena topic merupakan pokok permasalahan dari suatu penelitian. Untuk menemukan topic dapat dilakukan dengan membaca buku, majalah, Koran, atau sumber-sumber informasi yang lain. Dari membaca tersebut, mungkin terdapat sebuah permasalahan yang menarik kita untuk menelitinya, atau terdapat beberapa argumen atau konsep dasar yang perlu dipertanyakan kebenarannya dan lain-lain. Hal lain yang bisa dilakukan untuk menemukan topic adalah seperti yang diungkapkan Blaxter dkk (2001: 43) dalam bukunya How to Research: Seluk-beluk Melakukan Research, tips untuk menemukan topic, yaitu bertanya pada teman, dosen, kolega, klien; melihat hasil riset sebelumnya; mengembangkan beberapa riset kita sebelumnya; menghubungkannya dengan minat kita; memikirkan sebuah judul; dapat dimulai dari sebuah kutipan yang menarik minat kita; kembangkan insting atau firasat kita; dan mulailah dari mana saja. Ketika kita menemukan topic penelitian, maka hal inilah yang akan menjadi pokok permasalahan yang akan kita teliti. Namun, ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih topic, setidaknya lima hal, yaitu, topik harus terjangkau oleh kemampuan kita, dipandang penting dan menarik untuk diteliti, memiliki kegunaan praktis dan teoretis, didukung data yang cukup, dan lebih penting lagi adalah dukungan dana yang cukup. Pertimbangan-pertimbangan di atas sangat penting untuk menentukan apakah topic kita layak untuk diteliti atau tidak (researchable).

Topik merupakan unsur penting dalam penelitian karena merupakan embrio penelitian itu akan dilakukan. Segalanya bersumber pada topik yang menarik bagi kita untuk diteliti. Dari topik tersebut rumusan masalah akan muncul yang kemudian akan menjadi focus kita untuk menemukan jawaban atas masalah yang kita angkat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika topic merupakan embrio penelitian maka rumusan masalah merupakan pondasi penelitian dimana penelitian itu akan kita rancang dan lakukan. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa penelitian merupakan “aktivitas” untuk memecahkan “misteri” pertanyaan yang kita ajukan. Tanpa ada suatu rumusan masalah maka tidak mungkin kita bisa mencari jawaban, bahkan aktivitas yang tak berguna ketika tidak ada suatu pertanyaan yang berusaha kita jawab. Artinya, untuk apa kita menjawab sesuatu sementara tidak ada pertanyaan mengenai sesuatu tersebut. Singkatnya, ada jawaban tanpa pertanyaan. Sangat aneh. Oleh karena itu, topik dan rumusan masalah adalah hal signifikan dalam penelitian. Karena semua berawal dan berasal dari kedua hal tersebut.

Diagram Research




Note:

1. Penggunaan Teori vs Proposisi

# Skripsi tidak harus ada teorinya, tapi setidaknya harus ada proposisi

# suatu permasalahan dapat dijelaskan dari berbagai kombinasi teori-teori tertentu

# penjelasan permasalahan akan lebih baik kalau didukung oleh lebih dari satu teori

# untuk mengetahui sebuah penjelasan apakah itu teori atau tidak => pakai intuisi kita bahwa itu teori => lalu rekonstruksikan teori-teori tersebut untuk menjelaskan fenomena yang kita teliti

2. Konsep = suatu gambaran abstrak tentang sesuatu

Ex: “PLN”, “Demokrasi”

Proposisi = suatu pernyataan yang terdiri dari beberapa konsep

Ex: semakin tinggi kemakmuran suatu Negara semakin demokratislah Negara tersbut

Teori = suatu penyataan yang terdiri dari berbagai proposisi

Ex: Teori Pengambilan Kebijakan Luar Negeri

The Philosophy of Research

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

# Positivisme :

Positivisme berakar dari pemikiran Aguste Comte yang menginginkan diterapkannya kaidah-kaidah empiris dan ilmiah dalam setiap aspek penelitian dalam ilmu social sehingga dihasilkan sebuah kaidah-kaidah hukum umum (ilmiah/abstrak) mengenai perilaku manusia. Dari kaidah hukum umum tersebut dapat dijadikan dasar eksplanasi yang memiliki objektifitas berdasarkan pada fakta empiris dan terpisah dari asumsi-asumsi nilai (subjektifitas) belaka. Comte menganggap manusia memiliki daya nalar yang dapat dijadikan sebagai pondasi dalam menemukan pengetahuan tentang dunianya. Hal ini telah mempengaruhi pembedaan antara das sein dan das sollen, seperti yang diungkapkan Arnold Kitz bahwa sesuatu ada bukan berarti seharusnya ada, tapi lebih pada sesuatu tersebut pernah dan/atau akan ada (Varma 2007: 119-120). Dasar inilah yang kemudian membuat kerangka ilmu sosial lebih menunjukkan dan hanya menjelaskan pada fakta-fakta yang terjadi dilapangan yang didapat melalui pengumpulan data dengan prosedur ilmiah. Positivisme menganggap bahwa dalam menganalisis dan menjelaskan sebuah peristiwa atau fenomena harus didasarkan pada fakta itu sendiri dengan menimbang data-data yang telah didapat, bukan berdasar pada pertimbangan nilai yang ada. Pertimbangan nilai akan berdampak pada semakin menjauhkan makna realitas itu sendiri secara alamiah, selain bahwa nilai-nilai tersebut tidak dapat dijelaskan secara ilmiah–setidaknya menurut pemikiran positivis (Jackson & Sorensen 1998: 60).

Hal mendasar dari positivisme adalah berusaha memformulasikan hukum ilmiah dalam ilmu sosial seperti halnya ilmu eksakta (hard science). Untuk itu, Jonathan Turner (dalam Ritzer & Goodman 2003: 20) menyatakan bahwa “semesta sosial menerima perkembangan hukum-hukum abstrak yang dapat diuji melalui pengumpulan data yang hati-hati” dan “hukum abstrak itu dapat menunjukkan kandungan mendasar dan umum dari semesta sosial, dan akan menspesifikasikan ‘relasi naturalnya’.” Hal ini telah memunculkan metodologi baru dalam mempelajari ilmu sosial yang hampir mendekati metodologi hard science, termasuk ilmu hubungan internasional yang lahir pasca PD I. Pengumpulan data empiris yang signifikan merupakan proses penting yang kemudian berguna untuk pengukuran, klasifikasi, generalisasi, sampai akhirnya perumusan hipotesis, dan pengajuan dan/atau pengujian sebuah teori. Melalui titik ini segala sesuatu yang terdapat dalam dunia sosial dapat diukur dengan menggunakan metodologi ilmiah. Pada akhirnya, verifikasi merupakan hal yang tak terpisah dalam proses ilmiah sebagai wujud menuju kebenaran, dimana kebenaran tersebut diperoleh dari fakta empiris. Dengan demikian, kebenaran yang dihasilkan dari fakta empiris bersifat holistik dan probalistik (Widoyoko 2008). Setidaknya terdapat beberapa sifat dasar yang melekat erat dalam ilmu sosial menurut kaum positivis: regularitas, teknik, verifikasi, bebas nilai, sistematisasi, ilmu murni, kuantifikasi, dan integrasi (P.Y. Nur Indro dalam Hermawan (ed) 2007: 269-272).

# Relativisme :

Relativisme berpadigma bahwa realitas atau fakta social dapat diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan pengalaman dan sudut pandang (persepsi) kita, sehingga dalam setiap aspek kehidupan memiliki tingkat kebenaran yang relatif terbatas pada bagaimana kita menafsirkan atau menginterpretasikan fakta sosial tersebut. Dinamika yang terjadi dalam paradigma keilmuan menunjukkan bahwa persepsi, sikap, dan tingkah laku, serta kepercayaan masayarakat telah berubah. Sehingga dinamika tersebut terjadi bukan karena dunia itu berubah dengan sendirinya. Untuk itu, pengetahuan yang kita peroleh tidak seutuhnya secara definitif mendeskripsikan realitas tersebut, karena pemahaman dan pemaknaan akan realitas (external reality), menurut relativist, sangatlah individual (uniquely individual). Selain itu, tak selamanya apa yang kita lihat seperti apa adanya, terkadang keyakinan kita akan sesuatu dapat mengelabui pemahaman dan pemaknaan kita. Relativist menganggap bahwa kita memerlukan sebuah formula murni (neat formula)[1] yang dapat memahami dan menjelaskan fenomena yang begitu not simple as it is. Dari situ bahwa relativist menolak adanya generalisasi sesuatu, terlebih membuat prediksi dari generalisasi tersebut walaupun menggunakan kondisi yang sama (Walliman 2005: 55-57).

Metode scientific, bagi relativist belum bisa menjembatani inkonsistensi, konflik, kepercayaan, gagasan, dan perasaan yang terdapat dalam realitas sosial. Terlebih apa yang dinamakan scientific research, belum bisa menggeser posisi mindset masyarakat mengenai kepercayaan mereka akan realitas di dunia ini. Keyakinan bahwa bumi adalah pusat alam semesta menjadi paradigma berpikir dan mindset masyarakat kala itu, walaupun terdapat gagasan yang menentang paradigma tersebut, seperti yang diajukan Galilei. Usaha-usaha scientific yang dilakukan kaum positivis dapat juga terdistorsi oleh kepentingan diluar scientific way tersebut (Walliman 2005: 57). Nampaknya, relativisme tetap mengindahkan not free value dalam menafsirkan dan menjelaskan realitas/fakta sosial. Hal mendasar bagi relativisme adalah bagaimana kita bisa menafsirkan makna dan perasaan seseorang (fakta sosial) ketika kita bukan bagian dari tatanan masyarakat setempat yang memiliki tata nilai yang beda.

# Rekonsiliasionism :

Rekonsiliasionisme merupakan “jalan tengah” untuk menjembatani paradigma positivisme dan relativisme. Pada dasarnya rekonsialist beranggapan bahwa kita dapat mengetahui sesuatu dengan derajat kebenaran yang pasti dan oleh karena itu dimungkinkan membuat prediksi berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh. Namun, kita tidak boleh meniadakan “kekurangan” (complications and failings) yang terdapat dalam kapasitas manusia untuk memperoleh kebenaran pasti dan prediksi. Seperti yang diungkapkan Roy Bhaskar (dalam Walliman 2005: 58) bahwa dalam dunia scientific terdapat formasi strata yang menunjukkan adanya derajat penyelidikan scientific secara keseluruhan, dimana setiap tingkatan (layer) scientific akan melengkapi pondasi scientific yang lain sehingga lebih kompleks. Sehingga tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan hukum-hukum ilmiah bidang studi tertentu untuk diterapkan dalam bidang studi lainnya, dengan catatan bahwa setiap bidang studi tentunya memiliki hukum tersendiri yang lebih “unik” dari bidang studi yang lain. Atas dasar hal tersebut, maka rekonsialist berpandangan, dalam dunia keilmuan pasti terdapat kesalingterhubungan yang kompleks dimana ilmu yang satu dapat “menunjang” pondasi ilmu yang lainnya. Oleh karena itu, penjelasan rekonsialist sering disebut juga sistem stratifikasi ilmu.


Note:
# Hal mendasar yang membedakan ketiga filsafat penelitian tersebut adalah; positivist berpendapat bahwa realitas sosial pada dasarnya dapat dikuantifikasi sama halnya dengan hard science; sementara relativist menyatakan bahwa tidak semua realitas sosial tersebut dapat dikuantifikasi layaknya hard science; dan menanggapi kaum positivist dan relativist tersebut maka rekonsialis menganggap, dalam realitas sosial ada hal-hal yang bisa dikuantifikasi dan tidak/kurang bisa dikuantifikasi. Tak heran jika rekonsialis disebut "jalan tengah."

# Posisi Positivisme dalam ilmu sosial masih menjadi mainstream atas dasar sebagai peletak metodologi ilmiah dalam ilmu sosial. Sciencetific research merupakan hal mendasar dalam memperoleh pengetahuan dan informasi mengenai manusia dan struktur sosial.

# Ajaran Positivisme : [*] social research must go to the people [**] gaining knowledge and information about people and sosial structure requires tool or precision instrument to research.

# Perkembangan "hukum tiga tingkatan" Comte












[1] Neat formula diperlukan untuk menghindari simplifikasi dan/atau oversimplifikasi yang “sering” dilakukan positivist.

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.