By: M. Edy Sentosa Jk.
Print this article
Secara historis, China menganggap dirinya sebagai pusat peradaban dunia sampai pada akhirnya, melalui politik candu yang dilakukan Eropa, telah membuat goresan luka dalam sejarah China yang dikenal dengan Abad Penghinaan. Namun, melalui semangat yang super-intellegence dikalangan pemimpin China mulai dari Sun Yat Sen, Mao Tse Dung sampai Deng Xiao Ping telah membangkitkan kembali martabat China sebagai pusat peradaban dunia, hal ini terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang progresif telah membawa dampak bagi peningkatan kapasitas power China dalam hubungan internasional. Era ini merupakan tahapan China untuk sampai pada zaman keemasan klasik “The Middle Kingdom” dan ini merupakan momentum kebangkitan nasional China yang bertumpu pada sejarah, ideologi, dan karakteristik budayanya yang tinggi. Untuk itu, artikel ini akan membahas mengenai kebangkitan nasional China dan signifikansinya bagi bagi peningkatan power China secara regional dan global
Perkembangan yang menarik pada abad 21 ini adalah kebangkitan kembali China sebagai sebuah negara yang memiliki kapasitas ekonomi dan militer yang signifikan bagi pembangunan powernya dalam hubungan internasional. Hal ini telah berimplikasi pada pandangan baru dunia akan China, yang tidak lagi dipandang sebagai negara berkembang yang miskin atau seperti julukan yang diberikan Jepang, Zhi Na, yang artinya Orang Sakit di Asia (Wresti 2005 dalam Kompas, 23 Oktober 2005), tetapi China lebih dipandang sebagai the new global economic player di era globlalisasi sekarang. Nampak jelas perubahan pandangan tersebut berkorelasi dengan pembangunan yang begitu mengesankan selama kurang lebih tiga dekade akhir, sejak Deng Xiao Ping mereformasi dan memodernisasi China dalam empat program modernisasinya yang lebih sedikit terbuka dalam pembangunan ekonominya, walaupun masih berlandaskan pada sistem komunisme. Progresifitas ekonomi tersebut kini telah menjadi bukti nyata bagi kebangkitan kembali China.
Tentunya kebangkitan nasional China tak lepas dari fluktuasi sejarah masa lalu, dimana perkembangan tesebut telah menciptakan karakter bangsa dan dinamika progresif dalam pembentukan state-building China. Bagaimana tidak, paham konfusianisme sebagai peletak dasar falsafah bangsa China telah ditransformasi secara sosio-kultural oleh Mao Ze Dong ke dalam falsafah komunisme marxis-leninis sebagai bentuk ideologi untuk membangun China modern. Transformasi ini telah menciptakan perubahan sosial mendasar bagi kehidupan rakyat China yang lebih revolusioner. Komitmen untuk memperjuangkan komunisme telah dibayar mahal dengan tragedi Tiannanment yang banyak memakan korban jiwa demi tegaknya revolusi budaya China tersebut. Tak urung paham komunisme masih menjadi basis kekuatan utama bagi negara, khususnya Partai Komunis China dalam membentuk arah pembangunan bangsa ke depan. Namun, semangat komunisme awal yang digagas Mao mengalami banyak hambatan dalam mewujudkan China sebagai negara modern dan teori tiga dunia-nya, terlebih kemajuan pembangunan ekonomi masih lamban. Dinamika yang dihadapi dengan masa-masa sulit tersebut tak membuat komitmen untuk menjalankan komunisme semakin redup. Hal ini karena kuatnya peran negara dalam sistem sentralisasi dan semangat revolusioner telah menjadi bagian dari rakyat China yang kemudian membentuk komunisme militan. Pada perkembangannya, komunisme militan bertransformasi ke arah nasionalisme pragmatik, hal ini karena faktor kepentingan ekonomi lebih utama dalam membangun China (Sudjatmiko 2005, dalam Kompas, 20 Mei 2005).
Melihat dinamika yang kurang begitu menguntungkan bagi kemajuan China dengan sistem isolasionisnya, Deng Xiao Ping pada 1978 kemudian mencanangkan program empat modernisasinya demi memicu kemajuan sosio-ekonomi China sebagai sebuah entitas politik yang luas dan besar. Selain itu, Doktrin “Buyao Dangtou” (self-restraint) dan penggunaan istilah interdependensi sebagai penyebutan era Globalisasi telah menjadi landasan bagi pembangunan China ke depan. Pada era Deng ini, ekonomi
Meskipun begitu, sistem komunis masih merupakan pengatur dimensi kehidupan rakyat
Selain itu, sejak 1993 Deng telah menetapkan 2000 kawasan ekonomi khusus di China yang dapat dikembangkan sebagai sentra-sentra ekonomi bagi pusat pertumbuhan (Arvian 2007 dalam Tempo, 19-25 Februari 2007). Ini telah menurunkan laju inflasi pada 1996 sebesar 8 persen dan kemiskinan dari 53 persen pada 1981 menjadi 8 persen pada 2001.
Yang lebih menakjubkan di era kontemporer sekarang pada 2000-an adalah seperti yang diungkap oleh Kynge (2007) dalam bukunya [edisi terjemahan bahasa
#
# Hampir 57 persen perusahaan di kawasan Asia Pasifik percaya bahwa 10 tahun lagi, China akan menjadi pasar konsumer terbesar di dunia, menggeser AS.
# Cadangan devisa
# Dan pada 2006,
Walaupun begitu, Kynge (2007) juga mengungkapkan bahwa dibalik fantastisme kebangkitan ekonomi China tersebut terdapat hal ironis yang mesti diperhatikan, yang jika tidak, akan menjadi boomerang bagi kebangkitan China sendiri, yaitu diantaranya pencemaran dan kerusakan lingkungan, seperti di daerah aliran Sungai Kuning yang kini telah dipenuhi limbah industri dimana diperkirakan 66 persen ainya sudah tidak aman lagi untuk dikonsumsi; masalah ekspoitasi buruh yang tidak memperoleh upah minimum standar; budaya korupsi; penegakan HAM; dan demokratisasi, dan lain-lain (Kompas, 5 Juli 2007).
Kemajuan ekonomi dan militer China dapat dikatakan sebagai momentum kebangkitan nasional demi mencapai ambisi China untuk menjadi “great power” kembali seperti pada zaman keemasan klasik The Middle Kingdom dimana China merupakan pusat peradaban dunia dengan segala kegemilangan budaya dan sosio-kulturalnya yang luhur. Kebangkitan ini tidak hanya dirasakan oleh
Secara ekonomi, kebangkitan China telah meresahkan sebagian besar negara terutama AS dan Eropa dimana banyak produk-produk China telah membanjiri negara dan kawasan tersebut, sehingga daya kompetisi produk domestic mereka terlimbas oleh daya kompetisi harga dan kualitas produk China yang lebih efisien. Tak heran jika pada 2004 lalu Presiden George Bush menekan China untuk mematuhi aturan WTO dan menjamin hak buruh serta perubahan kurs Yuan terhadap dolar secara floating. Di sisi lain, terkait dengan budaya, bahasa Mandarin kini menjadi bahasa populer yang tidak boleh tidak merupakan bahasa internasional. Hal ini sangat signifikan bagi power
Itu semua menunjukkan betapa kebangkitan
0 comments:
Post a Comment