.
.
.
.
.

AEC: Hadapi Tantangan atau Hambatan?

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page
Print this article

ASEAN Economic Community (AEC) merupakan bentuk tahapan kerjasama regional di kawasan Asia Tenggara yang tujuan utamanya adalah pembentukan sebuah komunitas ekonomi bersama Negara-negara Asia Tenggara melalui kerangka ASEAN. Blueprint dari AEC sendiri telah disepakati pada KTT XIII di Singapura 20 November 2007 yang merupakan kelanjutan dari KTT Bali pada Oktober 2003 dimana dalam KTT Bali ini dihasilkan Bali Concord II yang berisi mengenai Visi ASEAN 2020, yaitu pembentukan komunitas ASEAN dalam tiga pilar. Tiga pilar tersebut adalah Ekonomi dalam kerangka AEC, Keamanan dalam kerangka ASC, dan Sosio-Culture dalam kerangka ASCC. Diharapkan ASEAN kedepan dapat menjadi sebuah komunitas tunggal yang terintegrasi seperti UE dimana tahapan integrasi Eropa hampir mencapai integrasi politik.

Hal yang mendasar dari AEC adalah adanya sebuah keinginan dari para pemimpin ASEAN untuk mewujudkan pusat perdagangan kawasan terintegrasi sebagai wujud komitmen untuk menciptakan dan meningkatkan pembangunan komunitas ASEAN dalam mengahadapi tantangan global. Oleh karena itu, pembentukannya ditargetkan mulai 2008 dan implementasinya pada 2015. Ini akan menjadikan kawasan Asia Tenggara sangat kompetitif bila Visi 2020-nya dapat tercapai sesuai dengan Bali Concord II. Tentunya, hal tersebut akan memberikan kontribusi bagi kemajuan dan pembangunan kawasan.

Secara garis besar, terdapat empat karakteristik dari AEC, yaitu pasar dan basis produksi tunggal, ekonomi kawasan yang kompetitif, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan suatu kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global. Karakteristik tersebut juga didukung dengan prinsip keterbukaan, outward-looking, inclusives, dan ekonomi berbasis pasar yang dijalankan melalui peraturan-peraturan multilateral sebagai sebuah implementasi komitmen ekonomi antar Negara anggota. Prinsip-prinsip inilah yang akan menjadi driving-factor bagi ASEAN untuk menjadi sebuah kerjasama regional yang lebih dinamis dan mencapai sebuah tahapan pembangunan kawasan yang lebih kondusif.

Perkembangan ASEAN membentuk AEC sebenarnya sebagai wujud dari AFTA Plus dimana kesepakatan-kesepakatan dalam AFTA sebagian termaktub dalam blueprint AEC. Dalam AFTA diatur mengenai penghapusan hambatan-hambatan yang bersifat tariff dan non-tarif. Selai itu, AFTA juga dilengkapi dengan ASEAN Single Window yang mengatur kemudahan aliran barang dengan mengintegrasikan prosedur pabean, CEPT Rules of Origin, dan harmonisasi standar. Sementara dalam AEC lebih komprehensif lagi yang mencakup tidak hanya free trade area tetapi juga common market. Hal ini ditunjukkan dengan adanya aturan mengenai liberalisasi aliran barang, jasa, modal, investasi, dan tenaga kerja. Implementasinya adalah dalam bentuk liberalisasi 11 sektor utama yang dijadikan sebagai prioritas dalam mencapai AEC, yaitu produk kayu, otomotif, karet, tekstil dan produk tekstil (TPT), agro, perikanan, elektronik, produk kesehatan, teknologi (e-commerce), turisme, dan penerbangan.

Jika dimamati, pola tersebut telah membentuk ASEAN menuju tahapan integrasi ekonomi pada common market, yang sebelumnya pada ranah free trade area. Artinya, implementasi AEC pada 2015 akan membawa ASEAN ke tahapan berikutnya seperti UE, yaitu economic union. Namun, apakah ASEAN dapat mencapai tahapan akhir integrasi tersebut? Tentunya jika kita bandingkan dengan UE, maka terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi ASEAN. Pertama, adanya kesenjangan diantara Negara anggota dalam hal ekonomi. Misalnya, dalam hal tariff Singapura telah memberlakukan tariff 0% semenatara di Negara lain seperti Vietnam masih 17%. Kedua, hubungan perdagangan intra-ASEAN masih rendah. Misalnya, ekspor impor antar Negara ASEAN pada 2006 saja masih 25% dari total ekspor impor. Ini menunjukkan bahwa ketergantungan ekonomi dan regional awarness ASEAN masih rendah. Ketiga, hubungan perdagangan dan liberalisasi antar Negara anggota ASEAN tidak dijalankan menurut kerangka AFTA tetapi lebih pada MFN. Ini dapat dilihat dari pelaksanaan peraturan WTO dalam hubungan dagang ASEAN dengan kawasan lain.

Keempat, elitisme dalam ASEAN masih kental. Ini dapat dilihat dengan adanya “Club of Ministers” dimana partisipasi masyarakat tidak dilibatkan dalam setiap perumusan dan pengambilan kebijakan. Kelima, stabilitas kawasan yang masih bergantung pada kekuatan eksternal. Ini dibuktikan dengan keterlibatan Negara-negara besar dalam aspek pertahanan dan keamanan setiap Negara anggota ASEAN, seperti aliansi Sigapura dan AS dan China dengan Negara Indo-China-nya. Dan terakhir adalah tidak adanya sebuah lembaga supranasional yang dijadikan sebagai pusat penyelesaian konflik dan sengketa antar Negara anggota. Ini terlihat dari lemahnya struktur dan kelembagaan Sekretariat ASEAN.

Terlepas dari hambatan tersebut, ASEAN merupakan sebuah kerjasama regional yang sangat progresif dalam hal wacana dan kebijakan apa yang harus dibuat untuk mewujudkan integrasi regional, tetapi regresif dalam hal implementasi karena politik curiga dan kepentingan nasional masih menjadi utama daripada regional awarness dan common interests. Sebagai sebuah kawasan yang dinamis ASEAN memiliki berbagai potensi dalam mewujudkan AEC pada 2015. Diantara potensi-potensi tersebut adalah kaya akan sumber daya alam, jumlah penduduk yang hampir mencapai 520 juta yang berpotensi sebagai pangsa pasar yang besar, petumbuhan ekonomi yang signifikan, dan lain-lain. Oleh karena itu, dinamika yang dihadapi oleh ASEAN dalam upayanya untuk mencapai AEC sangatlah fluktuatif.

Hal yang perlu dilakukan ASEAN untuk mencapai AEC adalah harus ada political will dan common vision yang kuat dalam membentuk dan melaksanakan setiap kesepakatan yang telah dicapai dalam AEC, pembentukan moneter tunggal ASEAN –mekanisme ini dapat dicapai apabila perdagangan intra regional ASEAN tinggi –sekaligus Bank Sentral ASEAN, kerangka AFTA dan poin-poin dalam blueprint AEC harus menjadi meanstream utama dalam hubungan perdagangan antar Negara anggota maupun dengan Negara lain di luar kawasan, harus ada realokasi sumber daya dan partisipasi penuh setiap Negara anggota dalam proses integrasi–hal ini dapat dicapai dengan bantuan teknis dan financial, transfer teknologi, dan fasilitasi pendidikan dan pelatihan terutama dari ASEAN-6 terhadap CLMV, pembangunan infrastruktur kelembagaan ASEAN, seperti peran dan fungsi serta tugas Sekretariat ASEAN harus diperkuat dan diperjelas, dan pembentukan lembaga supranasional yang dapat memfasilitasi proses integrasi ASEAN itu sendiri.

Berkaca pada pengalaman UE bahwa tidak ada proses integrasi kawasan yang instant dalam beberapa dekade, tetapi dalam setiap proses integrasi itu sendiri sangat penting dalam pencapaian tahapan integrasi sesungguhnya. UE sendiri telah matang untuk mencapai tahapan integrasi ekonomi setelah kira empat atau lima decade.


Dilema CEECs dalam UE

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Review Artikel: "EU Enlargement: Costs, Benefits, and Strategies for Central and Eastern European Countries," by Marian L Tupy

Dalam artikelnya yang berjudul “EU Enlargement: Costs, Benefits, and Strategies for Central and Eastern European Countries,” Tupy berusaha menjelaskan mengenai sejumlah identifikasi permasalahan yang dihadapi CEECs pasca runtuhnya USSR terkait dengan kebijakan pintu terbuka UE terhadap keanggotaan mereka dalam Uni Eropa. Sejarah rezim USSR di wilayah CEECs telah membawa dampak signifikan bagi kelambanan pembangunan ekonomi maupun politik di kawasan ini. Perkembangan tersebut menjadikan dilema[1] bagi negara-negara di kawasan ini untuk memacu pembangunan demi memenuhi standar-standar UE yang pada intinya sangat bertolak belakang dengan dinamika ekonomi politik CEECs yang sebagian besar masih bernuansa sosialis. Untuk itu, di bagian akhir artikelnya, Tupy memberikan sejumlah rekomendasi bagi Eropa Timur dan Tengah dalam menyiasati dilema yang mereka hadapi.

Tupy menilai bahwa pasca runtuhnya USSR, negara-negara CEECs melakukan sejumlah reformasi ekonomi dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi sebagai bagian dari upaya memenuhi standar UE. Upaya reformasi ekonomi tersebut diarahkan pada liberalisasi ekonomi, dimana liberalisasi ekonomi ini merupakan kerangka dalam membangun kerjasama di UE. Tak heran jika reformasi ekonomi ini sangatlah berpengaruh terhadap dinamika pembangunan di CEECs yang dulunya berbasis pada sosialisme, tetapi sekarang lebih pada liberalisasi ekonomi. Walaupun langkah liberalisasi ekonomi menjadi landasan utama bagi pembangunan ekonomi CEECs, namun terdapat praktek-praktek yang berbeda dalam menjalankan strategi liberalisasi ekonomi tersebut. Setidaknya terdapat dua model yang dijalankan CEECs dalam reformasi ekonominya tersebut, yaitu liberalisasi secara radikal dan gradual. Pertama, liberalisasi ekonomi secara radikal dilakukan dengan membuat kebijakan-kebijakan yang sepenuhnya mendukung ekonomi pasar sebagai faktor penentu supply and demand, dimana keterlibatan pemerintah sama sekali diminimalkan dalam ekonomi. Hal ini sangat jelas dalam kebijakan moneter untuk mengendalikan hiperinflasi dimana bank sentral tidak dapat diintervensi oleh pemerintah untuk mengendalikan laju inflasi tersebut melalui instrumen suku bunga. Hal yang paling mendasar mengenai liberalisasi secara radikal tersebut dapat pula dilihat dalam perubahan kurs dari fix exchange rate ke floating exchange rate, dimana nilai kurs ditentukan oleh pasar. Reformasi ekonomi secara radikal ini dijalankan oleh negara-negara CEECs seperti Czech, Estonia, Polandia, Latvia, dan Hungaria. Jika ditinjau lagi bahwa reformasi ekonomi tersebut merupakan hal revolusioner yang pernah dialami negara-negara sosialis dikawasan Eropa ini.

Sementara, model reformasi ekonomi lainnya adalah dilakukan secara gradual, dimana strategi-strategi dalam mencapai pertumbuhan ekonomi tidak harus dilakukan dengan mengurangi secara total peran negara atau pemerintah dalam perekonomian. Ini merupakan wujud dari tahapan penyesuaian sistem sosialisme yang masih mengakar dalam tatanan politik terhadap proses liberalisasi ekonomi yang telah menjadi meanstream utama dalam kerangka kerjasama UE. Liberalisasi secara gradual merupakan kebutuhan untuk menyesuaikan perubahan-perubahan drastis yang sedang dialami negara CEECs pasca rezim komunisme. Ini merupakan sebuah strategi membangun ekonomi secara pasti tanpa menimbulkan instabilitas akibat penyesuaian dengan liberalisasi yang terlalu cepat. Rusia merupakan negara dalam model reformasi secara gradual ini, walaupun ia tidak menjadi negara yang diagendakan dalam EU enlargement. Ini dibuktikan dengan keterlibatan pemerintah dalam ekonomi masih signifikan. Berdasarkan penilaian Tupy, reformasi ekonomi secara radikal menuju liberalisasi yang utuh memberikan dampak yang signifikan bagi percepatan pertumbuhan dan kemajuan ekonomi sehingga stabilitas dapat dicapai.

Yang menarik dalam pembahasan Tupy adalah ketika tahapan pembangunan yang telah dicapai CEECs ternyata sangat kontraproduktif terhadap kemajuan itu sendiri. Ini terkait dengan keanggotaan mereka dalam UE ternyata memberikan beban bagi CEECs untuk menyesuaikan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi mereka dengan regulasi-regulasi ketat UE yang malah dapat meredusir kompetisi mereka dalam ekonomi Eropa. Ada tiga bidang peraturan UE yang membuat pembangunan CEECs kontraproduktif, yaitu tenaga kerja, agrikultur, dan lingkungan, dimana tiga peraturan ini dianggap oleh Tupy menjadikan beban bagi pembangunan CEECs. Regulasi tenaga kerja telah memberikan konsekuensi berat bagi kompetisi tenaga kerja CEECs yang kurang produktif dalam berbagai sektor dimana para tenaga kerja dari CEECs belum bisa bekerja di negara-negara Eropa lainnya selama kurang lebih tujuh tahun. Terlebih jaminan sosial dan perlindungan tenaga kerja merupakan dimensi penting dalam regulasi tenaga kerja tersbut. Ini membawa konsekuensi bagi kompetisi ekonomi CEECs dalam Eropa yang semakin menyulitkan kemajuan pembangunan ekonomi mereka. Selain itu, regulasi ketat mengenai standar lingkungan telah membebani CEECs biaya sebesar 120 miliar euro. Terlebih kebijakan subsidi agrikultur telah menyebabkan kompetisi yang tidak imbang antara negara UE yang maju dengan CEECs. Tiga regulasi tersebut menurut Tupy memberikan efek kontraproduktif bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi negara-negara CEECs yang terus berupaya memenuhi standar UE.

Oleh karena itu, dalam artikelnya, Tupy memberikan sejumlah rekomendasi sebagai bentuk penyiasatan terhadap kondisi dilematis yang dihadapi CEECs. Ada empat rekomendasi yang ditawarkan, pertama: melakukan aliansi dengan negara-negara besar dan liberal di Eropa, seperti Italia, dibawah PM Silvio Berlusconi dan Spanyol, dibawah PM Jose Maria Aznar yang sangat vocal dalam menentang ketidakseimbangan di UE, terutama mengenai kebijakan harmonisasi dan pajak. Ini akan memberikan peluang bagi CEECs untuk menyuarakan kepentingannya di UE demi pembangunan ekonomi mereka. Kedua: tidak melakukan adopsi terhadap Konstitusi Eropa yang didasarkan pada konsep negara kesejahteraan dimana lebih mencerminkan kompetisi ekonomi negara maju di Eropa. Hal ini didasarkan pada kapasitas kompetisi ekonomi CEECs yang masih belum kuat untuk menyesuaikan dengan program-program kesejahteraan tersebut. Ketiga: mempertahankan dan memperluas sistem veto dalam setiap pembuatan dan pengambilan keputusan di UE yang selama ini berdasarkan consensus. Melalui strategi ini, diharapkan CEECs dapat mempengaruhi proses pemgambilan keputusan yang sesuai dengan kepentingan pembangunan negara mereka. Keempat: pembatasan terhadap “Common Agriculture Policy” bahkan jika dimungkinkan dapat dibatalkan. Pembatasan atau pembatalan ini perlu agar CEECs dapat sector agrikultur mereka dapat bersaing dengan negara-negara Eropa lainnya, terlebih dengan negara maju yang sangat kental subsidi pertaniannya. Melalui keempat strategi tersebut, CEECs dapat mengambil sejumlah kemungkinan yang dapat mendukung program-program pertumbuhan dan pembangunan ekonomi mereka sehingga CEECs keluar dari ketertinggalan mereka.

Artikel yang ditulis Tupy ini menunjukkan bahwa proses integrasi Eropa dalam kerangka kerjasama regional UE ternyata masih mengalami sejumlah tantangan yang berpengaruh terhadap dinamika pembangunan regional ke depan dalam rangka mencapai integrasi politik seutuhnya. Berbagai tantangan UE dalam membangun CEECs agar memenuhi standar-standar sebagai anggota UE telah memberikan dilemma bagi CEECs dalam reformasi ekonomi mereka sehingga tak jarang sangat kontraproduktif bagi kemajuan yang telah didapat. Namun, setidaknya, Tupy telah memberikan sejumlah rekomendasi yang bisa digunakan CEECs sebagai sebuah kerangka penyiasatan terhadap dilemma yang dihadapi. Pada akhirnya, semua anggota UE akan memenuhi standar yang ketat tersebut yang akan membawa mereka pada tahapan regionalisme yang sesungguhnya, yaitu Eropean nation-state ala USA mungkin.



[1] Di satu sisi ada sejumlah keuntungan yang didapat dari bergabungnya negara-negara CEECs dalam keanggotaan UE, seperti potensi bantuan finansial dalam pembangunan CEECs, tetapi di sisi lain ada sejumlah standardisasi yang diterapkan UE sebagai prasyarat keanggotaan baru, seperti harmonisasi kebijakan pajak misalnya.


Amandemen Konstitusi Jepang Pasal 9

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk. & Yunita Iliana

print this page Print this article

Perkembangan yang sangat menarik dari politik di Jepang adalah adanya keinginan Jepang untuk membangun kembali kekuatan militernya sebagai basis keamanan dan pertahanan Jepang yang selama ini bergantung pada AS. Isu ini telah memberikan dampak signifikan bagi dinamika eksistensi pasal 9 yang telah banyak diperdebatkan oleh para anggota Diet, antara mereka (kaum kanan) yang menginginkan amandemen pasal 9 vs mereka (kaum kiri) yang tetap menganggap pasal 9 sebagai pasal pasifis yang tak perlu diamandemen. Hal ini telah memberikan dampak bagi semakin tidak jelasnya fungsi militer di Jepang, di satu sisi dianggap sebagai pasukan self-defense, tapi di sisi yang lain mereka memiliki kemampuan yang setara dengan militer. Tak heran jika isu amandemen pasal 9 mencuat sebagai respon terhadap dinamika eksternal dari hubungan internasional Jepang.

Selama lebih dari setengah abad, sejak Perang Dunia II berakhir, kapasitas Jepang untuk membangun kekuatan militernya dikekang oleh Konstitusi 1947. Konstitusi tersebut dibuat oleh AS sebagai negara pemenang Perang Dunia II, untuk melucuti semua kapasitas militer Jepang yang telah memicu Perang Dunia II. Dengan adanya konstitusi tersebut, negara Jepang yang tadinya bersifat ekspansionis-imperialis dan suka perang, kini telah berubah menjadi negara pasifis yang selalu menekankan solusi damai diluar kekerasan dan militerisme (Kompas, 16 April 2005).

Pada Mei 2007, bertepatan dengan perayaan 60 tahun konstitusi Jepang, Perdana Menteri Shinzo Abe berkeinginan untuk mengamandemen konstitusi. Amandemen tersebut terkait dengan pasal 9 dari konstitusi Jepang yang melarang Jepang untuk memiliki kekuatan militer dan mengharuskan Jepang untuk menjalankan kebijakan Pasifisme. Sebenarnya, isu amandemen pasal 9 telah ada sejak pasal itu ditetapkan. Hal ini tercermin dalam pertarungan kaum kiri vs kaum kanan dalam Diet menanggapi adanya pasal 9 tersebut (Reischauer dalam Mas’oed & MacAndrews 2001: 215).

Kaum kiri cenderung khawatir terhadap dinamika aliansi militer AS-Jepang dalam sebuah kerangka mutual security treaty misalnya, akan membawa Jepang ke era 1930-an yang diwarnai oleh peperangan. Sementara kaum kanan, mengangap bahwa progesifitas gerakan kaum kiri akan membawa Jepang ke arah yang lebih labil tanpa ada kekuatan yang dapat menunjang kepentingan Jepang di luar negeri. Oleh karena itu, isu amandemen pasal 9 ini telah menarik perhatian para politisi dan masyarakat Jepang sendiri dalam menanggapi dinamika eksternal dari hubungan luar negeri Jepang.

Hal yang sangat penting untuk diamati dalam membahas isu amandemen pasal 9 tersebut adalah faktor-faktor apa sajakah yang melandasi adanya amandemen pasal 9 tersebut sehingga sangat penting bagi stabilitas dan keamanan Jepang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka teori persepsi ancaman bisa digunakan sebagai alat analisis.

Teori Persepsi Ancaman

Persepsi merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam konteks hubungan internasional. Persepsi ini sangat berperan dalam menentukan bagaimana suatu aktor melihat dan mendefinisikan lingkungan atau realita. Untuk itu, persepsi dapat menjadi sebuah pedoman bagi suatu aktor untuk bertindak dan merespon atas realitas yang ia lihat.

Persepsi menurut Desiderato (dalam Rakhmat 1999: 51) merupakan pengalaman mengenai suatu objek, peristiwa, atau relasi-relasi yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan yang ada. Sehingga dapat dikatakan bahwa persepsi merupakan stimuli inderawi atas realitas suatu objek yang kita lihat dan nilai. Pada akhirnya persepsi ini akan berpengaruh terhadap tindakan dan reaksi yang dilakukan suatu aktor berdasarkan citranya atas lingkungan atau realitas tersebut (Holsti 1987: 470-471).

Menurut Holsti, persepsi suatu aktor tak lepas dari bagaimana pendefinisian situasi yang dilakukan oleh aktor tersebut terhadap lingkungan atau realitas yang dihadapi baik yang ada di internal maupun eksternal. Pendefinisian situasi tersebut terkait erat dengan kesan, sikap, kepercayaan, dan kebutuhan personal seperti doktrin dan ideologi serta analogi para decision-makers terhadap situasi yang dihadapinya. Holsti menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh suatu aktor didasarkan atas kesannya terhadap lingkungan dimana kesan tersebut terkait erat dengan nilai-nilai yang ada sehingga akan membentuk sikap aktor tersebut terhadap lingkungan atau realitas yang dihadapi (Holsti 1987: 470-486). Dengan demikian, persepsi suatu aktor sangat mempengaruhi tindakan apa yang akan diambil berdasarkan preferensi yang ada sesuai dengan penilaian atas lingkungan atau realitas.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dijelaskan mengenai persepsi ancaman, seperti yang dikemukakan oleh Dean Pruitt, bahwa semakin kuat pengaruh kecenderungan (predispositions) untuk merasakan ancaman maka semakin ancaman tersebut dapat dirasakan (dalam Papp 1988: 154). Kecenderungan untuk merasakan ancaman tersebut didasarkan pada persepsi bahwa suatu aktor menilai akan potensi ancaman yang datang dari lingkungannya.

Adanya keinginan Jepang untuk mengamandemen Konstitusi 1947 khususnya pasal 9 tak lepas dari adanya persepsi ancaman yang dirasakan Jepang dalam dinamika hubungan internasionalnya. Persepsi itu muncul dari penilaian Jepang terhadap lingkungan eksternal yang berpotensi sebagai ancaman bagi keamanan dan perdamaian Jepang. Amandemen pasal 9 merupakan suatu cara bagi Jepang untuk menyeimbangkan potensi ancaman yang muncul dari luar.

Dinamika dalam Implementasi Pasal 9

Beberapa waktu lalu tepatnya Mei 2007, Jepang sedang menghadapi masalah besar yang berkaitan dengan konstitusi atau undang-undang negaranya. Pemerintahnya sedang berusaha melakukan amandemen konstitusi negara secara meyeluruh. Namun dari beberapa amandemen yang ada, masalah yang paling menimbulkan polemik di dalam maupun luar negeri adalah masalah konstitusi yang menyangkut perang. Konstitusi ini di Jepang tertuang didalam undang-undang Jepang pasal 9:


“(1) Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international disputes.

(2) In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never be maintained.

(3) The right of aggression of the state will not be recognized.”

(The Japanese Constitution)

Konstitusi tersebut telah ditetapkan beberapa tahun setelah Jepang mengalami kekalahan dalam PD II, yakni pada tanggal 3 Mei 1947. Kekalahan Jepang pada PD II mengakibatkan negara ini harus menerima Konstitusi Meiji 1889 digantikan dengan konstitusi yang dibuat oleh 24 pengacara AS dibawah ketua Charles Louis Kades atas kuasa dari Jendral McArthur (Everything 2001). Ini merupakan awal bagi Jepang untuk melucuti militernya secara sistematis dan konstitusional. Pada waktu itu, Jepang dipimpin oleh tokoh yang beraliran pasifisme (anti perang) keras, yaitu Perdana Menteri Shigeru Yoshida, sehingga konstitusi tersebut tak masalah diadopsi oleh Jepang (Sjamsumar 2005). Sampai saat inipun terkecuali aliran kanan, masyarakat Jepang secara umum menganggap bahwa pasal 9 ini telah berjasa dan memberikan kontribusi yang besar dalam mengantarkan Jepang ke pintu gerbang kemajuan yang telah dicapainya sekarang ini (Cipto 2006: 182-184).

Akibatnya, semua kebijakan Jepang lebih mengarah ke bidang ekonomi. Hubungan yang dibangun kemudian difokuskan pada bidang non-militer dan non-politik. Oleh karena itu, setiap konflik dunia yang muncul, Jepang tidak pernah mengikutsertakan pasukan militernya untuk membantu. Kontribusi yang dilakukan oleh Jepang lebih kepada bantuan finansial.

Pada 1991, Perdana Menteri Kiichi Miyazawa mengeluarkan konstitusi yang membenarkan keikutsertaan tentara bela diri Jepang, SDF (Self Defence Force) untuk tugas penyelesaian konflik dunia dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia. Saat itu kemudian tentara Jepang lebih dikenal sebagai PKO (Peace Keeping Operation). Pendapat pun banyak bermunculan ketika PKO tersebut diterjunkan dalam membantu misi perdamaian PBB.

Bagi negara-negara yang pernah berurusan atau bermasalah dengan Jepang pada masa PD II, mereka mengkhawatirkan hal tersebut sebagai bentuk kebangkitan kembali militerisme Jepang. Namun, pendapat positif muncul dari bekas musuh Jepang pada PD II, Amerika Serikat. Hanya saja, Amerika Serikat mengkritik Jepang terhadap kontribusinya yang hanya bersifat bantuan finansial saja, terutama saat operasi-operasi militer yang dilakukan oleh Amerika Serikat (war on terrorism), dan terutama pada saat penyerangan Amerika Serikat ke Afganistan dan Irak.

Sebenarnya, pengiriman SDF mulai dilakukan ketika konflik berkecamuk di Kamboja dan Timor-Timur. Sedangkan pengiriman SDF ke Irak, menurut beberapa kalangan berkaitan erat dengan hubungan politik Jepang dengan Amerika Serikat. Pengiriman SDF lewat team tentara penjaga perdamaian (Peace Keeping Force) di Kamboja dan Timor-Timur dilaksanakan atas kontribusi dengan PBB. Namun, pengiriman SDF ke Irak lebih dilakukan dalam kontribusi yang berkaitan dengan hubungan bilateral antara Jepang-AS. Sebagian pengamat politik ada yang menganggap bahwa hal tersebut dilakukan Jepang karena adanya kelemahan politik Jepang dalam mengambil sikap. Dan sebagian lagi menganggap bahwa pilihan tersebut adalah jalan terbaik yang harus dilalui Jepang.

Permasalahan pasal 9 Konstitusi 1947 ini juga dipengaruhi oleh pemikiran tiga kelompok di Jepang (Sjamsumar 2005). Pemikiran pertama berasal dari kelompok realis–militer, yang berpendapat bahwa Jepang harusnya memperoleh tanggung jawab militer lebih besar dalam masalah pertahanan. Selain itu, Pasukan Bela Diri (SDF) Jepang harus meningkatkan kemampuan komando, kontrol, komunikasi serta militer.

Kelompok kedua yang berhaluan nasionalis berpendapat bahwa Jepang seharusnya melepaskan diri dari Amerika Serikat dan membentuk pertahanan sendiri. Selain itu, Jepang harus lebih membatasi pengembangan kemampuan militernya.

Kelompok ketiga ialah kelompok pasifis, kelompok ini menganggap bahwa Jepang harus lebih berkontribusi dalam penciptaan perdamaian bersama PBB serta mengakhiri hubungan kerjasama dengan Amerika Serikat. Serta tetap mendukung konstitusi mengenai konstitusi, terutama pasal 9 dan mengurangi kemampuan militernya.

Perbedaan pemikiran tersebut telah memberikan dampak bagi dinamika amandemen pasal 9 dari konstitusi Jepang. Sehingga tak jarang dalam parlemen terjadi perdebatan panjang untuk amandemen pasal 9 tersebut. Tetapi nampaknya kecenderungan untuk mengamandemen pasal 9 masih menjadi pertimbangan besar bagi Jepang yang lebih mengarah pada kelompok satu dan dua.

Dengan demikian, tahun demi tahun Jepang telah menghadapi berbagai kesulitan dalam mengambil sikap pada berbagai kebijaksanaan politik internasionalnya. Sehingga Jepang mempertanyakan kembali akan hakekat eksistensi pasal 9 dalam konstitusinya. Keberadaan pasal tersebut mulai dirasakan oleh sebagian masyarakat Jepang sebagai pengakuan Jepang atas kesalahan dan kekhilafannya pada masa perang dunia. Keberadaan konstitusi tersebut sekarang telah menjadi rantai yang membelengu dan membatasi ruang gerak Jepang untuk membangun kapasitas militernya, terutama keinginan untuk berkontribusi dalam pasukan penjaga perdamaian.

Amandemen Konstitusi Jepang Pasal 9

Pergolakan antarkelompok dalam menilai pasal 9 telah dimulai ketika Konstitusi 1947 diadopsi oleh Jepang. Pergolakan tersebut telah membawa perdebatan panjang mengenai bagaimana Jepang bisa mempertahankan dan memelihara keamanan dan stabilitas negara ketika pasal 9 telah melarang Jepang untuk membangun kekuatan militernya. Pandangan yang berbeda itu nampaknya mengarah pada dominasi kaum pasifis kala itu yang memang sedang berkuasa. Tak heran jika pada 1950-1980-an, fokus utama Jepang adalah membangun kekuatan ekonomi mereka daripada militer (Cipto 2006: 182-189). Ini membuktikan bahwa masalah amandemen pasal 9 kurang begitu memiliki pangaruh signifikan bagi publik Jepang. Terlebih isu perdagangan luar negeri dan pertumbuhan ekonomi menjadi isu bersama untuk membangun Jepang pascaperang (Reischauer dalam Mas’oed & MacAndrews 2001: 215).

Pertimbangan untuk mengamandemen pasal 9 kemudian mencuat lagi pada 1990-an ketika Ichiro Ozawa, politisi dari Partai Demokratik (DPJ), sangat gencar menekankan perlunya membangun kembali negara Jepang sebagai negara normal artinya, negara yang dilengkapi oleh basis militer dan pertahanan nasional (Ihza 2008). Militer memiliki arti signifikan bahkan strategis bagi suatu negara dan itu merupakan hal yang harus dimiliki Jepang. Terlebih Ozawa menilai bahwa selama ini Jepang masih terkungkung oleh ketergantungannya terhadap pertahanan dan keamanan militer AS. Hal itu akan terus berlanjut manakala Jepang tidak memutuskan untuk mengamandemen pasal 9 tersebut.

Namun, masyarakat Jepang masih memilih untuk tetap mempertahankan pasal 9 karena mereka masih trauma atas sikap “suka perang” Jepang yang telah mengakibatkan pertumbuhan dan kemajuan Jepang hancur. Terlebih mereka merasa diuntungkan dengan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan yang kini diraih Jepang. Kemajuan dan pertumbuhan itu tak lepas dari komitmen Jepang pada masa PM Shigeru Yoshida (1946-1954) dan Takeo Fukuda (1976-1978) dalam membangun Jepang ke arah pembangunan ekonomi (Cipto 2006: 182-189). Terlebih maneuver AS yang mendukung partai komunis Jepang telah memberikan hambatan juga terhadap amandemen pasal 9 (Ihza 2008). Sehingga, amandemen pasal 9 kurang begitu menyentuh masyarakat Jepang.

Yang menarik adalah pada masa pemerintahan Junichiro Koizumi (2001-2006) menghasilkan sebuah undang-undang anti-terorisme sebagai respon terhadap tragedy 9/11 (Ihza 2006; Kapanlagi.com, 28 Oktober 2007). Tragedi tersebut mengantarkan Jepang untuk turut serta dalam menangani masalah keamanan dan perdamaian internasional dengan memberikan dukungan pada AS dalam agenda WOT-nya. Melalui kerangka undang-undang anti-teroris ini, angkatan laut Pasukan Bela Diri Jepang dapat beroperasi di Lautan Hindia dalam misi penyediaan logistik, yaitu pengisian bahan bakar bagi pasukan multinasional pimpinan AS di Afganistan dan Irak (Kapanlagi.com, 13 Desember 2007; Suara Merdeka Cybernews, 4 Oktober 2005). Ini memberikan kesempatan bagi Jepang untuk melatih kekuatan militernya di medan perang –suatu hal yang sangat bertentangan dengan pasal 9.

Pada masa PM Shinzo Abe (2006-2007), tendensi untuk mengamandemen pasal 9 semakin nampak walaupun tidak menyentuh esensi perubahan pada klausul pasal tersebut. Pada Januari 2007, lembaga pertahanan yang telah dibentuk Jepang yang berada dalam naungan kementerian pertahanan, dirubah dengan membentuk jabatan baru, yaitu Penasehat Keamanan Nasional – suatu jabatan yang kewenangannya setingkat menteri dalam kabinet (Hendrajit 2007). Era Abe ini juga diwarnai oleh dukungannya terhadap undang-undang anti-terorisme yang didasarkan pada aliansi keamanan AS-Jepang.

Perkembangan berikutnya, pada masa PM Yasuo Fukuda (2007-…) masalah amandemen pasal 9 menjadi isu penting bagi Jepang untuk menunjukkan komitmennya terhadap penciptaan kondisi damai dan aman tidak hanya bagi Jepang tetapi juga internasional. Tak heran jika misi pasukan Jepang di Afganistan untuk mendukung operasi AS masih menjadi prioritas Fukuda (Forum-Politisi.org, 8 Juli 2008). Untuk itu, perpanjangan undang-undang anti-terorisme menjadi penting bagi Fukuda dalam membangun kapasitas militer Jepang secara tidak langsung melalui keterlibatannya dalam operasi-operasi perdamaian. Dengan begitu, maka secara tidak langsung amandemen pasal 9 akan bergulir dengan sendirinya. Keinginan Fukuda untuk membentuk militer Jepang tidak sekedar sebagai pasukan bela diri, tetapi juga adanya kemungkinan membentuk pertahanan kolektif (cololective defense) (Hendrajit 2007). Ini merupakan perwujudan dari semakin besarnya keinginan Jepang, terutama dari kelompok kanan/kaum konservatif (LDP), untuk membangun kembali militernya sebagai basis pertahanan dan keamanan Jepang.

Namun, masalah amandemen pasal 9 ini masih mendapat tantangan dari kelompok kiri/kaum progresif terutama partai oposisi seperti DPJ dan partai komunis Jepang. Mereka menganggap bahwa segala bentuk dan upaya Jepang untuk terlibat dalam pengiriman pasukan merupakan tindakan yang berlawanan dengan pasal 9. Hal ini akan memberikan ekses bagi bangkitnya kembali militerisme Jepang dalam politik luar negerinya dan dikhawatirkan sikap “suka perang” akan muncul kembali yang malah akan menimbulkan ketegangan baik dikawasan maupun internasional atas sikap Jepang tersebut. Oleh karena itu, tak heran ketika DPJ memenangkan pemilu dalam pemilihan Majelis Tinggi pada 2007, menolak adanya perpanjangan undang-undang anti-terorisme yang berakhir pada 1 November 2007 tersebut (Kapanlagi.com, 13 Desember 2007). Kemenangan DPJ dalam Diet merupakan hal yang langka karena selama hampir lima decade, Diet dikuasai oleh LDP yang beraliran konservatif. Kemenangan DPJ ini telah memberikan dinamika yang signifikan bagi perjalanan amandemen pasal 9 Konstitusi 1947.

Hal yang penting untuk dilihat bahwa adanya kecenderungan secara politik dari Jepang untuk mengamandemen pasal 9 dalam setiap periode pemerintahan. Hal ini didasarkan pada upaya-upaya yang telah dilakukan oleh LDP sebagai partai yang berkuasa di Diet telah secara tidak langsung menggeser esensi dari pasal 9. Pembentukan SDF, undang-undang anti-terorisme, hingga penerjunan pasukan dalam misi perdamaian secara eksplisit tidak sesuai dengan klausul pasal 9 tersebut. Hal ini menyebabkan eksistensi pasal 9 masih menjadi suatu dilema bagi Jepang yang dalam prosesnya cenderung untuk diamandemen sebagai sebuah mekanisme untuk menjawab tantangan dan dinamika hubungan internasional kontemporer sekarang. Seperti yang diungkapkan Hendrajit (2007),


“…apa yang terungkap melalui kebuntuan yang terjadi di parlemen antara LDP dan Partai Demokrat[ik] Jepang sebenarnya hanya sekadar puncak gunung es yang menggambarkan adanya rencana strategis Jepang untuk membangkitkan kembali kekuatan militernya…merevisi pasal 9 dari konstitusi Jepang dengan memperluas cakupan peran militer Jepang…”


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Amandemen

Keinginan Jepang untuk mengamandemen pasal 9 tak lepas dari bagaimnana Jepang menilai perkembangan dan dinamika hubungan internasional di era kontemporer sebagai sebuah realitas yang harus dihadapi. Kondisi lingkungan eksternal yang ada telah membentuk persepsi Jepang atas diri dan lingkungannya yang diterjemahkan dalam sebuah kesan dan sikap Jepang untuk merespon kondisi tersebut. Pada akhirnya, penilaian terhadap lingkungan atau realita yang dihadapinya telah memberikan preferensi bagi Jepang untuk mengamandemen pasal 9.

Amandemen pasal 9 tersebut tentunya direpresentasikan oleh keinginan rezim yang berkuasa, dimana mereka memiliki kuasa untuk membuat dan mengambil kebijakan. Dengan demikian, upaya-upaya yang dilakukan LDP maupun kelompok konservatif lainnya, yang sangat gencar sekali menginginkan amandemen pasal 9 tak lepas dari berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi. Sehingga, tercipta sebuah preferensi untuk mengamandemen pasal 9 Konstitusi 1947.

Dinamika yang terjadi di kawasan Asia Timur telah memberikan persepsi tersendiri bagi Jepang untuk terus dapat mengamankan integritas wilayah dan stabilitas dalam negeri Jepang yang semakin terancam. Persepsi ancaman tersebut terutama berasal dari China yang dianggap sebagai kekuatan penyeimbang Jepang di kawasan. Perselisihan China–Jepang, terutama yang terkait dengan luka sejarah ekspansi Jepang ke China pada masa perang dunia, telah membentuk persepsi Jepang mengenai potensi retaliasi. Peningkatan kekuatan dan anggaran militer China serta modernisasi militer negara tersebut membuat Jepang khawatir akan ancaman terhadap keamanan wilayahnya. Selain itu, militer China kini telah mengembangkan dan ditunjang senjata nuklir.

Selain kekuatan militer, kekuatan perekonomian China di kancah internasional pun juga menjadi salah satu faktor yang mengancam integritas Jepang. Dengan peningkatan anggaran belanja militer yang cukup signifikan, China membuat Jepang harus berpikir beberapa kali untuk menganggap teritorinya aman. Seperti yang diungkapkan oleh Fukushiro Nukaga, pejabat pertahanan Jepang, “Kami harus waspada dan memperdalam pertukaran sebelum berbagai hal ini berubah menjadi ancaman militer.” (Geografiana, 21 November 2005). Selain itu, pasokan energi Jepang yang melewati laut China Selatan pun selalu diawasi oleh China yang tak jarang menimbulkan ketegangan antar kedua negara tersebut.

Selain China, persepsi ancaman tersebut juga berasal dari Korea, yaitu kemungkinan konflik dengan Korea Selatan. Negara ini memiliki permasalahan dengan Jepang mengenai kepulauan Dokdo/Takeshima. Jepang mencaplok Kepulauan Dokdo/Takeshima saat Perang Rusia–Jepang pada 1904, dan saat penaklukan Semenanjung Korea 1910-1945. Korea Selatan berpendapat bahwa Jepang jangan memaksakan klaim atas "Takeshima", sebutan Jepang untuk Dokdo, karena itu merupakan hasil pencaplokan masa imperiumnya. Dokdo pertama diklaim Jepang pada 22 Februari 1905 (Manafe dalam Sinar Harapan, 3 Juni 2006).

Konflik mengenai kepulauan Dokdo ini berkaitan dengan sumber daya alam yang terkandung di pulau tersebut. Sumber daya tambang yang ada di lepas pantai sekitar wilayah Dokdo ialah gas hydrat. Hal ini diketahui ketika perusahaan Korea, Gas Corp. membuat siaran pers tentang kemajuan proyek eksplorasi gas hydrat yang mencakup perairan sekitar Dokdo. Perusahaan gas tersebut mengatakan, terdapat ladang gas yang cukup besar. Hal ini telah menyokong industri di Korea Selatan sehingga peningkatan kemampuan industri Korea Selatan yang cukup maju juga membuat Jepang khawatir. Persaingan industri yang cukup terlihat jelas ialah mengenai dunia otomotif.

Masalah nuklir Korea Utara juga menimbulkan potensi ancaman bagi Jepang. Perkembangan nuklir Korea Utara tersebut dapat memicu Jepang untuk selalu waspada akan kemungkinan-kemungkinan konflik yang muncul akibat pengembangan dan uji coba nuklir mereka. Tak heran jika Jepang sangat berkepentingan untuk meredam pembangunan kekuatan nuklir Korea Utara melalui deklarasi tahun 2002 antara Jepang dan Korea Utara, yaitu Japan-North Korea Pyongyang Declaration. Selain itu, pertemuan enam pihak (six talk party) yang didalamnya melibatkan AS, sangat penting bagi Jepang untuk selalu mempengaruhi perkembangan nuklir Korea Utara tersebut. Dari sini sangat jelas bahwa potensi ancaman nuklir Korea Utara membuat Jepang merasa terancam keamanan dan pertahanannya. Terlebih pada 1 Mei 2005, seperti yang diberitakan kantor berita Jepang Kyodo bahwa sebuah rudal jarak pendek telah meluncur mengarah ke arah laut Jepang yang dating dari arah pantai timur laut Korea Utara. Diduga bahwa rudal tersebut merupakan rudal impor dari Rusia, Misil SS21 (Sjamsumar 2005).

Dan terakhir, persepsi ancaman tersebut muncul akibat desakan dari masyarakat serta keinginan AS untuk mengurangi jumlah personil militernya di wilayah Jepang. Desakan dari masyarakat muncul karena banyaknya jumlah militer AS. Selain itu, kekhawatiran masyarakat Jepang muncul ketika kekuatan militer negara–negara di kawasan Asia Timur meningkat, terutama China dengan peningkatan yang cukup mengesankan. Banyaknya personil militer AS tak lepas dari adanya pangkalan militer AS di Jepang. Tetapi bukannya tidak terima, AS justru ingin menarik pasukannya dalam jumlah yang besar. Keinginan penarikan pasukan tersebut bertujuan untuk menempatkan pasukan yang ditarik dari Jepang untuk diletakkan di wilayah Afrika. Selain itu, kepentingan AS di Timur Tengah telah menyebabkan Jepang harus turut andil dalam menyuplai kebutuhan perang AS, selain Jepang sendiri memiliki kepentingan akan pasokan minyak dari Timur Tengah.

Hal yang sangat menarik adalah adanya dinamika hubungan internasional yang kini diwarnai oleh terorisme. Isu terorisme mulai mencuat pasca tragedi 9/11 dimana atas tragedi ini AS kemudian mendeklarasikan war on terrorism. Jepang sebagai negara yang tergantung pada sistem keamanan dan pertahanan AS, merespon WOT AS tersebut dengan memberikan dukungan finansial dan pasukan SDF-nya ke Afganistan dan Irak. Terlebih dukungan tersebut dilandasi oleh undang-undang anti-terorisme sebagai landasan hukum jepang untuk terlibat dalam misi perdamaian. Dukungan tersebut tak lepas dari adanya persepsi ancaman dari gerakan dan kelompok teroris terhadap wilayah kedaulatan dan integritas Jepang. Terlebih secara geopolitik, Jepang sangat rawan terhadap serangan teroris.

Dengan demikian, berbagai faktor tersebut telah membentuk persepsi Jepang akan potensi ancaman yang datang dari kondisi lingkungan eksternalnya. Hal inilah yang kemudian membuat dinamika dalam mengamandemen pasal 9 menjadi sebuah keniscayaan – walaupun masih bergulir dalam bentuk perdebatan panjang di Diet.

Kesimpulan

Kebutuhan untuk mengamandemen pasal 9 dari Konstitusi 1947 adalah hal yang mendasar bagi Jepang untuk membangun kembali basis keamanan dan pertahanan nasionalnya demi menjaga integritas wilayahnya di era kontemporer sekarang. Kebutuhan untuk mengamandemen pasal tersebut tak lepas dari persepsi Jepang terhadap dinamika kawasan Asia Timur, terutama China yang telah berpotensi sebagai kekuatan yang mengancam stabilitas keamanan Jepang. Terlebih isu terorisme telah megantarkan Jepang untuk terlibat dalam agenda WOT-nya AS sebagai suatu mekanisme untuk mengamankan baik wilayah maupun kepentingan nasionalnya.

WOT tersebut secara tidak langsung berdampak pada terciptanya undang-undang anti-terorisme yang jelas-jelas berlawanan dengan pasal 9. Hal ini merupakan sebuah ironi bagi AS dimana ia adalah negara yang memaksakan bahwa militer Jepang harus dilucuti pasca PD II. Selain itu, sejarah Jepang di Korea telah memberikan persepsi sendiri bagi Jepang yang berpengaruh pada preferensi amandemen pasal 9 tersebut. Hal tersebut telah membentuk persepsi Jepang mengenai ancaman yang berpotensi mengganggu integritas wilayahnya. Sehingga kemudian, menjadi landasan bagi Jepang untuk meninjau lagi pasal 9 Konstitusi 1947.


Take Small Bites: The Fait Accompli Strategy by Robert Greene

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk. dkk (Didit Fakhturizal & Fariz H Perdana)

print this page Print this article

Based on Robert Greene's Book: The 33 Strategies of War...

If you seem too ambitious, you stir up resentment in other people; overt power grabs and sharp rises to the top are dangerous, creating envy, distrust, and suspicion. Often the best solution is take small bites, swallow little territories, playing upon people’s relatively short attentions spans. Stay under the radar and they won’t see your moves. And if they do, it may already be too late; the territory is yours, a fait accompli. You can always claim you acted out of self defense. Before people realize it, you have accumulated an empire.

Artikel ini menjelaskan mengenai bagaimana seseorang berusaha menjalani perang, demi mencapai tujuan utamanya yaitu kekuasaan, dengan langkah-langkah yang cenderung berskala kecil dan bertahap. Sekilas, manusia yang tampak agresif dan ambisius lebih sering menonjolkan cara-cara yang dramatis sehingga menyita perhatian orang lain secara berlebihan. Hal seperti inilah yang seharusnya dihindari oleh para pencari kekuasaan. Pendekatan sedikit demi sedikit untuk mencari kekuasaan dan menaklukkan akan sempurna untuk zaman politis sekarang ini, sebagai topeng agresi paling hakiki.

Seperti yang tercermin dari perjalanan Charles de Gaulle dalam membangun “kekaisaran” Perancis di bawah kekuasaannya. Ia memulainya secara bertahap dan perlahan tapi pasti dengan sejumlah kekuatan yang ia bangun baik dari rakyat Prancis maupun sedikit bantuan dari sekutunya yaitu Inggris. Kunjungan de Gaulle ke Inggris pada tanggal 17 Juni 1940 untuk menemui Winston Churchill menjadi agenda utamanya dalam mencari dukungan dan perlindungan ketika Perancis mengalami kehancuran akibat serangan kilat (blitzkrieg invasion) Jerman. Sebenarnya banyak yang menganggap Charles de Gaulle sebagai jendral dengan catatan militer yang kurang menonjol dan tidak mungkin dianggap sebagai tokoh politik yang penting. Namun, de Gaulle bersikap seolah-olah hanya dirinyalah yang dapat menyelamatkan Perancis.

Rencana awal de Gaulle ialah berpidato lewat radio BBC kepada seluruh warga Perancis yang masih setia kepada Perancis merdeka agar tidak putus asa. Akses untuk berpidato tersebut didapatnya dari Churchill. Dalam pidatonya, de Gaulle terkesan sangat berani dan berjanji kembali melakukan pidato keesokan harinya. Hal ini mengejutkan Churchill, namun karena terlanjur berjanji, ia memberikan keleluasaan kepada de Gaulle untuk melakukan siaran demi menguatkan hati rakyat Perancis di masa-masa kelam saat itu. Karena sibuk dengan urusan lain dan yakin bahwa pendengar de Gaulle tidak banyak, Churchill mengabaikan sikap sang jendral dan membiarkannya terus melakukan siaran hingga dia terlambat menyadari bahwa setiap program baru de Gaulle semakin sulit dihentikan. Suara de Gaulle semakin berpengaruh dan memunculkan keyakinan bagi rakyat Perancis. Ketika kekuatan prajuritnya telah memadai, de Gaulle memimpin pasukannya untuk merebut kembali koloni Perancis di Afrika Tengah dan Utara dari Pemerintahan Vichy–pemerintahan yang dibentuk oleh pejabat Prancis yang menyerah dengan Jerman.

Menjelang akhir tahun 1942, de Gaulle yang semakin dominan telah menyinggung banyak orang dalam pemerintahan Sekutu sehingga dibahaslah rencana untuk menggantikan de Gaulle dengan seseorang yang lebih mudah diatur, yaitu Jendral Henri Giraud. Mencium konspirasi itu, de Gaulle lalu mengadakan pertemuan pribadi dengan Giraud yang mengusulkan dokumen untuk mengangkat Giraud sebagai kepala komandan pasuka bersenjata dan turut memimpin Perancis bersama de Gaulle sebagai presiden. Namun ketika Giraud sedang tak berada di Perancis, ternyata de Gaulle telah melucuti kekuasaan politiknya dan diam-diam Giraud dipensiunkan.

Jutaan warga Perancis serta Roosevelt dan Churchill menjadi saksi bagaimana Charles de Gaulle berhasil membentuk semacam kekaisaran di bawah kendalinya. Langkah-langkah de Gaulle yang samar namun meyakinkan memberikan penjelasan bagaimana strategi fait accompli ini diterapkan demi ambisi kekuasaannya.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan mengenai strategi yang dibuat oleh de Gaulle, yaitu ketika melarikan diri ke Inggris, ia mempunyai satu tujuan yaitu memulihkan kehormatan Perancis dengan memimpin sebuah organisasi militer dan politik. Seandainya de Gaulle mengungkapkan niat yang sebenarnya (baca : Kekuasaan), ia pasti sudah dipandang sebagai orang yang berbahaya yang memiliki ilusi dan ambisi politik. Oleh karena itu, ia kemudian melakukan manuver-manuver secara perlahan dan sedikit demi sedikit meraih tujuan-tujuan kecilnya. Yang pertama ialah memperoleh perhatian dari publik, yakni dengan melakukan siaran di BBC kemudian de Gaulle mengendalikan wilayah Afrika dibawah Fighting France bentukannya.

Selanjutnya, de Gaulle menyusup ke dalam gerakan France Resistance dan mengambil alih kendali kelompok tersebut dan pada akhirnya meraih sedikit demi sedikit kendali mutlak untuk memerintah Perancis di masa depan. Karena de Gaulle melangkah sedikit demi sedikit maka tidak ada seorangpun benar-benar memperhatikan dan paham maksud dan tujuan yang sebenarnya. Ketika Churchill dan Roosevelt menyadari langkahnya itu, terlambat sudah untuk menghentikannya.

Penulis kemudian menjelaskan cara kerja strategi fait accompli tersebut sebagai berikut : ketika ada sesuatu yang kita inginkan coba kita mengambilnya tanpa membahasnya dengan orang lain atau memberi tanda/sinyal pada orang lain mengenai keinginan kita, sehingga memberi pilihan pada lawan kita entah melawan atau menerima kerugiannya tanpa mengganggu kita. Kemungkinan besar akan ada lebih banyak alasan rasional yang dipikirkan pihak lawan untuk tidak mengganggu kita daripada mempermasalahkan sesuatu yang sepele dan tak berarti, sehingga keinginan kita terhadap benda atau sesuatu tersebut menjadi suatu fait accompli (baca : keadaan yang dihadapi) bagi pihak lawan yang selalu lebih baik dibiarkan saja.

Strategi fait accompli harus dilakukan secara samar dan perlahan-tapi-pasti sehingga walaupun musuh mulai mempertimbangkan perang atau mulai mengambil tindakan, kita sudah mengubah medan permainannya. Tentunya strategi fait accompli ini harus diiringi oleh taktik take small bites. Taktik take small bites (sedikit demi sedikit) ini menjadi penangkal sempurna bagi ketidaksabaran yang sering kita alami dalam meraih ambisi dan keinginan kita. Strategi ini memaksa kita merenungkan prosesnya, urutan langkah dan tindakan yang berhubungan, yang memberikan manfaat psikologis yang tak terukur. Akhirnya, penggunaan strategi ini untuk menyamarkan niat agresif kita dan memberi kesan bahwa tujuan kita hanyalah terbatas, padahal tujuan besar kita bermuara pada tujuan yang dianggap terbatas tersebut oleh pihak lawan.

Namun, seandainya kita melihat atau mencurigai bahwa kita sendiri diserang sedikit demi sedikit dengan strategi fait accompli ini, satu satunya strategi untuk menandinginya adalah mencegah kemajuan fait accompli tersebut lebih lanjut. Caranya yaitu merespon dengan cepat dan keras untuk mengecilkan hati mereka yang melawan. Cara yang lain adalah dengan menghabisi mereka di saat mereka masih kecil atau tidak punya kekuatan berarti.


Dengan menerapkan startegi ini kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan tanpa mendapat perhatian dan perlawanan apapun dari lawan kita. Dengan mudah kita dapat mewujudkan tujuan utama kita secara tuntas. Strategi fait accompli dan taktik take small bites ini membawa pihak lawan pada sebuah pilihan bahwa ”apa yang mereka pilih adalah apa yang kita inginkan”. Sempurna!


Nationalism and Contemporary European

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Melihat perkembangan Eropa yang sangat dinamis dalam kerangka integrasi politik melalui institusi regional UE, maka timbul sebuah pertanyaan klasik, yaitu apakah konsep nasionalisme masih sesuai dengan konteks politik Eropa kontemporer?

Eropa merupakan sebuah entitas yang sangat kaya akan perkembangan konsep-konsep sosial politik. Dari pengalaman sejarah mereka yang pernah disatukan di bawah Roman Empire telah membawa kesan tersendiri untuk membentuk sebuah komunitas atas dasar etnis maupun kontrak sosial antar individu. Sebelumnya mereka telah hidup secara sendiri dengan konsep city-state pada abad pertengahan yang selalu diiringi dengan perang satu sama lain. Kini, setelah mengalami beragai perang internal antar bangsa Eropa sendiri dan perang eksternal dengan bangsa luar telah memberikan pengaruh bagi dinamika identitas Eropa sendiri.

Dengan konsep nation-state, hasil dari perjanjian Westphalia, telah menimbulkan berbagai implikasi terhadap perkembangan kehidupan untuk menentukan nasib dan masa depan bangsanya sendiri. Salah satu yang melekat erat dengan konsep nation-state adalah nasionalisme. Menurut George Schopflin nasionalisme adalah “a political ideology that claims that the world is devided into nations and only into nations, and that each individual belongs to a nation and only to one nation.” Jelas, bahwa setiap individu punya keinginan untuk memiliki sebuah indentitas kebangsaan yang itu merupakan bagian dari pengakuan individu dalam sebuah komunitas dengan ideologi politik tertentu.

Nasionalisme selalu mengalami perkembangan dan tumbuh terus selama ratusan tahun untuk memperkuat identifikasi individu terhadap negara. Ini merupakan elemen penting bagi lahirnya negara merdeka serta mewarnai doktrin politik yang dianut. Sehingga kesetian warga negara terhadap negara dan efisiensi pemerintah sangatlah saling berhubungan dan mendukung. Seperti yang terjadi dalam sejarah Eropa, setidaknya terdapat dua tipe nasionalismenya yaitu nasionalisme liberal demokrasi yang sangat concern terhadap kebebasan individu untuk menetukan identitasnya dalam membentuk sebuah komunitas. Tipe ini terutama dianut oleh Eropa Barat. Yang lain adalah nasionalisme illiberal yang identik dengan perkembangan Eropa Timur dan Tengah, dimana nasionalisme dijadikan sebagai tujuan politik –yang merupakan warisan Soviet. Hal ini tak lepas dari kondisi Eropa Timur yang berada dalam pengaruh rezim komunis.

Dari kedua tipe nasionalisme tersebut telah membagi Eropa dalam perkembangan dan pemahaman nasionalisme yang berbeda, di satu sisi punya nilai-nilai liberal dan di sisi lain sosialis. Ini kemudian berpengaruh terhadap dinamika politik yang berseberangan diantara wilayah Eropa sendiri. Padahal, Eropa sekarang telah membentuk unit supranasional, Uni Eropa. Tak heran jika masalah-masalah yang muncul dalam pengintegrasian Eropa salah satunya adalah pemahaman nasionalisme yang beda antara Eropa Barat dan Timur.

Setiap negara memiliki nasionalisme yang berbeda. Ada dua pandangan mengenai nasionalisme ini yang terkait dengan konstruksi sosial negara tersebut. Pertama, civic nationalism yang menitik beratkan pada ikatan politik atau kontrak politik antar individu yang sepakat untuk membentuk entitas sebuah negara. Jadi, keragaman etnis dalam negara bukanlah suatu hal yang menentukan nasionalismenya. Akan tetapi jika permasalahan etnis ini muncul maka tak pelak konflik berbasis etnis akan muncul. Sehingga nasionalisme jenis ini diperlukan sebuah rasa saling menghormati satu sama lain, kebebasan individu, tidak ada dominasi, dan lain-lain. Civic nationalism terkait erat dengan nilai-nilai demokrasi liberal (Yael Tamir).

Kedua, ethnic nationalism yang menitik beratkan pada komposisi etnis yang dominan/mayoritas bahkan satu etnis saja dalam sebuah negara. Nation-building dan state-building negara ini berdasarkan pada etnis sehingga nilai-nilai nasionalismenya terkait erat dengan ethnic-culture. Nasionalisme ini pernah terjadi ketika Jerman dibawah kepemimpinan Hitler ingin menyatukan Eropa dibawah ideologi Nazi-nya. Jadi, nasionalisme jenis ini cenderung mengarah pada etno-nasionalisme yang berdampak, apabila berlebihan, pada chauvinisme. Namun, dari segi komposisi etnis cenderung mayoritas.

Melihat sejarah Eropa, kedua macam nasionalisme tersebut pernah diterapkan, bahkan terjadi perbedaan antara Eropa Barat yang cenderung pada nilai-nilai demokrasi liberal dan Timur yang merupakan bekas wilayah pengaruh Soviet (baca: komunis). Ini membuat nilai-nilai nasionalisme di Eropa merupakan hal yang sangat penting bagi identitas individu maupun perkembangan regionalisme yang terjadi di Eropa. Bahkan, nilai-nilai nasionalisme Eropa berkembang ke seluruh wilayah dunia yang ditandai dengan munculnya negara-negara baru, seperti pada era pasca Perang Dunia II banyak muncul negara-negara dunia ketiga.

Perkembangan Eropa saat ini, masa kontemporer, telah memberikan sejumlah permasalahan mengenai relevansi nasionalisme terhadap Eropa. Setidaknya terdapat tiga tantangan terhadap relevansi nasionalisme di era kontemporer saat ini (Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe), yaitu pertama, kemajuan teknologi militer; kedua, munculnya organisasi-organisasi supranasional; dan ketiga, makin berkembangnya peranan gerakan-gerakan transnasional yang bersifat ideologis, religius, fungsional, dan politis. Kemajuan teknologi militer pada 1950-an telah membuat sebuah transformasi baru bagi ”kematian” negara karena negara tidak mampu melindungi rakyatnya terhadap perang-perang modern yang melibatkan senjata biologi, nuklir, dan ekonomi. Transformasi tersebut akan mengarah pada kondisi internasional yang didominasi oleh aliansi-aliansi regional yang saling bertentangan. Bahkan George Orwell meramalkan tiga kekujatan dunia ”mendatang”, yaitu Oceania, Eurasia, dan Asia Timur. Hal ini nampak pada kerjasama pertahanan yang dilakukan negara-negara Eropa dengan Amerika Serikat dalam NATO misalnya.

Tantangan kedua adalah munculnya organisasi-organisasi supranasional yang berdampak pada semakin ”menyusutnya” kedaulatan nasional yang merupakan nilai esensi dari sistem negara saat ini. Nilai-nilai yang terkandung salah satunya adalah prinsip non-intervensi terhadap kehidupan dalam negeri negara lain. Seperti yang ditunjukkan dalam perkembangan Eropa saat ini yang telah memiliki organisasi dan kerjasama supranasional, yaitu Uni Eropa. Dimana ini dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang sama dalam berbagai bidang yang akan memperkuat Eropa secara keseluruhan. Ini mengindikasikan adanya politik interdependensi dalam perkembangan kedaulatan dan sistem negara yang nampaknya bertentangan dengan nation-state sebagai sebuah kesatuan politik satu-satunya.

Dan ketiga adalah munculnya gerakan-gerakan transnasional yang bersifat ideologis politis seperti facisme dan komunisme. Seperti yang diungkapkan oleh Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe dalam Pengantar Hubungan Internasional : keadilan dan power.

””Tertib Baru” yang dikemukakan oleh kaum sosialis nasional Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler (1889-1945) mendesak negara-negara versi liberal abad 19 dan menghendaki adanya formasi sistem negara-negara Eropa yang bersifat hirarkis yang dikuasai oleh apa yang dianggap oleh Hitler sebagai suatu ras yang secara biologis terpilih menurut kemurnian ideologi dan kekuatan.” (1986 : 81)

Hal lain adalah munculnya gerakan marxisme dan sosialisme yang berbasiskan pada perjuangan kelas borjuis dan proletar di berbagai negara dunia. Cita-cita terbesar dari gerakan ini adalah menciptakan masyarakat komunis tanpa kelas. Jelas gerakan ini menolak adanya negara sebagai entitas politik yang akan berakhir pada ketiadaan nasionalisme. Cita-cita ini pernah diuasahakan Soviet, namun gagal, sampai menyebarkan pengaruhnya pada Eropa Timur yang menjadi negara-negara satelitnya. Bahkan pengaruh tersebut masih berbekas sampai sekarang.

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa nasionalisme sebagai sebuah kekuatan bagi individu untuk menemukan makna identitas (sense of identity) dan rasa memiliki (sense of belonging) kini kurang relevan lagi bagi perkembangan Eropa Kontemporer. Ide atau cita-cita terbesar Eropa untuk meraih tujuan bersama dalam satu kesatuan komunitas lebih dikedepankan daripada kenyataan keberagaman Eropa sendiri yang semestinya menjadi dasar bagi identitas dan rasa memiliki individu terhadap komunitas yang sesuai dengannya, seperti yang dinyatakan Will Kymlicka dalam bukunya Kewargaan Multikultural. Dan ini kurang sesuai dengan nilai-nilai liberal yang dikembangkan Eropa sendiri.

State and Multinational Corporations by Gilphin

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Review Artikel

Dalam artikelnya yang berjudul "State and Multi National Corporations," Gilphin membahas mengenai MNCs dalam hubunganya dengan entitas negara di era globalisasi ekonomi dunia. Lebih lanjut, membahas perdebatan yang terjadi seputar MNCs dan kontibusinya terhadap ekonomi dunia serta independensi MNCs terhadap negara atau sebaliknya.

Menurut Gilphin, definisi dari MNCs itu sendiri sangat beragam, banyak para ahli yang mendefinisikan berdasarkan pemahaman dan hasil penemuan mereka. Namun, dari sekian banyak definisi tersebut, tak satupun diambil sebagai definisi yang pasti. Gilphin berpendapat MNCs sebagai firm of a particular nationality with partially or wholly owned subsidaries within at least one other national economy.”

Ia mengungkapkan bahwa MNCs, dalam rangka mencapai pangsa pasar dan keuntungan yang besar, melakukan berbagai strategi bisnis baik aktif melalui FDI maupun pasif melalui investasi portofolio. Secara aktif, FDI yang dilakuakan oleh MNCs biasanya melalui aliansi, manufacture, merger, retail, dan lain-lain untuk memperkuat posisinya. Sementara secara pasif, investasi portofolio MNCs biasanya melalui pembelia saham di suatu nagara. Lebih lanjut, Gilphin menerangkan mengenai seputar perdebatan MNCs dan FDI dari berbagai perspektif, seperti neoclasic economist, bussiness economist, dan political economist. Menurut dia, ekonom neoklasik memiliki pemikiran yang menolak pentingnya MNCs dalam suatu kelembagaan karena perekonomian dunia lebih ditentukan oleh mekanisme pasar, bukan pada institusinya. Sementara itu, bussiness economist memandang MNCs secara berbeda melalui tiga pendekatan, pertama, Vermon’s Product Theory, yang menjelaskan bahwa dalam kegiatan perekonomian terdapat siklus suatu perusahaan mulai dari tahap prematur sampai decline. Hal ini berpengaruh pada barang yang dihasilkan dimana setiap ada inovasi baru maka barang yang lama akan mengalami kemunduran (decline). Kedua, teori Dunning’s and Reading School’s Electic, intinya adalah kemajuan teknologi sebagai faktor pendorong dan hala yang terpnting dalam perkembangan MNCs di dalam perekonomian dunia. Ketiga, teori Portr’s Strategic dimana menurut teori ini MNCs melakukan usahanya didukung oleh strategic management yang mereka buat untuk keuntungan mereka sendiri.

Lain halnya dengan political economy, Gilphin menjelaskan kaitan ekonami dan politik dengan MNCs didalam skala internasional. Dalam perspektif ini ada dua pendekatan, pertama, Marxist Theory, yang dikemukakan oleh Stephen Hymer. Menurut teori ini, Gilphin menjelaskan berdasarkan kerangka Hymer bahwa dalam monopoli kapitalisme, terdapat dua “hukum”, yaitu pertama, perluasan bentuk perusahaan dalam segi ruang lingkup dan ukurannya dapat menghasilkan atau menciptakan struktur internasional yaitu Core-Pheripery dan adanya division of labor secara internasional, dimana nantinya terdapat exploitasi Core terhadap Pheripery. Kedua dari hukum Hymer tersebut adalah adanya ketidakseimbangan perkembangan ekonomi diantara Core-Pheripery. Hal ini karena mobilitas, kekuatan monopolistik, dan aktivitas MNCs yang sangat eksploitatif antara negara-negara Utara (Core) yang mengekspolitasi negara-negara Selatan (Phripery).

Selanjutnya, pendekatan kedua dari perspektf political economy adalah State-Centric Interpretation. Pendekatan state-centric interpretation ini menjelaskan bahwa keberadaan MNCs dalam perekonomian dunia terjadi karena ada lingkungan perekonomian yang mendukungnya, yaitu international power yang banyak bias terhadap domaint power untuk menjaga kepentingan konomi dan keamananya dalam ekonomi internasional. Sehingga, MNCs sebenarnya adalah persaingan perusahaan nasional antar satu negara dengan lainnya karena MNCs masih banyak dipengaruhi oleh nilai, aturan, dan budaya dari negara asalnya.

Gilphin kemudian membahas MNC dan ekonomi internasional. Dalam perkembangannya MNC menghasilkan kurang lebih empat perlima pendapatan dunia dan mempekerjakan lebih kurang dua pertiga dari penduduk di home-country mereka. Selain itu, perkembangan FDI berlipat dari tahun ke tahun, FDI menjadi pola umum dalam petumbuhan perkembangan perdagangan internasional. Antara tahun 1985 dan 1990, pertumbuhan FDI mencapai rata-rata 30% per tahun, atau sekitar empat kali dari pengeluaran/output dunia. Aliran FDI bertambah secara signifikan sejak 1992 hingga mencapai $350 miliar.

Gilphin melihat nahwa sekarang MNC telah tersebar di setiap penjuru dunia, namun FDI masih terkonsentrasi di suatu wilayah tertentu dan tidak didisbrusikan secara seimbang. Meskipun FDI berkembang pesat di beberapa negara berkembang, tetapi sebagian besar FDI masih terkonsentrasi di Eropa dan Amerika Serikat (negara-negara maju) saja karena pasar ekonomi terbesar masih dipegang kedua benua kaya itu.

Pertumbuhan FDI yang sangat signifikan dan aktivitas MNC di banyak negara telah menghubungkan berbagai negara di dunia untuk mempengaruhi ekonomi secara global. Hal ini menjadi bahan kritikan dari berbagai kalangan. Kritik ini terkait dengan eksistensi nation-state dan integrasinya dengan ekonomi nasional. Mereka menganggap bahwa MNC mempunyai strategi korporat yang ekploitatif. Selain itu, MNC mengintegrasikan masyarakat ke dalam suatu bentuk yang tidak beraturan serta setiap individu dan kelompok kehilangan kontrol atas hidup mereka, di mana kehidupan mereka kebanyakan dieksploitasi. Sedangkan kritikan yang lain–neoklasik–menganggap keberadaan MNC tidak begitu penting. Mereka percaya bahwa pola dalam perdagangan internasional ditentukan berdasarkan teori lokasi dan prinsip comparative advantage.

Namun, kedua kritik tersebut diatas, oleh Gilphin, dibantah dengan argumen bahwa MNC memberi keuntungan kepada semua pihak, sedangkan teori lokasi tidak lagi dapat menjelaskan fenomena ekonomi global yang didukung dengan kemajuan teknologi dan berkembangnya kompetisi pasar yangn oligopolistik.

Selanjutnya Gilphin mengungkapkan bahwa perkembangan terakhir dalam ekonomi global adalah internasionalisasi perdagangan jasa dan produk industri yang didukung dengan semakin menurunnya tingkat biaya komunikasi dan transpotasi yang pada akhirnya mendorong berbagai perusahaan untuk mengintegrasikan produk dan aktivitasnya ke seluruh dunia. Namun, internasionalisasi yang terjadi dalam ekonomi global tersebut hanya di negara-negara kaya dan itu tidak terjadi di negara-negara berkembang yang berjalan lambat.

Amerika, Eropa Barat, dan Jepang–tiga kekuatan ekonomi dunia–cenderung memindahkan usaha-usaha internasionalisasi perdagangan mereka ke kawasan regional mereka, karena adanya kebijakan baru dalam manajemen MNCs, yang melihat bahwa perdaganga mereka akan dapat dikontrol secara maksimal sehingga resiko-resiko yang tidak dinginkan atau diluar kendali dapat di amankan. Selain itu, dengan metode baru tersebut MNCs dapat mendekati konsumen utamanya di kawasan regionalnya sehingga perdagangan regional yang ada dapat mengurangi perang perdagangan dan ketidakstabilan ekonomi. Tambahan pula bahwa alasan budaya yang sama menjadi sangat menentukan pula dalam internasionalisasi perdagangan mereka melalui MNCs.

Kemudian Gilphin lebih banyak menerangkan mengenai perdebatan posisi MNC dengan negara. Di satu pihak ada yang berpendapat bahwa MNCs benar-benar independen dari home-countrynya. Mereka memandang bahwa MNCs tentu memiliki sistem dan nilai yang dapat mempengaruhi transformasi ekonomi dan perpolitikan global. Mereka mempunyai kepentingan sendiri yang bereda dengan kepentingan negara. Dari segi kepemilikan MNCs mulai beragam dan tidak hanya dimiliki oleh suatu warga negara dari negara tertentu tetapi juga antar negara. Pihak ini kemudian mengilustrasikannya dengan perusahaan motor Honda dimana proses produksinya tidak lagi di Jepang tapi juga di Amerika Serikat.

Sedangkan di pihak lain, memandang bahwa MNCs tak terlepas dari peran dan kepentingan negara. Pasar utama MNCs ternyata masih dipengaruhi oleh home-country MNC tersebut. Juga, MNCs masih banyak menjalankan aktivitasnya sesuai dengan kebijakan-kebijakan pemerintah setempat. Yang lebih penting lagi, kebijakan perusahaan masih banyak bersesuaian dengan blok perdagangan seperti di Amerika dan Eropa dimana pemerintah dari masing-masing negara masih sangat berperan dan menentukan arah kebijakan blok perdagangan itu. Nilai-nilai yang diusung oleh masing-masing MNCs ternyata dapat pengaruh kuat dari nilai-nilai home-countrynya. Contohnya, Amerika Serikat yang dengan teguh memegang prinsip Adam Smith dalam ekonomi pasar, maka perusahaan AS cenderung melakukan ekspansi. Sementara itu nilai-nilai Jepang lebih banyak menekankan pada industri muda dan life-time employment.

Dari kedua pendapat tersebut, Gilphin lebih sependapat dengan pendapat kedua, dimana ia melihat realitas perusahaan Jepang yang masih membawa nilai-nilai Jepang antara lain dari segi nama perusahaan dan kepemilikan perusahaan dikuasai orang Jepang sendiri.

Dalam perkembangannya muncul kekhawatiran bahwa apakah MNCs merupakan ancaman bagi dunia global, karena mengangap mereka telah melakukan eksploitasi kepada pihak-pihak tertentu yaitu, terutama negara-negara berkembang. Selain itu, persaingan usaha yang sangat rimbawi sekali yang dapat mematikan potensi yang kurang berkometensi. Akibatnya, banyak hambatan dan batasan-batasan yang diberikan pada MNCs. Namun, bagi Gilphin sendiri, dia melihat banyak keuntungan yang akan diperoleh dari dan akan diberikan MNC ke berbagai pihak, diantaranya lapangan kerja bagi penduduk home- dan host-country dan adanya transfer atau alih teknologi yang dapat membuat kemajuan di host-country terutama.



.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.