.
.
.
.
.

"Regionalism in Historical Perspective" by Louis Fawcett

Posted by Edy Jayakarya

By : M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Review Artikel

Studi mengenai Kawasan (Region) dalam literatur Hubungan Internasional sudah sejak dulu ada, mulai dari zaman Morgenthau sampai Holsti, namun studi tersebut semakin inten ditulis dan dibicarakan sejak tahun 1960-an dan menemukan momentum kebangkitan pada akhir tahun 1980-an menjelang Perang Dingin berakhir. Pasca Perang Dingin memunculkan dinamika baru dalam perkembangan regionalisme di dunia. Hal ini nampak pada kerjasama regional yang dilakukan antarkawasan yang berdampak pada semakin kaburnya keanggotaan suatu negara dalam suatu kawasan. Terlebih muncul adanya istilah “open regionalism” seperti yang diperkenalkan oleh Presiden AS, Bill Clinton dengan melihat perkembangan regionalism di Asia Pasifik dan pernyataan Presiden Uni Soviet, Gorbachev untuk memulihkan kondisi Eropa Timur pada tatanan Eropa yang selama ini berada dalam “isolasi’ Uni Soviet ketika itu. Yang menarik dibahas di sini adalah adanya pemikiran yang berlawanan mengenai masa depan perkembangan regionalism pasca Perang Dingin, yaitu arus centripetal, dimana regionalism akan menciptakan suatu bentuk kerjasama yang pada akhirnya akan menyatukan berbagai entitas negara dalam satu kawasan menjadi satu kesatuan; di pihak lain ada arus centrifugal, dimana perkembangan regionalisme akan menciptakan politik etnis yang akan memecah keutuhan negara. Dalam bahasa Louise Fawcett menyebut pertentangan tersebut sebagai reaksi positif/optimis dan pesimis. Pertentangan pemikiran tersebut tentunya harus diverivikasi dalam sejarah dan realita regionalisme ke depan. Untuk itu dalam review ini akan dibahas mengenai pengertian region, sejarah singkat regionalism, dan perkembangan regionalisme baru, open regionalism.

Perkembangan regionalisme tak lepas dari perkembangan yang ada di Eropa dalam membentuk pasar tunggal bersama sesuai perjanjian Maastricht yang kemudian memberikan pengaruh kuat terhadap pembentukan blok-blok perdagangan maupun kerjasama regional di kawasan lain seperti NAFTA, APEC, ASEAN, ARF, Latin America, PECC, dan lain-lain. Pada akhirnya ini memunculkan regionalisme dalam skema perdagangan bebas yang kemudian diikuti dengan integrasi ekonomi terlebih politik. Regionalisme dapat dipahami melalui berbagai macam perspektif yang luas dimana kita bisa menganalisis dinamika yang ada. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, gelombang regionalisme pada 1960-an telah memunculkan jumlah, cakupan, dan keragaman skema regionalisme yang dijalankan oleh actor negara. Menurut Joseph Nye ada 2 macam skema regionalism, yaitu micro-regional, yang cenderung pada skema integrasi ekonomi dan macro-regional, yang cenderung pada pengawasan dan penyelesaian konflik dan mengarah pada level politik. Kedua, diperlukan adanya suatu perspektif global dalam menilai perkembangan regionalism di suatu kawasan tertentu karena dinamika global sangat berpengaruh terhadap fluktuasi regionalism suatu kawasan. Ketiga, pemisahan pola regionalism antara Negara industri dengan Negara berkembang kini sudah usang. Perkembangan sekarang lebih menunjukkan pada perbedaan pola antara Negara maju dengan Negara berkembang serta regionalism Utara-Selatan. Ini dibuktikan dengan Mexico masuk NAFTA, Jepang dan China di ASEAN, Eropa Timur dan Tengah di UE. Keempat, pemisahan antara regionalism ekonomi dan politik semakin sulit untuk dapat dilihat karena karakter regionalism yang baru lebih multidimensional yang berhubungan satu sama lain. Isu ekonomi tidak dapat dipisahkan dari isu politik serta keamanan. Ini sesuai dengan perkembangan di APEC, NAFTA, EC, ASEAN, misalnya. Dan terakhir adalah perkembangan kerangka regionalisme telah meningkatkan permasalahan yang kompleks dalam tata internasional. Hal ini seperti pertentangan pemikiran yang telah disebutkan diatas. Selain itu, juga mempengaruhi masalah stabilitas politik-keamanan dan politik-ekonomi dalam tata internasional. Kelima hal tersebut haruslah menjadi pertimbangan dalam memberikan penjelasan komprehensif dan kritis mengenai regionalism.

Bagi mereka yang berarus centripetal, regionalisme merupakan trend universal yang terjadi di setiap kawasan dunia, baik negara maju maupun berkembang. Namun, permasalahan yang muncul adalah bagaimana kawasan tersebut didefinisikan secara pasti dalam konteks kerjasama intra dan antar kawasan yang berimplikasi pada keanggotaan suatu negara terhadap organisasi maupun bagian dari kawasan tersebut. Pada mulanya studi kawasan didefinisikan berdasar pada basis geografi dari negara-negara yang dikaji. Sehingga, region dipahami sebagai kawasan tertentu yang terdiri dari sekumpulan negara yang jarak ibukotanya saling berdekatan dan disatukan oleh kemiripan-kemiripan seperti bahasa, agama, kebudayaan, sumber perekonomian, latar belakang sejarah, etnis, dan arah politik (Sudira dalam Pareira [ed] 1999 : 151). Menurut Joseph Nye international region merupakan sekelompok negara yang jumlahnya terbatas yang berhubungan satu sama lain dalam batasan geografi dan adanya derajat interdependensi, sehingga regionalisme didefinisikan sebagai formasi dari pengelompokan antarnegara dalam basis suatu region (Nye 1968 : vii). Namun, pendefinisian region dalam basis geografi memiliki kelemahan, yaitu tidak mencerminkan kondisi social dan politik suatu negara dalam satu kawasan. Apakah negara-negara Eropa Timur dapat dikelompokkan kedalam kelompok negara Eropa atau malah kelompok negara-negara sosialis? Lalu bagaimana dengan negara-negara Afrika Maghribi apakah dikelompokkan kedalam kawasan Timur Tengah atau Mediterania ataukah Afrika? Dan bagaimana pula dengan Turki apakah termasuk kedalam kelompok negara Asia Tengah, Eropa, atau Balkan. Couloumbis dan Wolfe (1999 : 312-313) memberikan empat criteria untuk mengelompokkan negara-negara dalam kawasan :

a. Kriteria Geografis = mengelompokkan negara berdasarkan lokasinya dalam benua, sub-benua, kepulauan, dan lain-lainnya, misal Eropa dan Asia;

b. Kriteria Politik/Militer = mengelompokkan negra berdasarkan keikutsertaannya dalam berbagai aliansi, orientasi ideologis, atau politik. Misal : blok Komunis, blok Kapitalis, NATO, Pakta Warsawa, Utara-Selatan;

c. Kriteria Ekonomi = mengelompokkan negara berdasarkan pada criteria pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, seperti GNP, Ekspor, Output Industri. Misal : negara-negara maju dengan negara-negara terbelakang;

d. Kriteria Transaksional = mengelompokkan negara berdasarkan pada kuantitas dan frekuensi transaksi/pertukaran penduduk, barang, dan jasa seperti imigran, turis, perdagangan, informasi. Misal : AS dan Mexico, AS dan Kanada, Pasar Tunggal Eropa.

Lain halnya dengan Bruce Russet (dalam Morgan 1987 : 117) yang menggabungkan perspektif teritorial dengan dinamika social untuk menunjuk sekelompok negara dalam suatu region. Kriteria tersebut, yaitu adanya kemiripan sosiokultural; sikap politik atau perilaku eksternal yang mirip, biasanya tercermin pada voting siding PBB; keanggotaan yang sama dalam organisasi supranasional atau pemerintah; interdependensi ekonomi; dan kedekatan geografik.

Dari berbagai penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa regionalisme merupakan suatu paham yang menginginkan adanya collective-action dan kesatuan kerjasama dalam berbagai bidang yang pada akhirnya akan menjadi suatu entitas yang integral (sistem) yang lebih besar. Sedangkan regionalisasi merupakan sebuah proses menuju terciptanya kerjasama regional di berbagai bidang dalam satu kawasan.

Dari perspektif sejarah, regionalism telah muncul pada masa menjelang Perang Dunia I. Ini ditandai dengan dibentuknya organisasi-organisasi internasional seperti The General Postal Union yang dibentuk oleh negara-negara pemenang PD I dan Liga Bangsa-Bangsa pada akhir PD I yang bertujuan untuk mencegah adanya perang di masa mendatang. Terbentuknya LBB merupakan perwujudan gagasan dari kaum idealis yang lebih mementingkan kerjasama dan harmoni. Regionalism pada masa ini didasarkan pada prinsip collective-security dan ide pemerintahan dunia.

Pada masa Perang Dunia II, pergolakan antar negara muncul kembali disebabkan kelemahan sistem preventif dan mengikatnya keputusan LBB terhadap anggotanya sehingga tidak dapat meredam perang antar negara tersebut. Ini memunculkan skema baru untuk mewujudkan perdamaian sehingga terbentuklah PBB sebagai organisasi global untuk menggantikan kelemahan sistem LBB. Wacana idealis dan internasionalism sekali lagi menjadi rujukan untuk mewujudkan tata internasional yang damai. Di sini regionalism kemudian mendapat perhatian dengan diprioritaskannya lembaga-lembaga regional sebagai pencegah dan penyelesai konflik jika terjadi problem dalam kawasan tersebut. Atas dasar inilah kemudian filosofi realism menggantikan posisi kaum idealis dalam hubungan internasional. Ini memberikan justifikasi bahwa hubungan antar negara tak lebih sebagai hubungan struggle for power, penuh dengan anarki, kepentingan nasional lebih utama, dan organisasi internasional hanya sekedar alat untuk mencapai semua itu.

Pada masa Perang Dingin, organisasi-organisasi regional didirikan sebagai wujud dari kepentingan dua blok yang berseteru, yaitu blok Barat dan Timur. Misalnya, NATO, Pakta Warsawa, Pakta Rio, SEATO, CENTO, ANZUS, OAS, dan lain-lain. Setiap blok memiliki kepentingan untuk menyebarkan pengaruh masing-masing dan mendapatkan negara satelit dengan memanfaatkan organisasi regional tersebut sebagai kendaraan mereka. Perkembangan yang menarik adalah integrasi yang terjadi di Eropa Barat telah memberikan pengaruh signifikan terhadap kawasan lain untuk membentuk asosiasi blok perdagangan bebas dan pasar bersama seperti di Timur Tengah, Africa, Pasifik, dan Amerika. Tak heran kemudian muncul organisasi semacam NAFTA, LAFTA, PAFTA. Apa yang terjadi di Eropa Barat telah memunculkan kaum fungsionalis dengan gagasan logika integrasi dan spill-overnya, dan pada perkembangan selanjutnya muncul kaum neofungsionalis. Hal ini menguatkan kembali gagasan kaum liberal mengenai transnasionalisme, interdependensi, dan rezim internasional, yang kemudian mengurangi pondasi realism dalam hubungan internasional. Selain itu, pada masa ini pula, tahun 1960-an–1970-an, tantangan regionalism juga muncul di Dunia Ketiga dengan membentuk organisasi regional seperti Gerakan Non Blok, G-77, OAU, OPEC, dan lain-lain. Ini diharapkan agar bisa memperbaiki kondisi Dunia Ketiga. Untuk itu, melalui UNCTAD, mereka menggagas adanya Tatanan Ekonomi Internasional Baru (NIEO) yang diharpkan akan menyatukan mereka sebagai kelompok Selatan dan memiliki tujuan bersama. Namun, harapan tersebut tidak sepenuhnya tercapai karena mereka “disibukkan” dengan bipolaritas dua adidaya. Dan pada tahun ini kaum realis bangkit kembali dengan sebutan neorealis yang memiliki sedikit perbedaan dengan realis. Masa Perang Dingin, regionalism cenderung berada pada agenda internasional karena sistem bipolaritas dan state-centric atas kedaulatannya.

Tahun 1980-an merupakan era new regionalism (Neo-Regionalisme) dimana masa ini merupakan masa menjelang akhir Perang Dingin dengan bubarnya Uni Soviet dan terjadinya transformasi Eropa Timur dalam regionalism Eropa. Ini membawa angin segar bagi perkembangan Regionalism ke depan tapi juga membawa sejumlah instabilitas bagi tata internasional dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi.

Menurut Louis Fawcett (dalam Regionalism in historical perspective : 17-30) ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap berkembangnya neo-regionalisme, yaitu berakhirnya Perang Dingin, Perubahan Ekonomi, Perspektif Dunia Ketiga, dan Demokratisasi. Dengan berakhirnya Perang Dingin maka memunculkan lahirnya perilaku baru dalam menciptakan kerjasama internasional, dimana setiap negara sekarang dapat dengan bebas melakukan dan menggalakkan kerjasama regional, dan munculnya desentralisasi sistem internasional, dimana aransemen regional akan menjadi asumsi yang sangat penting dalam tata internasional yang lebih multipolar. Perubahan ekonomi yang terjadi pada pasca Perang Dingin telah menjadi motor penggerak bagi munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru pada beberapa kawasan. Ini mengakibatkan berpikir ekonomi dalam skala regional tak kalah pentingnya dengan hitung-hitungan pada level strategis. Hal ini nampak pada perkembangan di Eropa dengan UE dan Pasar Tungalnya; AS, Kanada, dan Meksiko dengan NAFTAnya; Asia Pasifik dengan APECnya, Asia Tenggara dengan ASEANnya. Dunia Ketiga, secara umum, dengan semakin beragamnya perkembangan yang kini dicapai oleh negara Dunia Ketiga dalam bidang ekonomi, dan kecenderungannya pada era 1980-an, akan menunjukkan suatu perkembangan yang semakin jauh dari koalisi global dan menuju kepada pengelompokan regional (Sudira dalam Pareira 1999 : 168). Terakhir adalah Demokratisasi, demokrasi menjadi isu utama yang diklaim akan melahirkan dan memberikan kemudahan demi tercipta dan terjalinnya suatu kerjasama. Hal ini seperti yang ditunjukkan di Eropa Barat. Namun, kenyataan tersebut sangat berlawanan dengan fenomena yang ada di negara-negara kawasan Timur Tengah (Arab) dimana mereka sangat alergi dengan demokrasi yang ditawarkan dunia Barat (baca: AS).

0 comments:

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.