By : M. Edy Sentosa Jk.
Print this article
Landasan-landsan logika (yang) secara historis berfungsi untuk membenarkan jalan penyelesaian melalui perang sebagai cara yang lebih baik diantara beberapa cara yang buruk telah bergeser atau...nyaris lenyap. Kemenangan telah dibebaskan dari makna historisnya.
–C. Van Woodward–
...Perubahan tersebut tidak dapat mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Perubahan tersebut dapat memberi manusia tujuan untuk memantapkan pikiran-pikiran mereka.
–R. H. Tawney–
Senjata berfungsi untuk meningkatkan prestise melalui kemampuan seseorang untuk mengintimidasi orang lain.
–Couloumbis & Wolfe–
Secara tradisional persenjataan telah memenuhi tiga fungsinya, yaitu a) perlindungan terhadap serangan orang lain (kelompok, suku-suku, atau negara) termasuk binatang buas; b) untuk memperbaiki kondisi perekonomian manusia melalui berburu dan perolehan barang-barang; dan c) untuk meningkatkan prestise melalui kemampuan seseorang untuk mengintimidasi orang lain (Couloumbis & Wolfe 1999: 234). Namun, fungsi tradisional persenjataan tersebut semakin kompleks dalam menghadapi trend global kontemporer dan sebagai akibat dari revolusi industri, sehingga mengarah pada industrial-military complex yang telah memperbesar keuntungan bagi mereka yang terlibat dalam bisnis dan produksi senjata. Senjata kemudian dapat digunakan sebagai instrumen politik dan ekonomi selain militer dalam menggapai tujuan-tujuan negara.
Persiapan terhadap terjadinya peperangan telah menciptakan berbagai permintaan barang dan jasa, yang sebenarnya tidak diperlukan, bagi kebutuhan militer dan pertahanan. Hal ini kemudian yang mendorong dibangunnya program industrialisasi militer, mobilisasi kekuatan buruh nasional dan sumber daya alam, serta formasi manajerial modern bagi industri tersebut. Meningkatnya industrialisasi dan militerisme, pada akhirnya menimbulkan kekhawatiran akan terancamnya perdamaian internasional bahkan pada level individu, karena produksi senjata dengan segala jenisnya akan meningkat seiring dengan penyebaran dan pemasarannya sehingga senjata mudah didapat oleh setiap orang. Pada level individu, kasus-kasus kriminalitas-bersenjata, pembunuhan, dan kematian akibat senjata semakin meningkat. Seperti yang dilaporkan Newsweek edisi April 2007, bahwa senjata merupakan jalan tol bagi kematian manusia akibat pengawasan dan pengaturan yang longgar serta akses yang mudah untuk memiliki senjata, terutama di AS. Tak heran jika tingkat homicidal violence AS sebesar 5,9 per 100.000 penduduk daripada negara-negara lainnya, Jepang misalnya hanya 1,1 sementara Inggris 1,5 (Newsweek 2007: 28-31). Sedangkan pada level internasional, selama 1481-1941 telah terjadi 278 peperangan yang berakibat pada jatuhnya korban jiwa secara masal (Holsti 1987: 407). Terlebih dengan perkembangan senjata nuklir seperti sekarang, kemungkinan senjata tersebut jatuh ke pihak yang salah, misalnya gerakan separatis atau terorist, akan berdampak pada terancamnya human security dan stabilitas internasional atau kawasan. Oleh karena itu, muncullah dua pandangan yang berlawanan dalam menanggapi masalah tersebut, yaitu kelompok yang menghendaki penghapusan atau pengendalian persenjataan (biasanya identik dengan kaum idealis) vs kelompok yang mendukung kekuatan militer (kaum realis).
Kelompok yang menghendaki penghapusan atau pengendalian senjata ini memiliki asumsi bahwa melalui perlucutan senjata total maupun sebagian, maka manusia akan mendapatkan perlindungan yang lebih baik, standar kehidupan yang lebih tinggi, dan prestise atau keuntungan yang lebih besar. Argumentasi mereka, antara lain; pertama, persenjataan dan perlombaan senjata itu sendiri menimbulkan perang yang mengerikan dan merugikan. Pemilikan senjata pasti akan memperbesar kemungkinan untuk digunakannya senjata tersebut. Sehingga perlombaaan senjata akan meningkatkan kerawanan npsikologis negara-negara dan bukan memberi kesan aman dari suatu serangan. Kedua, pengurangan senjata suatu negara akan menghemat anggaran yang signifikan, yang bisa dialokasikan ke program-program yang didesain untuk meningkatkan kesejahteraan umum warga negaranya. Sekedar informasi bahwa program SDI (Strategic Defense Initiative) AS saja pada 1980-an telah memakan 13 miliyar dolar yang berakibat pada pembengkakan anggaran pada waktu itu. Ketiga, pertumbuhan military-industrial complex yang tak terkendali di negara-negraa besar akan mengikat para elit politik luar negeri dalam suatu keyakinan bahwa kelangsungan hidup politik dan ekonomi mereka sama dengan kepentingan nasional, dan masalahnya sistem internasional bersifat anarkis dan suka perang. Keempat, adanya sindrom Frankenstein, yaitu mesin-mesin militer dikemangakan untuk memperbesar kapabilitas manusia sampai diluar batas dan semakin merajalela sehingga bahaya kematian masih tetap eksis. Misalnya, meningkatnya kemapanan teknologi perang modern pada situasi krisis akan digunakan untuk memisahkan persenjataan yang dikontrol secara elektonik dari monitor politik. Kelima, perang secara moral memang salah demikian juga persiapan untuk perang, karena persipan perang akan diikuti dengan puncak perlombaan senjata dalam perang, misalnya perlombaan senjata di Eropa menjelang pecahnya PD I (Couloumbus & Wolfe 1999: 234-235; Miller 2006: 227-233; dan Holsti 1987: 416-419).
Sementara, kelompok penentang gerakan perlucutan atau pengendalian senjata memiliki asumsi bahwa senjata bukanlah penyebab tetapi merupakan konsekuensi dari hubungan yang bersifat konfliktif. Secara historis, pada abad 19 dan 20, perlombaan senjata mengindikasikan bahwa bentuk kompetisi internasional seringkali berakhir secara damai dengan mengakui keunggulan militer salah satu pihak. Jadi, yang patut dinilai adalah tujuan penggunaan senjata tersebut bukan persenjataan itu sendiri. Mereka kemudian berargumen bahwa, pertama, perang yang berulang adalah bagian dari hubungan internasional, dan negara-negara yang tidak mampu mempertahankan dirinya secara efektif merupakan rangsangan bagi para agresor yang memiliki persenjataan kuat. Sehingga, metode yang paling efektif untuk menghindari perang adalah bersiap-siap untuk perang. Kedua, perang untuk memperthankan diri bukan saja secara moral adil, tetapi merupakan tanggung jawab menurut hukum alam. Ini didasarkan pada pertanyaan mendasar bahwa untuk apa keuntungan yang dihasilkan dari kekayaan dalam negeri jika hanya untuk menyerah pada agresi eksternal? Dan argumentasi terakhir bahwa pengurangan dan perlucutan senjata suatu negara secara unilateral akan menciptakan vacum of power (kekosongan kekuatan) yang akibatnya akan mengundang agresi dari pihak lain. Untuk itu, mereka menganggap bahwa anggran belanja militer dan pertahanan adalah sebagai alat untuk melindungi perdamaian, dan persenjataan sangat penting untuk menjaga balance of power (Couloumbus & Wolfe 1999: 235-236; dan Holsti 1987: 410-416).
Terlepas dari kelebihan dan kelemahan argumen-argumen kedua kelompok diatas, umumnya setiap negara selalu membangun kekuatan dan kesiapan militernya. Banyak negara yang mengalokasikan 5 sampai 20 persen dari GNP-nya untuk program-program militer dan pertahanan baik di dalam maupun luar negeri. Tentunya, kemajuan kualitatif dalam teknologi militer diimbangi dengan peningkatan secara kuantitas persenjataan yang dimiliki oleh negara. Hal ini berdampak pada semakin meningkatnya kapasitas kekuatan militer dunia yang didukung dengan jumlah pasukan, tingkat pelatihan untuk meningkatkan kualitas pasukan, dan perlengkapan militer akibat kemajuan teknologi (Coplin 1992: 124-125). Menurut Clausewitz (dalam Holsti 1987: 410), pembangunan teknologi militer telah mentransformasikan peperangan dari penyebaran pengaruh monarki pada masalah-masalah yang berhubungan dengan keberlangsungan hidup manusia di bumi ini. Kekuatan militer tak hanya digunakan untuk menghancurkan musuh secara langsung tetapi juga dipakai sebagai ancaman yang mendukung upaya tawar-menawar dalam diplomasi. Oleh karena itu, tak heran jika pembangunan militer masih dianggap penting dan ini berpengaruh terhadap berkembangnya isu pengendalian atau perlucutan senjata (disarmament / arms control) sebagai mekanisme untuk mengurangi skala konflik yang lebih besar.
Istilah disarmament (perlucutan senjata) merupakan istilah yang cukup inklusif yang diartikan sebagai sesuatu yang terkait erat dengan pernyataan tidak sah untuk semua arsenal dan pembangunan-pembangunan militer, larangan terhadap senjata-senjata tersebut demi kepentingan kemanusiaan (human security) dan perang, serta pengimplementasian perjanjian-perjanjian tertentu yang dirancang untuk mencegah kecelakaan yang bisa menimbulkan pecahnya peperangan (Couloumbus & Wolfe 1999: 236). Disarmament secara absolut menghendaki adanya pemusnahan persenjataan secara global dan pembubaran seluruh angkatan bersenjata serta menghancurkan arsenal strategis yang dimiliki negara (Miller 2006: 256-267). Untuk mewujudkan hal tersebut sepertinya kurang efektif dan banyak pertentangan dari berbagai negara, terutama negara adidaya dan maju yang diuntungkan akibat kemajuan militer dan pertahanan mereka. Militer dan angkatan bersenjata masih dipandang memiliki peran penting dalam kapasitasnya untuk mencegah terjadinya serangan dari negara lain, kerusuhan sosial dan politik di dalam negeri yang akan meruntuhkan rezim pemerintah yang ada, pemanfaatan pasukan pada saat terjadi bencana alam, maupun menekan kekerasan yang terjadi di dalam negeri (Coplin 1992: 128-129).
Di era nuklir yang kian canggih ini, para penggagas disarmament memiliki pondasi sebagai landasan gagasan mereka, yaitu 1) keputusan untuk melakukan perlucutan senjata didasarkan atas perhitungan untung-rugi, evaluasi yang cermat terhadap situasi yang ada di sekitarnya, dan penilaian secara hati-hati terhadap kemampuan masing-masing pihak secara relatif; 2) ancaman tingkat tinggi, terutama penggunaan senjata nuklir, harus dibatasi; 3) nilai-nilai hirarkis dari usaha perlucutan senjata adalah untuk mencegah tindak kekerasan secara luas; dan 4) mengadakan pemeliharaan dan pengawasan yang terpusat pada penggunaan senjata yang dianggap strategis. Dari landasan-landasan tersebut, disarmament ditujukan untuk mencegah timbulnya kekerasan dan perang dari tingkat yang paling sederhana seperti perang konvensional dan gerilya, sampai pada perang nuklir secara luas dan terbuka (Holsti 1987: 417).
Sedangkan, arms control berbeda dengan disarmament. Arms control merupakan konsep yang relatif, yang menghendaki pembatasan terhadap jenis-jenis senjata tertentu atau pengurangan tingkat persenjataan. Jika disarmament kurang efektif bahkan utopis untuk diwujudkan, maka arms control sering menjadi tujuan politik suatu negara dan merupakan suatu hal yang harus dipertimbangkan secara serius sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan, serta dipenuhi dengan fluktuasi-dinamik untuk mewujudkannya. Menurut Couloumbus dan Wolfe (1999: 236-237) arms control bisa dibagi menjadi dua macam, yaitu arms reduction (pengurangan senjata) dan arms limitation (pembatasan senjata). Arms reduction, atau sering disebut sebagai partially disarmament, mengimplikasikan suatu kesepakatan bersama mengenai tingkat persenjataan bagi negara-negara yang terlibat, baik dalam skala regional maupun global. Prototipe arms reduction yang bersifat regional seperti yang dicontohkan dalam perjanjian Rush-Bagot 1917 antara AS dan Inggris mengenai demiliterisasi di Great Island. Contoh lainnya, perjanjian larangan senjata nuklir di Amerika Latin 1967, dimana 22 negara di Amerika Tengah dan Selatan berusaha melarang senjata nuklir masuk ke negara mereka.
Arms limitation mencakup berbagai jenis persetujuan internasional yang didesain untuk membatasi peperangan dan untuk mencegah pecahnya perang yang disebabkan oleh kecelakaan atau kelalaian. Yang termasuk ke dalam arms limitation ini seperti, instalasi peralatan yang fail-safe yang didesain untuk meledakkan rudal-rudal nuklir di udara yang bisa ditembakkan dengan tidak sengaja, saluran telepon langsung (hot line) agar para decision-maker kunci senantiasa bisa mengadakan kontak langsung pada masa-masa kritis, penundaan percobaan jenis senjata nuklir tertentu, dan perjanjian-perjanjian antara dua atau lebih negara yang melarang penjualan senjata serta pengalihan teknologi militer ke negara-negara Dunia Ketiga (Couloumbus & Wolfe 1999: 237; dan Miller 2006: 224-225, 253-263). Arms limitation juga mencakup peraturan-peraturan hukum internasional konvensional, yang bertujuan membatasi ruang lingkup dan daya hancur peperangan dalam batas-batas yang telah ditentukan doktrin kebutuhan milliter. Contoh, Konferensi Den Haag 1907 yang melarang penembakan proyektil dari balon-balon dan Konvensi Jenewa 1949 mengenai jaminan perlindungan bagi tawanan perang dan prajurit yang terluka (Wagiman 2005: 15-16). Analogi untuk arms limitation ini ibarat petinju yang memakai sarung tinju untuk mengurangi luka yang mungkin timbul dari hantaman lawan.
Arms Control dalam Tinjauan Historis
Pada umumnya, negara-negara adidaya/maju kurang memiliki komitmen tinggi untuk mengurangi kepemilikan senjata dan selalu mengedepankan kepentingan nasionalnya sendiri. Mereka terus mengembangkan teknologi militer dan pertahanan terbaru sebagai wujud untuk mempertahankan prestise mereka sebagai negara yang besar. Hal ini berdampak pada dunia secara global antara lain: semakin meningkatnya kesalingcurigaan dalam hubungan internasional antarnegara, terlebih terhadap mereka; setiap negara berlomba-lomba meninggkatkan kapabilitas defensif dan meningkatkan anggaran untuk membeli senjata sebagai pilihan dari pencegahan kemungkinan munculnya ancaman; meningkatnya tekanan melalui instrumen senjata; bisnis military-industrial complex semakin meningkat yang berakibat pada meningkatnya proliferasi senjata dan anggran militer; dan meningkatnya produksi senjata telah memicu perlombaan senjata yang berakibat pada ganguan keamanan internasional (Shah 2006).
Sebagian besar negara-negara di dunia telah memiliki atau memperoleh akses terhadap senjata-senjata mematikan seperti nuklir, kimia, biologi, atau senjata konvensional lainnya. Dan itu tak hanya monopoli negara-negara adidaya/maju saja tapi negara-negara kurang maju pun kini memperoleh akses untuk mendapatkan senjata-senjata tersebut. Kehancuran kehidupan semakin dekat apabila kapasitas militer dan senjata telah menggantikan dan menggeser nilai penting hidup manusia di bumi. Kepedulian untuk mengurangi atau mengendalikan kualitas dan kuantitas senjata dan militer telah menjadi gerakan utama untuk menyelamatkan perdamaian dan keamanan internasional secara kooperatif. Pemikiran dan langkah mengenai arms control telah ada sepanjang sejarah manusia mengenal senjata dan dampaknya terhadap kehidupan.
Ada suatu tendensi dalam setiap perundingan arms control bagi masing-masing pihak yang terlibat, yaitu membandingkan kualitas dan kuantitas senjata yang dimiliki oleh pihaknya dengan perkiraan persenjataan potensial yang dimiliki pihak lawan. Sehingga menimbulkan justifikasi bahwa tambahan senjata-senjata baru sebagai bentuk keseimbangan kekuatan militer, dan menuduh bahwa pemerintah lawan sedang berusaha mengejar politik destabilisasi, sehingga mereka tidak mungkin menyebarkan jenis senjata yang sama. Hal ini tercermin dalam sejarah Athena memperluas tembok pertahanan yang dianggap sebagai retaliasi oleh Sparta, padahal tujuan Athena adalah untuk politik defensif, sehingga Sparta melakukan pre-emptive strike yang memicu Perang Peloponnesia 431 SM. Perasaan tidak aman karena tidak memiliki sistem tembok pertahanan yang besar, sangat fundamental bagi eksistensi sistem negara-kota Helenik kala itu (Thucydides 1951: 47-53).
Sehingga, kendala utama bagi institusionalisasi rasio pengendalian senjata yang masih belum terselesaikan adalah masalah pembedaan antara kuantitas dengan kualitas pada saat membandingkan inventaris perlengkapan militer lawan. Konferensi Kelautan Washington 1922 merupakan contoh lemahnya usaha untuk membekukan perlombaan senjata melalui pembentukan rasio kekuatan yang pasti. Pertemuan di Washington itu mengusahakan pembatasan perlombaan persenjataan dari kapal-kapal perang Inggris, Perancis, Jepang, Italia, dan AS dengan rasio 5:5:3:1,75:1,75 yang menyangkut tonase armada masing-masing. Namun, dalam pelaksanaannya tetap tidak berhasil menekan perlombaan persenjataan diantara lima negara tersebut, terutama yang menyangkut pesawat pengangkut dan kapal-kapal selam (Holsti 1987: 446).
Walaupun begitu, sejak Perang Dunia II, usaha pengendalian senjata tetap aktif dilakukan melalui perundingan-perundingan atau persetujuan-persetujuan yang resmi. Pada 1925, tercipta protokol larangan penggunaan gas-gas beracun dan alat-alat bakteriologis dalam peperangan. Namun, usaha untuk mengendalikan proliferasi nuklir belum berhasil, karena ada boikot dari RRC dan Perancis kala itu dengan alasan sebagai penyeimbang kekuatan regional dari India, jepang dan Israel. Pada 1946, AS mengusulkan Baruch Plan untuk menciptakan suatu otoritas pengembangan tenaga atom di bawah naungan PBB, yang berfungsi sebagai pengontrol energi nuklir internasinal. Tetapi usul tersebut ditolak oleh Soviet yang lebih memilih perlucutan senjata (disarmament). Tahun 1955 saat KTT Empat Negara di Jenewa, Swiss, Presiden AS Eisenhower mengusulkan adanya “udara bebas” yang dapat memberikan kesempatan untuk inspeksi timbal balik dan verifikasi bagi inspeksi di tempat, sekali lagi Soviet menolak usul tersebut dengan mengajukan rencana pembangunan stasiun-stasiun kontrol darat. Tahun 1959, AS beserta 16 negara lain yang terlibat, terikat pada Perjanjian Antartika diamana dalam perjanjian ini disepakati inspeksi di tempat, dan pada 1967 melalui kerangka perjanjian tersebut telah disepakati larangan penempatan senjata nuklir di angkasa luar dan di Amerika Latin serta pada 1971 di dasar laut.
Pada 1963 terbentuk The Limited Test Ban Treaty, yaitu perjanjian larangan percobaan nuklir di atmosfer, ruang angkasa, atau bawah laut. Dan pada 1968, tercipta Non-Proliferation Treaty yang ditandatangani 98 negara yang sepakat untuk tidak mengirim, menjual, mengalihkan, dan memberikan informasi nuklir kepada negara-negara non-nuklir. Sayangnya, Perancis, RRC, India, dan Israel tidak menandatangani perjanjian tersebut. Secara khusus, perundingan pengendalian senjata antara AS dengan Soviet dibicarakan dalam Strategic Arms Limitation Talks (SALT). Tahun 1972, dihasilkan SALT I, yang berisi kesepakatan untuk membatasi pembangunan dan pembekuan sistem ABM dan menetapkan berbagai peringkat kekuatan senjata nuklir yang dimiliki oleh negara-negara adidaya. Pada 1979, pertemuan puncak di Wina antara Carter dengan Breznev menghasilkan kesepakatan yang disebut SALT II, tetapi intervensi Soviet di Afganistan telah menyebabkan proses ratifikasi tertunda (Badrika 2000: 105-107). Perjanjian SALT II menuai kecaman karena tiga alasan, yaitu perjanjian tersebut tidak mengikutsertakan kapabilitas nuklir negara-negara ketiga lainnya, seperti RRC; kurang memperhatikan persoalan hulu ledak nuklir yang merupakan masalah inti dari pengendalian senjata; dan terakhir adalah perjanjian tersebut gagal memisahkan kuantitas IRBM (rudal balistik jarak menengah) di Eropa Tengah yang makin meningkat (Couloumbus & Wolfe 1999: 240). Kemudian pada 1982, terbentuk Strategic Arms Reduction Treaty (START), yang merupakan hasil dari politik dua jalur Reagan, dimana perjanjian ini berisi mengenai kesepakatan untuk memusnahkan senjata nuklir berdaya jarak menengah. Menjelang musim semi 1988, Intermediate-Range Nuclear Force Treaty (INF) disepakati antara AS dengan Soviet yang berisi mengenai pembersihan 1286 rudal serangan di Eropa dan Soviet yang mampu membawa sejumlah 2096 hulu ledak nuklir serta pemusnahan 1417 rudal non-operasional.
Pada masa Perang Dunia dan Perang Dingin, bentuk pengawasan senjata yang dilakukan AS dan Soviet kala itu antara lain berupa: *) usaha pencegahan penyebaran senjata nuklir berdasarkan kesepakatan yang dibuat pada 1968, meskipun ditentang oleh Perancis dan RRC; **) penangguhan uji coba persenjataan nuklir untuk waktu yang terbatas; ***) pengurangan anggaran militer; dan ****) pencegahan penempatan senjata nuklir dalam berbagai tipe di kawasan damai dan bebas (Holsti 1987: 447). Bentuk pengawasan tersebut tak lepas dari posisi mereka sebagai negara superpower yang memiliki kekuatan nuklir hegemonik baik pada negara-negara sekutu mereka maupun negara lainnya. Sifat dalam pengawasan tersebut memunculkan stabilitas hegemonik dalam mengendalikan senjata nuklir.
Tabel I: Perjanjian Pengendalian dan Perlucutan Senjata
| |
SENJATA NUKLIR | |
Untuk Mencegah Penyebaran Senjata Nuklir | Negara Peserta |
Perjanjian Antartika (Antarctic Treaty), 1959 à Larangan penggunaan militer di Antartika dan secara khusus melarang percobaan dan pembuangan nuklir. | 26 Negara |
Perjanjian Ruang Angkasa (Outer Space Treaty), 1967 à Larangan senjata nuklir di orbit bumi dan penempatannya di ruang angkasa. | 83 Negara |
Perjanjian Zona Bebas Nuklir Amerika Latin (Latin America Nuclear-Free Zone Treaty), 1967 à Percobaan, pemilikikan, penyebaran senajat nuklir memerlukan fasilitas pengaman. Semua negara-negara Amerika kecuali Argentina, Brasil, Chili, Kuba, adalah pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. | 22 Negara |
Perjanjian Non-Proliferasi (Non-Proliferation Treaty), 1968 à Larangan pengiriman senjata atau teknologi persenjataan ke negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir. Membutuhkan fasilitas pengawasan. Melibatkan negara-negara nuklir dalam perundingan-perundingan untuk menghentikan perlombaaan senjata. | 119 Negara |
Perjanjian Dasar Laut (Seabed Treaty), 1971 à Larangan senjata nuklir didasar laut yang melewati 12 mil batas pantai. | 71 Negara |
| |
Untuk Mengurangi Resiko Perang Nuklir | Negara Peserta |
Perjanjian Hot-Line dan Modernisasi (Hotline and Modernization Agreement), 1963 àMembangun jalur radio langsung antara dan kabel telegraph langsung antara Moskow dan Washington untuk menjamin komunikasi antarkepala negara pada situasi krisis. Perjanjian kedua pada 1971 membuka jalur satelit komunikasi. | AS-Soviet |
Perjanjian Pengukuran Kecelakaan (Accident Measures Agreement), 1971 àAS dan Soviet berjanji untuk memperbaiki pengawasan terhadap kecelakaan atau penggunaan senjata nuklir secara tidak sah. | AS-Soviet |
Perjanjian Untuk Mencegah Perang Nuklir (Prevention of Nuclear War Agreement), 1973 àMembutuhkan konsultasi jika ada bahaya perang nuklir. | AS-Soviet |
| |
Untuk Membatasi Percobaan Nuklir | Negara Peserta |
Perjanjian Larangan Percobaan Terbatas (Limited Test Ban Treaty), 1963 à Larangan percobaan senjata nuklir di atmosfer, ruang angkasa, atau di bawah laut. Larangan peledakan dibawah tanah yang menyebabkan lepasnya unsur radio aktif yang melewati batas-batas negara. | 111 Negara |
Perjanjian Larangan Ambang Percobaan (Threshold Test Ban Treaty), 1974 à Larangan percobaan bawah tanah yang melebihi 150 kiloton (150.000 ton TNT). | AS-Soviet |
Perjanjian Ledakan Nuklir Secara Damai (Peacefull Nuclear Explosion Treaty), 1974 à Larangan “peledakan secara kolektif” yang jumlah melebihi 1500 kiloton dan memerlukan pengamat di tempat terhadap peledakan di atas 1500 kiloton. | AS-Soviet |
| |
Untuk Membatasi Senjata Nuklir | Negara Peserta |
Perjanjian Rudal Anti-Balistik (ABM Treaty = SALT I) dan Protokol, 1972à Membatasi sistem-sistem rudal balistik dalam dua daerah penyebaran untuk masing-masing pihak. Berikutnya dalam Protokol 1974, masing-masing pihak dilarang menjadi satu daerah penyebaran. | AS-Soviet |
Perjanjian Interim SALT I, 1972 à Membekukan sejumlah peluncur rudal strategis, dan izin untuk memperbanyak peluncur SLBM sampai jumlah yang disepakati, yaitu sama dengan dikuranginya peluncur ICBM atau SLBM. | AS-Soviet |
Perjanjian SALT II, 1979 à Membatasi sejumlah peluncur nuklir strategis, peluncur rudal-rudal MIPV, pesawat-pesawat pembom pengangkut rudal penjelajah jarak menengah, hulu ledak pada ICBM, dan lain-lain. Larangan percobaan ICBM baru. | AS-Soviet |
| |
SENJATA-SENJATA LAINNYA | |
Untuk Melarang Penggunaan Gas | Negara Peserta |
Protokol Genewa (Geneva Protocol), 1925à Larangan penggunaan gas-gas beracun dan yang menyesakkan dada dalam perang, serta metode-metode bakteriologi dalam peperangan. | 118 Negara |
Perjanjian Interim SALT I, 1972 à Membekukan sejumlah peluncur rudal strategis, dan izin untuk memperbanyak peluncur SLBM sampai jumlah yang disepakati, yaitu sama dengan dikuranginya peluncur ICBM atau SLBM. | AS-Soviet |
Perjanjian SALT II, 1979 à Membatasi sejumlah peluncur nuklir strategis, peluncur rudal-rudal MIPV, pesawat-pesawat pembom pengangkut rudal penjelajah jarak menengah, hulu ledak pada ICBM, dan lain-lain. Larangan percobaan ICBM baru. | AS-Soviet |
| |
Untuk Melarang Senjata-senjata Biologis | Negara Peserta |
Konvensi Senjata Biologis (Biological Weapons Convention), 1972à Melarang pengembangan, produksi, dan penimbunan senjata-senjata biologis dan toksin; stock harus dimusnahkan. | 92 Negara |
| |
Untuk Melarang Teknik-teknik Pengubahan Lingkungan | Negara Peserta |
Konvensi Modifikasi Lingkungan (Environmental Modification Convention), 1977à Larangan penggunaan teknik militer atau teknik-teknik permusuhan lainnya untuk mengubah pola-pola cuaca atau iklim, ombak lautan, lapisan ozon, atau keseimbangan ekologik. | 36 Negara |
| |
Untuk Mengendalikan Penggunaan Senjata-senjata yang Tidak Manusiawi | Negara Peserta |
Konvensi Senjata yang Tidak Manusiawi (Inhumane Weapons Convention), 1981à Larangan penggunaan pecahan-pecahan bom terhadap orang yang kurang hati-hati atau kurang berpikir, dan senjata pembakar terhadap tempat-tempat tinggal penduduk sipil; harus diadakan pencatatan penggunaan ranjau. | 22 Negara |
Perkembangan akhir-akhir ini, pada 1990 mucul kesepakatan antara anggota Warsawa dan NATO yang bertujuan untuk mengendalikan senjata konvensional dan menjaga keseimbangan kekuatan di wilayah Eropa. Akan tetapi, Rusia keluar dari kesepakatan tersebut sebagai protes kepada para anggota NATO yang tidak bersedia meratifikasi perjanjian pengurangan senjata konvensional, juga untuk memprotes penguatan pangkalan militer dan rudal NATO dan AS di Eropa. Di sisi lain, AS dalam usahanya melemahkan pertahanan Rusia, pada tahun 2001 dengan sepihak telah keluar dari perjanjian pelarangan pengembangan Rudal Anti-Balistik (SALT I) yang disepakati pada 1972, dan melaksanakan draf sistem anti rudal di Eropa Timur (Perspektif, Agustus 2007). Adapun perjanjian START I masa berlakunya tinggal setahun lagi yang akan berakhir pada 2009. Sedangkan, START II tidak begitu terlaksana karena politik-militer AS.
Di lain pihak, masa berlaku Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis (START) yang ditandatangani Presiden AS, George W. Bush dan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2002 lalu, yang membatasi penggunaan senjata nuklir dari 2.200 menjadi 1.700, tinggal 6 tahun lagi (Sinar Harapan, 04 Juli 2007). Dengan demikian, kondisi yang ada saat ini tengah mengarah kepada tidak adanya pembatasan pembuatan senjata strategis dan pertahanan antara AS dan Rusia. Hal ini berakibat pada AS dan Rusia memasuki babak baru yang disebut perdamaian bersenjata dimana masing-masing pihak tengah melaksanakan program-program militer yang akan meningkatkan kekuatan mereka untuk menghadapi potensi ancaman yang muncul.
Betapa usaha untuk mengendalikan dan melucuti persenjataan telah dilakukan sejak dulu sampai sekarang tak pernah mengalami perubahan, yaitu menemukan titik ketidakefektifan yang berujung pada ketegangan antarnegara superpower. Pada akhirnya, ketegangan tersebut berdampak pada insecurity-nya perdamaian internasional yang malah akan memicu konflik-konflik di berbagai kawasan lain di dunia.
Verifikasi dalam lingkup arms control merupakan perhitungan mengenai ketaatan kepada ketentuan dalam perjanjian atau persetujuan pengendalian persenjataan. Tujuan utamanya adalah untuk mendeteksi berbagai pelanggaran terhadap persetujuan dan perjanjian tersebut, untuk menentang pelanggaran-pelanggaran potensial, dan untuk meningkatkan keyakinan diantara negara-negara penanda tangan perjanjian pengendalian senjata tersebut yang akan membuka jalan menuju kemajuan lebih lanjut dalam bidang pengendalian senjata. Namun, ada problem penting dalam melakukan verifikasi, yaitu negara-negara sering merahasiakan jumlah, kualitas, dan jenis kapabilitas militer mereka dengan maksud memperbesar keamanan dan pertahanan nasionalnya. Padahal, verifikasi yang efektif didasarkan pada tersedianya informasi secara akuntabel. Ada dua teknik verifikasi, yaitu instrumen teknik nasional, seperti radar, fotografi, dan pengawasan-pengawasan secara elektronik, sistem pemrosesan dan analisis data komputer; dan tenik kedua dengan fasilitas-fasilitas inspeksi khusus, pos-pos pengamat tetap, tim inspeksi aktif, dan alat-alat monitor tanpa staf (Couloumbus & Wolfe 1999: 244-246).
Dalam sejarahnya, terdapat pertentangan sistem verifikasi yang diajukan oleh AS dengan Soviet. AS menghendaki sistem verifikasi dengan mengadakan inspeksi di tempat (on-site inspection) terhadap instalasi-instalasi militer penting. Sebaliknya, Soviet menetang sistem verifikasi di tempat tersebut, karena bertentangan dengan kedaulatan dan keamanan negara, dengan mengajukan proposal yang menghendaki perlucutan senjata secara total dan komplit serta menghendaki diciptakannya daerah penyangga yang bebas senjata nuklir, khususnya di Eropa Tengah dan Jerman (Miller 2006: 260-261). Akhirnya setelah ditandatanganinya Perjanjian Antartika 1959, Soviet menyetujui adanya verifikasi di tempat terhadap instalasi-instalasi ilmiahnya di Kutub Utara, tetapi tidak di wilayah negaranya sendiri. Dan AS pun kian melunak mengenai verifikasi di tempat setelah menyetujui Limitation Test Ban Treaty 1963. Nampaknya kemajuan teknologi telah menyulitkan untuk diadakannya verifikasi bagi pengendalian persenjataan negara di dunia terutama negara maju.
Dari tinjauan historis, telah banyak dilakukan perjanjian dan perundingan mengenai pengendalian dan pengawasan persenjataan, tetapi tidak memberikan efek yang signifikan bagi tercapainya tujuan mendasar dari arms control tersebut. Menurut Holsti, pemasalahannya bukan terletak pada kurangnya persetujuan terhadap masalah tersebut, tetapi ada berbagai faktor yang yang berpengaruh terhadap ketidakefektifan yang menghambat usaha-usaha untuk melakukan arms control. Faktor-faktor tersebut antara lain (Holsti 1987: 447-455):
1) Senjata dapat digunakan untuk menciptakan bargaining-power tetapi juga turut menyebabkan ketegangan internasional, sehingga ia dapat mengurangi kemungkinan bagi penyelesaian isu-isu politik yang belum terselesaikan. Karena tidak adanya suatu kekuasaan pusat yang berwenang mengatur perubahan, tiap negara harus memikirkan sendiri jika ia dikenakan tuntutan atau aksi yang amat berat, dimana ancaman untuk melakukan retaliasi merupakan satu-satunya alat yang bisa mencegah tuntutan atau aksi tersebut.
2) Adanya overestimated terhadap kapasitas dan kapabilitas militer negara lain. Para pembuat kebijakan cenderung merasa bahwa program persenjataan mereka kembangkan dengan maksud defensif, tapi menganggap bahwa persenjataan lawan dimaksudkan untuk tujuan agresif. Jadi, dalam situasi ketegangan yang memuncak, para pembuat kebijakan mungkin tidak hanya akan berusaha mengimbangi persenjataan lawan.
3) Adanya dorongan dan akses yang mudah untuk memperoleh persenjataan serta kemajuan teknologi telah membuat senjata semakin up-date dengan aplikasi baru. Orang akan selalu mengatakan “jika kita tidak melakukannya, mereka akan melakukannya.” Pada akhirnya, bisnis military-industrial complex semakin menguntungkan negara-negara maju.
4) Kekhawatiran adanya serangan secara tiba-tiba dan penyebaran senjata nuklir sebagai tujuan utama untuk mempertahankan stabilitas wilayah. Khususnya dalam situasi Perang Dingin, latar belakang sejarah terhadap ketidakpercayaan dan ketegangan serta saling mencurigai, merupakan pedoman dalam bertindak maupun berpikir para pembuat keputusan. Suatu sikap yang pada dasarnya dapat dianggap sebagai tindakan perdamaian , cenderung dicurigai dan dianggap sebagai suatu tindakan penipuan.
5) Kekhawatiran akan perkembangan teknologi yang dilakukan oleh pihak lawan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas militer yang semakin kuat, terlebih dengan meningkatnya penyebaran nuklir, maka negosiasi dan perundingan arms control akan semakin sulit pula. Selain itu, semakin bertambahnya jumlah negara yang langsung terlibat dan menurunnya kemampuan para pemimpin aliansi untuk memaksakan kehendak terhadap anggota aliansi, turut juga mempersulit negosiasi tersebut.
6) Adanya pertentangan mengenai masalah verifikasi. Karena perkembangan senjata yang semakin canggih dan semakin bertambahnya kemampuan pihak lain untuk mengubah keseimbangan militer yang ada dalam waktu singkat, maka kebutuhan untuk diadakan verifikasi seharusnya semakin meningkat pula, namun hal ini agaknya sulit untuk dilakukan. Misalnya, pelanggaran terhadap Washington Naval Convention 1992 sangatlah sukar diketahui ataupun juga tidak dapat dengan segera bisa mengubah keseimbangan militer seperti yang diinginkan oleh negara yang melanggar.
7) Masalah pencarian formula-rasio yang mengungtungkan masing-masing pihak. Suatu formula pengurangan satu jenis senjata yang benar-benar bersifat kuantitatif bahkan mathematical-equity sekalipun mungkin akan menciptakan kontroversi. Misalnya, dalam kasus negara A dan B, yang mempunyai 10.000 dan 5000 senjata nuklir. Pengurangan 50 persen terhadap persenjataan yang diajukan oleh negara A yang akan menyebabkan negara A membongkar persenjataannya dua kali lebih banyak dari B, mungkin oleh para pemimpin B akan dianggap sebagai metode untuk mempertahankan keunggulan A. Hal ini seperti tercermin dalam penolakan Soviet terhadap Baruch Plan.
8) Dan terakhir adalah perlombaan senjata dan adanya berbagai resiko yang ditimbulkan oleh arms control. Setiap orang pasti sadar akan dampak perlombaan senjata, yaitu perang baik secara aksidental, kecelakaan, kelalaian, atau sengaja. Di sisi lain orang kurang menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh arms control yaitu terancamnya daya tangkal dan stabilitas yang akan menurun. Jika ternyata jumlah senjata yang ada tidak mencukupi untuk keamanan nasional maka diperlukan adanya kekuatan penangkal yang stabil. Jika ternyata kekuatan penangkal dianggap mampu menjamin keamanan, dan jika perlombaan senjata nuklir dianggap semakin mengancam keamanan, maka negara baru akan melakukan langkah perlucutan dan pengendalian senjata. Jadi ada semacam paradoks.
Hal ini berdampak pada semakin rancunya bila kita melakukan pengendalian senjata sementara anggran untuk militer dan pertahanan semakin meningkat. Anggaran militer AS, misalnya, mencapai hampir 48% dari total anggaran militer dunia, tujuh kali lebih besar daripada China sebagai negara yang memiliki anggaran militer terbesar kedua. Artinya, anggaran militer AS juga mencapai 29 kali lebih besar daripada total jumlah anggaran militer negara-negara seperti Kuba, Iran, Libia, Korea Utara, Sudan, dan Suriah. AS juga memiliki anggaran militer mencapai 2/3 dari total jumlah anggaran dengan sekutunya, seperti negara-negara yang tergabung dalam NATO, Australia, Kanada, Israel, Jepang, dan Korea Selatan. Musuh-musuh potensial AS, termasuk di dalamnya China dan Rusia, hanya memiliki anggaran pertahanan 30% dari total anggaran AS. Menariknya, berdasarkan data yang dikeluarkan SIPRI (2006), anggaran pertahanan negara-negara di dunia juga meningkat signifikan sejak 1998, seperti AS yang memiliki peningkatan sebesar 50%, Rusia 48%, Inggris 54%, dan bahkan anggaran pertahanan China meningkat sebesar 165%. Lebih ironis lagi, data yang diungkapkan Center for Asrms Control dan Non-Proliferation (2007) menunjukkan pengeluaran dunia untuk militer (US$780 miliar) sangat jauh lebih besar daripada biaya yang diinvestasikan pada bidang kesehatan dan pendidikan. Oleh karena itu, pengendalian senjata akan menemukan titik yang berlawanan bila dihadapkan dengan seberapa besar anggran negara untuk keamanan, militer dan pertahanannya?
0 comments:
Post a Comment