.
.
.
.
.

Indonesia Foreign Policy Under Soekarno

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Politik atau kebijakan luar negeri pada hakikatnya merupakan ”kepanjangan tangan” dari politik dalam negeri sebuah negara. Politik luar negeri suatu negara sedikitnya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kondisi politik dalam negeri, pengambil keputusan, kemampuan ekonomi dan militer, dan lingkungan internasionalnya (Coplin 1992, 165-175; dan Sihbudi 2002). Sejak Bung Hatta menyampaikan pidatonya berjudul ”Mendajung Antara Dua Karang” (1948), Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu blok negara-negara superpowers, menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di dunia internasional (Pembukaan UUD 1945).

Seperti diamanatkan konstitusi, Indonesia juga menentang segala bentuk penjajahan di atas muka bumi ini, dan menegaskan bahwa politik luar negeri harus diabdikan untuk kepentingan nasional. Oleh sebab itu, pendulum pelaksanaan politik bebas-aktif dapat bergerak ke kiri dan ke kanan, sesuai dengan kepentingan nasional pada masa-masa tertentu. Dengan kata lain, kebijakan luar negeri merupakan refleksi dari politik dalam negeri dan dipengaruhi perubahan dalam tata hubungan internasional baik dalam bentuk regional maupun global. Karena itu, setiap dinamika yang terjadi dalam perpolitikan dalam negeri akan mempengaruhi diplomasi sebagai manifestasi kebijakan luar negeri. Secara umum visi dan orientasi politik luar negeri Indonesia seharusnya tidak berubah. Namun, perubahan dimungkinkan jika berkaitan dengan usaha perbaikan ekonomi dan citra Indonesia di mata internasional. Dasarnya tetap bertitik tolak pada konstitusi, tetap ikut membantu menciptakan perdamaian dan keadilan sosial serta politik bebas-aktif yang diabdikan pada kepentingan nasional. Dan bagaimana dengan politik luar negeri Indonesia masa Soekarno?

Pada masa Soekarno (1945-1965), politik luar negeri Indonesia bersifat high profile, flomboyan dan heroik, yang diwarnai sikap anti-imperialisme dan kolonialisme serta konfrontasi. Pendulum politik bebas-aktif lebih condong bergerak ke kiri, di mana Jakarta tampak lebih akrab dengan Moskow, Beijing maupun Hanoi, dan tampak gerang terhadap AS dan sekutu Baratnya (Hartadi 2008). Bangkitnya PKI dan kelompok-kelompok kiri pada masa Soekarno memang ikut mempengaruhi agresifitas politik luar negeri Indonesia. Namun, agresifitas itu bisa dipahami karena menonjolnya berbagai kepentingan nasional Indonesia pada masa-masa pasca-kemerdekaan hingga dekade 1960-an. Hal ini tak lepas dari faktor-faktor determinan politik luar negeri seperti tersebut diatas. Pertama, kondisi politik dalam negeri pasca proklamasi masih kurang stabil dan diwarnai pertentangan basis pencarian dan pemilihan ideologi negara. Berbagai perubahan konstitusi dan bentuk negara pun terjadi, mulai UUD 1945, UUDS 1950, dan kembali ke UUD 1945, betuk NKRI pun berubah ke RIS dan kembali lagi ke NKRI, bahkan ideologi Pancasila pun berpaham NASAKOM. Perubahan-perubahan tersebut tak lepas dari pengaruh Belanda (dan sekutu) yang masih menginvasi Indonesia sampai tahun 1948 serta dinamika gerakan-gerakan politik (partai) di Indonesia yang mengusung banyak ideologi. Ini kemudian menguatkan Soekarno bahwa Indonesia perlu nasionalisme Pancasila yang berjiwa internasionalisme dan menolak bentuk-bentuk neokolonialisme dan imperialisme untuk menjaga integritas wilayah dan kedaulatan. Tak heran jika pada Mei 1964, Soekarno melakukan konfrontasi dengan Malaysia melalui Dwikora, karena pendirian negara Federasi Malaysia dibawah bayang-banyang Inggris dianggap sebagai ancaman terhadap nasionalisme Indonesia dan ini berdampak pada integritas wilayah Indonesia pula.

Kedua, kondisi ekonomi Indonesia sangat terpuruk dan kacau ditandai dengan inflasi tinggi sampai 600%, berlakunya mata uang asing sebagai mata uang nasional seperti matau uang Jepang dan Belanda, serta utang luar negeri yang dibuat pemerintah antara 1950-1956, masing-masing berumlah: Rp 3,8 miliar, Rp 4,5 miliar, Rp 5,3 miliar, Rp 5,2 miliar, Rp 5,2 miliar, Rp 5,0 miliar, dan Rp 2,9 miliar (Higgins 1957 dalam Baswir 2006)[1]. Ini berdampak pada pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat kurang terpenuhi, terlebih ada kebijakan yang membatsi jumlah kepemilikan uang sebesar Rp 250,00 untuk yang belum menikah dan Rp 350, 00 untuk yang sudah menikah. Kondisi ini telah menciptakan konsep ekonomi Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri) dan Dekon (Deklarasi Ekonomi) serta Sosialisme Indonesia oleh Soekarno. Sehingga tak aneh jika Soekarno alergi terhadap bantuan Barat dan sekutunya. Seperti semboyannya ”Go To Hell With Your Aids”, yang mengangap bantuan tersebut sebagai bentuk Neokolonialisme dan Imperialisme (Nekolim). Posisi itu diambil Soekarno karena lebih mementingkan pembangunan nation-building dan politik ketimbang ekonomi dan Barat sering kali berbelit-belit dalam memberikan bantun. Seperti pada tahun 1950, menyusul kesediaannya untuk memberikan pinjaman sebesar 100 juta dolar AS, Pemerintah AS menekan Indonesia untuk mengakui keberadaan pemerintahan Bao Dai di Vietnam. Karena tuntutan tersebut tidak segera dipenuhi, pemberian pinjaman itu akhirnya tertunda pencairannya (Weinstein, 1976: 210 dalam Baswir 2006).

Dan tahun 1952, setelah menyatakan komitmennya untuk memberikan pinjaman, pemerintah AS kemudian mengajukan tuntutan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengembargo pengiriman bahan-bahan mentah strategis ke Cina. Sebagai negara produsen karet dan anggota PBB, secara tidak langsung tuntutan tersebut ”terpaksa” dipenuhi Indonesia. Persitiwa yang paling dramatis terjadi pada 1964, menyusul keterlibatan Inggris dalam konfrontasi dengan Malaysia, pemerintah Indonesia segera meyikapi hal itu dengan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Inggris. Ini adalah nasionalisasi kedua yang dilakukan Indonesia setelah nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada 1956. Mengetahui hal itu, pemerintah AS segera turut campur. Setelah beberapa waktu sebelumnya menekan Indonesia untuk mengaitkan pencairan pinjamannya dengan program stabilisasi Dana Moneter Internasional (IMF), AS kemudian mengaitkan pencairan pinjaman berikutnya dengan tuntutan untuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia. Campur tangan AS tersebut ditanggapi Soekarno dengan mengecam utang luar negeri dan menentang AS. Pada akhirnya, Indonesia lebih dekat dengan poros Sosialisme Soviet sebagai ”pilihannya”.

Kondisi ekonomi yang ambruk tersebut membawa pengaruh terhadap lemahnya pembangunan kekuatan militer sebagai salah satu determinan dalam politik luar negeri. Perlengkapan dan peralatan militer yang ada belum memadai bagi pertahanan dan keamanan negara, tak jarang pembrontakan terjadi (seperti DI/TII, RMS, PRRI, G-30S/PKI) dan upaya-upaya untuk menjaga integritas wilayah terkendala (seperti Sirian Barat, Sulawesi Utara, dan lain-lain) (Badrika 2000: 13-45). Ketika upaya pembebasan Irian Barat melalui operasi Trikora, militer Indonesia sangat membutuhkan peralatan militer yang memadai, lobi-lobi ke AS pun dilakukan untuk membeli senjata tapi ditolak. Indonesia pun mendekati Soviet, dan Khruschev menjanjikan bantuan senjata, pelatihan militer, hingga kapal selam pada Indonesia. Selain itu, Soviet bahkan mendukung mendukung masuknya Irian Barat sebagai wilayah Republik Indonesia. Ini kemudian yang mengkhawatirkan pihak AS. Untuk menjaga agar jangan sampai Indonesia semakin ke kiri, Amerika memutuskan mendukung integrasi Irian melalui Rencana Bunker dan Persetujuan New York yang pada akhirnya akan diadakan Pepera (Badrika 2000: 40-41; Tan 2007: 149-153; dan Sudirman 2005).

Ketiga, pengambil keputusan kala itu sangat senter pada kharismatik Soekarno, dimana ia bertindak sebagai ”wakil rakyat” Indonesia di forum Internasional, hal ini tak lepas dari dinamika politik dalam negeri Indonesia sendiri, bahkan ia sempat dinobatkan sebagai Presiden Seumur Hidup. Selain itu, dengan kondisi negara yang kurang stabil akibat pertarungan ideologi dan politik kala itu, membuat Soekarno melakukan pendekatan-pendekatan ”Terpimpin” dalam menjalakan politik luar negeri maupun dalam negerinya untuk menjaga stabilitas dan bangunan politik Pancasila Indonesia. Tak urung, kemudian mucul Demokrasi Terpimpin Pancasila menggantikan Demokrasi Parlementer RIS. Kondisi ini mendekatkan Politik Luar Negeri Soekarno ke arah sosialisme yang cenderung mengarah pada blok Soviet. Tentunya, semua keputusan politik luar negeri berada di tangan Soekarno atas dasar Demokrasi Terpimpin. Pada masa ini, Soekarno membentuk Poros Jakarta-Phnom Penh-Peking-Pyongyang pada 1960-an, sebagai bentuk independensi membangun masa depan bangsa. Selain itu, diadakan pertemuan dengan China melalui kerangka CONEFO sebagai alternatif dari sistem PBB yang dianggap memelihara status quo Barat (Tan 2007: 154-155). Tak heran jika pada 31 Desember 1964 Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Meskipun begitu, dalam kerangka pengambilan keputusan tetap mempertimbangkan ”group decisionmaking” tetapi elitis dan nuansa ”terpimpin” Soekarno sangat kental.

Keempat, lingkungan Internasional masa itu berada pada seting menjelang akhir Perang Dunia II dan awal Perang Dingin, dimana sistem internasional bersifat bipolar dan high politic yang diwarnai oleh rivalitas Komunisme Soviet vs Liberalisme AS (Situmorang dalam Pareira [ed] 1999: 125-148). Kedua kekuatan tersebut saling berlomba-lomba membuat persenjataan modern yang menimbulkan ketegangan dan kecemasan internasional, pada akhirnya kekhawatiran akan perang nuklir muncul. Dalam kondisi semacam ini, Soekarno menilai perlunya suatu gerakan bersama dari negara-negara berkembang untuk tidak memihak salah satu Blok dan mempromosikan perdamaian dunia serta nilai-nilai internasionalisme Pancasila. Untuk itu, pada 1961 dibentuk Gerakan Non Blok sebagai respon ketidakberpihakan negara-negara berkembang terhadap bipolaritas AS dan Soviet tersebut. Dan pada 1955, diadakan Konferensi Asia Afrika di Bandung sebagai kelanjutan dari Konferensi Kolombo 28 April – 2 Mei 1954 di Srilanka. Tujuannya adalah untuk mempromosikan perdamaian dan membangun masa depan negara berkembang ke arah yang lebih stabil dan kondusif. Dan kepentingan Indonesia sendiri adalah dalam rangka menjaga dan memelihara integritas politik bangsa Indonesia yang baru merdeka sebagai pondasi bagi nation-building dan state-building. Di sinilah Indonesia menentukan posisinya dalam kerangka Politik Luar Negeri Bebas-Aktif.

Nampak bahwa politik luar negeri bebas-aktif Indonesia pada masa Soekarno condong ke blok Sosialis dan lebih pada isu-isu high politic dan perjuangan bangsa Indonesia dalam membangun image sebagai negara besar dan berpengaruh di level baik regional maupun internasional untuk setara dengan negara-negara lain. Hal ini tak lepas dari kondisi bangsa Indonesia yang saat itu baru merdeka dan sedang membangun nation- dan state-building-nya. Kesatuan politik lebih penting bagi Soekarno pada waktu itu daripada membangun basis ekonomi rakyat. Tak heran, semua itu telah tercermin dalam aksi dan reaksi serta interaksi politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Panglima Besar Revolusi, Soekarno.



[1] Yang mencengangkan, sesuai dengan hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB), pengakuan kemerdekaan Indonesia ternyata harus dibayar mahal dengan mengakui utang luar negeri yang dibuat oleh Hindia Belanda. Akibatnya, terhitung sejak 1950, pemerintah Indonesia serta merta memiliki dua jenis utang, yaitu utang luar negeri warisan Hindia Belanda senilai 4 miliar dolar AS, dan utang luar negeri baru Rp 3,8 miliar.

0 comments:

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.