.
.
.
.
.

“Conclusion: The New Regionalism” by Andrew Gamble and Anthony Payne

Posted by Edy Jayakarya

By : M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Review Artikel

Artikel yang ditulis oleh Gamble dan Payne ini menjelaskan mengenai perkembangan regionalisme gaya baru, yang disebut dengan open regionalism, sebagai akibat dari kemajuan sistem internasional yang mengarah pada multilateralisme pasca Soviet runtuh 1980-an. Perkembangan regionlisme baru telah menjadi trend global kontemporer dimana setiap negara dalam satu kawasan mengadopsi kebijakan open regionalisme sebagai mekanisme untuk menghadapi globalisasi dan era perdagangan bebas. Pada akhirnya, setiap kawasan memiliki kekuatan hegemon dimana hegemon tersebut menjadi penggerak dan pemimpin dalam menciptakan kerangka kerjasama regional yang mengarah pada perkembangan regionalisme baru tadi. Trend ini telah menjadi keniscayaan dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. Dan setiap negara saling bersaing untuk meningkatkan kompetisi mereka melalui mekanisme strategic trade sebagai langkah untuk tetap eksis dalam globalisasi. Untuk itu, kerangka demokrasi dan liberalisasi merupakan platform yang harus diadopsi oleh setiap negara untuk memajukan regionalisasi di kawasannya, karena dengan dua platform itu mekanisme kooperatif dan interdependensi menjadi pilihan utama dalam interaksi sistem internasional dari pada mekanisme konflik, setidaknya itu menurut kedua penulis Gamble dan Payne. Bila tidak, hubungan Core-Perypheri akan bersifat konfliktif dan eksploitatif serta zero-sum game.

Secara historical context, perkembangan regionalisme telah membentuk struktur dan dinamika sejarah dalam hubungan internasional kawasan, dimana menurut Orswel (1984) terdapat tiga kekuatan totalitarian yang saling berkompetisi yaitu, Eastasia, Oceania, dan Eurasia. Hubungan antar ketiganya adalah bersifat konfliktif dan zero-sum game. Sementara, tesis Huntington mengenai clash of civilizations yang diwarnai oleh hubungan konfliktif antara ideologi liberal kapitalis (baca: AS) versus Islam (baca: negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim) dan Konfusianis (baca: RRC) telah memberikan dinamika bagi perkembangan regionalisme yang diliputi oleh kompetisi setiap negara untuk mengembangkan wilayah, penguasaan sumberdaya, dan kemakmuran bagi kepentingan nasionalnya. Hal ini sesuai dengan asumsi kaum neo-realis yang mengingikan adanya kekuatan hegemon sebagai penyetabil bagi instabilitas akibat kompetisi antar negara dalam kawasan tersebut. Mekanisme kooperatif dan sifat interdependensi bukan jalan bagi terciptanya kerjasama regional. Tentunya hal tersebut dibantah oleh kaum liberal maupun neoliberal yang tetap menghendaki kerangka kooperatif dan interdependensi sebagai kerangka untuk menghindari konflik dan mencapai stabilitas kawasan. Terlebih dengan perkembangan regionalisme baru dalam bentuk open regionalisme telah meniscayakan demokrasi dan libearalisme serta perdagangan bebas sebagai jalan alternatif bagi kemajuan suatu kawasan yang mengarah pada hubungan yang bersifat win-win solution. Kerangka ini sangat sukses diterapkan di Eropa ketika UE melakukan enlargment anggota ke kawasan Eropa Timur dan Tengah. Kawasan yang disebut terakhir ini kemudian secara simultan terus mengalami kemajuan baik ekonomi maupun politiknya sesuai dengan standar yang ditetapkan UE. Tak heran jika UE kemudian menjadi kekuatan utama dalam era globlalisasi dan free trade ini.

Melalui kerangka yang ditawarkan Gamble dan Payne tersebut, usaha untuk melakukan free trade dan strategic trade tak bisa terhindarkan dalam rangka menghadapi globalisasi. Strategic trade yang dimaksud oleh Gamble dan Payne adalah bahwa mempertahankan dan mengembangkan kompetisi internasional harus menjadi tujuan utama kebijakan ekonomi suatu negara. Dengan demikian diperlukan sebuah ekonomi domestik yang kuat untuk menghadapi kompetisi di pasar internasional sehingga mampu bersaing dengan pondasi ekonomi domestik yang kompetitih. Oleh karena itu, negara harus mampu bertindak strategis untuk melindungi sektor-sektor utamanya. Salah satu keuntungan kerjasama regional dengan strategic trade adalah adanya kemungkinan untuk memberdayakan perusahaan regional agar sukses di pasar global. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, pergerakan regionalisme secara konsistan mengarah pada terbentuknya open regionalism. Dengan bentuk open regionalism ini, segala bentuk perlakuan free trade dan hambatan perdagangan–baik tarif maupun no-tarif–harus sama baik intra– maupun antar-kawasan. Perkembangan ini akan mengarah pada terbukanya pasar di setiap kawasan bagi kawasan lain dengan perlakuan yang sama pula. Bagi kawasan Amerika Utara, AS merupakan kekuatan potensial bagi kemajuan regionalisme disana, seperti NAFTA. Bagi kawasan Eropa, negara-negara Eropa Barat, terutama Inggris, Perancis, dan Jerman, menjadi kekuatan jangkar bagi kemajuan Uni Eropa ke arah unfikasi politik. Bagi kawasan Asia Timur, Jepang dan China seharusnya menjadi promotor atau “angsa terbang” bagi kemajuan dikawasan Asia. Tentunya, interaksi antar kawasan tersebut harus didasarkan pada kerangka kooperatif dan interdependensi untuk mencapai tahapan globalisasi yang kondusif bagi kemajuan kerjasama regional maupun antar-regional. Dengan demikian, hubungan core-perypheri tidak lagi digambarkan pada konteks old regionalisme, yang cenderung bersifat top-down dan konfliktif serta blok-blok yang malah menciptakan sikap defensif terhadap globalisasi dan free trade, namun pada open regionalism, dimana adanya keinginan setiap negara dalam kawasan untuk membangun hubungan yang kooperatif dan interdependen antar core, sebagai “penyedia” dana dan replika bagi pembangunan perypheri dengan program-program penyesuaian struktural atau bentuk paket lain yang diasumsikan dapat memperbaiki kondisi ekonomi negara perypheri tersebut, dan perypheri, sebagai pendukung bagi kemajuan perdagangan internasional, dimana kemajuan di negara periphery akan meningkatkan laju ekonomi di negara core karena kemampuan negara periphery untuk melakukan perdagangan internasional semakin meningkat. Hubungan ini lebih bersifat bottom-up daripada top-down. Dan ini mencerminkan dinamika yang ada di era globalisasi ini dimana open regionalisme muncul sebagai bentuk baru dari regionalisme lama, tetapi dengan karakter yang berbeda. Konsep hegemoni kemudian dipakai sebagai bentuk penguatan untuk memicu terjadinya regionalisasi dalam rangka membangun kekuatan regional yang kompetitif untuk menghadapi globalisasi, bahkan sebagai wujud mencapai tahapan globalisasi itu sendiri.

0 comments:

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.