By : M. Edy Sentosa Jk.
Print this article
Review Artikel
Artikel yang ditulis oleh Prof. Sunil Kukreja berusaha menjelaskan perkembangan pembangunan ekonomi negara berkembang mulai dari era kemerdekaan–saat mereka mencari jati diri dan konsep pembangunan yang relevan bagi kondisi masyarakatnya –dan era global sekarang dimana kemajuan ekonomi dunia telah menciptakan ketimpangan ekonomi antara negara maju dengan negara berkembang, serta adanya usaha-usaha yang dilakukan negara berkembang untuk meningkatkan posisi dan suara mereka di forum-forum internasional dengan membentuk mekanisme kelembangaan dan kerjasama antara negara-negara berkembang –seperti OPEC, UNCTAD, NIEO, KAA–yang pada akhirnya akan terbentuk semacam regionalisasi dan “solidaritas” negara berkembang sehingga bargaining position mereka dalam sistem internasional semakin didengar, bahkan diharapkan menjadi agenda setter dalam isu-isu pembangunan ekonomi ala negara berkembang. Pada akhirnya, upaya untuk meningkatkan kapasitas pembangunan ekonomi negara berkembang tidak berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan, sebagaimana tercermin dalam collective action mereka membentuk kerjasama dan institusionalisasi, karena orientasi berbeda antara negara berkembang dalam hubungannya dengan negara maju, terlebih paradigma neoliberal dipakai oleh sebagian negara berkembang sebagai paradigma pembangunan ekonomi mereka, tak heran jika terdapat perkembangan yang berbeda antar negara berkembang sehingga memunculkan istilah NIC (new industrial countries) bagi mereka yang berhasil menerapkan paradigm tersebut, tetapi ada juga yang tidak berhasil, malah mereka terjebak oleh jeratan hutang luar negeri baik melalui IMF dan Bank Dunia maupun kelompok negara maju.
Istilah Pembanguan [Development] yang muncul pada 1970 dan 1980-an, atau dikenal dengan Ekonomi Pembangunan, merupakan istilah yang terkait erat dengan perkembangan pembangunan ekonomi negara berkembang dimana mereka berusaha membangun kapasitas ekonominya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Umumnya, usaha-usaha yang dilakukan tersebut tak lepas dari preskripsi negara-negara maju yang telah berhasil membangun kapasitas ekonominya melalui basis industrialisasi. Sehingga muncul dinamika pembangunan ekonomi dalam negara berkembang yang terkadang membawa dampak negative bagi kondisi sosial dan budaya masyarakatnya. Kapasitas suatu negara dalam membangun ekonominya akan tercermin dalam tingkat GNP negara tersebut, dimana tingkat GNP tersebut akan mencerminkan apakah suatu negara tergolong ke dalam negara maju [Utara] atau negara berkembang [Selatan]. Hal inilah yang kemudian memunculkan istilah Utara – Selatan [North – South].
Tentunya, berdasar historical context, hubungan Utara – Selatan telah terbentuk ketika masa kolonialisasi dan imperialism. Kondisi ini telah menciptakan gap indeks pembangunan ekonomi antara negara berkembang dengan negara maju [sebagai negara kolonialis dan imperialis ketika itu] sampai sekarang. Hal ini diperparah manakala mereka telah merdeka, dimana terjadi keguncangan kondisi politik dan sosial yang berdampak pada stabilitas dalam pembangunan ekonomi. Sehingga pembangunan ekonomi yang mereka lakukan t jarang kontraproduktif dengan kesejahteraan yang diinginkan rakyat. Menurut Kukreja, setidaknya ada empat faktor yang berpengaruh terhadap dinamika dan proses pembangunan ekonomi negara berkembang tersebut. Pertama, proses pembangunan selalu diwarnai sikap curiga dan phobia terhadap negara Eropa. Kedua, negara berkembang menganggap kondisi “ketertinggalan” mereka akibat dari sejarah eksploitasi sumber daya dan dominasi kultur Barat. Ketiga, dinamika dan proses pembangunan tersebut tak lepas dari konteks Perang Dingin yang telah menyebabkan kemunduran bagi negara berkembang. Keempat, adanya pandangan bahwa negara berkembang dapat maju jika mereka menerapkan pola dan logika pembangunan Barat. Dalam prosesnya, keempat faktor tersebut berimplikasi pada semakin tertantangnya pembangunan yang dilakukan negara berkembang. Oleh karena itu, mereka [negara berkembang] kemudian membentuk semacam kerjasama dan institusionalisasi regional untuk mengatasi dinamika dan tantangan pembangunan kapasitas ekonomi mereka. Pada 1955, mereka berkumpul bersama mengadakan KAA yang diadakan di
Usaha lain yang dilakukan untuk meningkatkan bargaining position dan mencapai kepentigan bersama adalah pembentukan OPEC dan UNCTAD sebagai mekanisme dalam meciptakan New International Economic Order (NIEO) yang diharapkan akan menfaslitasi gap atau kesenjangan ekonomi dan pembangunan antara negara berkembang dengan negara maju. Melalui kerangka OPEC ini, negara berkembang sempat dapat melakukan tekanan terhadap Barat pada 1970-an ketika embargo minyak diadikan senjata bagi OPEC yang berdampak pada kelesuan ekonomi Barat secara total. Yang tak kalah pentingnya adalah terbentuknya G77 sebagai bentuk aksi bersama dalam membangun ekonomi antar negar berkembang, selain sebagai reaksi terhadap terbentuknya G7 oleh kumpulan negara maju.
Namun, usaha pembangunan kolektif yang dilakukan oleh negara berkembang tersebut, pada akhirnya mengalami kegagalan akibat kompleksitas masalah yang mereka hadapi–sehingga mereka lebih mementingkan kepetingan nasional masing-masing dari pada collective action yang telah disepakati sebelumnya–dan tingkat ketergantungan yang begitu besar terhadap negara maju sehingga tak jarang preskripsi pembangunan negara maju banyak dijadikan pedoman bagi negara berkembang walaupun harus dibayar mahal dengan sumber daya dan stabilitas ekonomi yang semakin kacau. Di sisi lain, wacana neoliberal, seperti konsep Tinggal Landas Rostow, telah menjadi paradigma pembangunan ekonomi dimana perdagangan bebas, industrialisasi, dan akumulasi kapital menjadi basisnya dan mengabaikan faktor sosio-kultural negara berkembang. Tak heran jika sebagian besar negara-negara berkembang kemudian terjebak pada jeratan hutang luar negeri dimana sumber daya dan kekayaan alam kemudian “tergadaikan”.
0 comments:
Post a Comment