M E L A W A N[1] K O R U P S I
Corruptio Optimi Pesima[2]
(Pembusukan moral dari orang yang tertinggi kedudukannya adalah perbuatan yang paling jelek)
Sudah banyak “kisah” yang ditorehkan para pejabat publik kita yang sangat mengecewakan hati rakyat yang telah memilihnya. Kondisi masyarakat yang serba sulit untuk memenuhi kebutuhan yang layak, mulai dari antrian sembako, BBM, BLT, bahkan sampai krisis air, dan lain-lain tak bisa menyadarkan pejabat publik kita untuk sadar akan “penderitaan” yang dialami rakyatnya. Mereka (baca: pejabat publik) hanya melanglang buana di hutan belantara (baca: institusi publik) demi kemakmuran pribadi, walaupun terbenak dalam diri mereka rasa lapar yang mungkin dialami masayarakat, mungkin hanya sebatas angin lalu yang tak perlu diindahkan[3].
Kisah yang dimaksud adalah “skandal korupsi” yang mungkin telah menjadi budaya dalam birokrasi maupun administrasi publik para pejabat kita. Skandal yang baru-baru ini marak adalah kasus ASABRI, seorang komandan telah mengkorupsi uang tunjangan untuk asuransi prajuritnya[4]; kasus VLCC (very large crude carrier), dugaan korupsi dalam penjualan kapal tanker raksasa PT Pertamina[5]; laporan Bank Dunia melalui StAR (Stolen Asset Recovery Initiative) yang menyebutkan mantan presiden Soeharto, selama berkuasa, telah mencuri kekayaan negara sebesar 15 miliar-35 miliar dollar AS[6].
Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah korupsi di lingkunagn Komisi Yudisial (KY), yang dilakukan Irawady Joenoes. Ia adalah Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluruhan Martabat, dan Perilaku Hakim. Irawady Joenoes ditangkap KPK pada 26 September 2007 yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tanah untuk kantor KY[7]. Perkembangan selanjutnya dalam kasus ini ternyata membuat masing-masing pihak[8] saling “menuduh” untuk membuka aib masing-masing di tubuh KY dengan alibi masing-masing.[9]
Sungguh ironis, tugas mulia itu ternyata disalahgunakan melalui perbuatan yang seharusnya tabu ia (baca: Irawady Joenoes) lakukan. Oleh karena itu, masyarakat, selain tersentak, juga sangat kecewa mengingat publik memiliki ekspektasi besar terhadap peran KY dalam memperbaiki kinerja lembaga peradilan[10], yang dimata masyarakat sudah semakin jatuh martabatnya.[11] Hal ini menguatkan dugaan bahwa KY selama ini dinilai sarat mafia peradilan[12], dengan terungkapnya kasus korupsi Irawady Joenoef dan kasus-kasus pemerasan sebelumnya.
Untuk itu diperlukan sebuah langkah yang “refresh” dalam melawan korupsi dan mengambil hikmah atas kasus korupsi yang terjadi di tubuh KY ini. Antara lain sebagai berikut.
1. Sistem perekrutan pejabat publik ditinjau ulang. Hal ini untuk mencegah tempat-tempat baru (baca: komisi-komisi independen) diisi oleh orang-orang lama/birokrasi lama[13] yang selama ini sudah “berpengalaman” melakukan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sehingga akan menghindarkan ”transfer know-how” KKN dan menghapus budaya korupsi yang memang sudah berurat akar di negeri ini.
2. Sistem rekam jejak atau track record dari para bakal calon KY yang akan menduduki jabatan publik tersebut. Sehingga kita tidak memilih kucing dalam karung. Kita akan benar-benar tahu betul motivasi dan tujuan calon-calon tersebut untuk benar-benar menjalankan amanah yang diberikan sesuai dengan undang-undang.
3. Mengembalikan kembali mekanisme pencalonan pejaabat-pejabat komisi independen menjadi hak prerogratif presiden. Pengisian jabatan hakim agung, anggota KPK, Komnas HAM, anggota KPU, maupun anggota KY dilakukan dengan presiden mengajukan calon untuk disetujui DPR, sebagaimana pengangkatan duta besar.[14] Hal ini juga seperti yang diatur dalam UUD 1945 pasal 24 B. Namun, dalam prakteknya sistem seleksi tersebut dilakukan oleh Komisi III DPR melalui panitia seleksi[15] yang memakai sistem paket. Dan lebih parah lagi, jika tugas panitia seleksi ini selesai maka panitia ini dibubarkan sehingga tidak ada tangggung jawab dari panitia terhadap calon-calon yang terpilih apabila terjadi penyelewengan amanah yang diberikan, seperti korupsi tersebut. Dengan dikembalikannya lagi hak prerogatif presiden maka garis tanggung jawab akan jelas.
4. Mantan jaksa, polisi, dan hakim selayaknya jangan dipilih atau ikut pemilihan seleksi untuk memasuki komisi independen. Dimana lembaga-lembaga tersebut telah terkenal sarat dengan budaya korup seperti mafia peradilan, jual-beli perkara, suap-menyuap. Hal ini dikhawatirkan akan ada ”transfer know-how” KKN yang akan melestarikan budaya korupsi yang memang sudah berurat akar. Apalagi menurut Indonesian Corruption Watch (ICW)[16] mengatakan bahwa KPK belum tampak mengungkap kasus korupsi dalam tubuh kepolisian dan kejaksaan, padahal ada pimpinan KPK yang berasal dari dua institusi tersebut.
[1] Ditulis miring karena diperlukan cara yang “diluar kebiasaan” dalam membrantas korupsi.
[2] Dikutip dari J Kristiadi dalam “Optimalkan Momentum Melawan Korupsi”, KOMPAS, Selasa, 2 Oktober 2007, hal. 1.
[3] Senjata ampuh yang biasa dipakai oleh pejabat publik biasanya adalah “mari aspirasi anda saya tampung”. Ya, hanya sekedar menampung tapi tidak digodok untuk menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan rakyat.
[4] “Subarda Menduga Pemberian Rumah untuk Jaga-jaga”, KOMPAS, Rabu, 3 Oktober 2007, hal. 4.
[5] “Usulan Direksi Didukung Komisaris”, KOMPAS, Kamis, 4 Oktober 2007, hal. 4.
[6] “Optimalkan Momentum Melawan Korupsi” oleh J. Kristiadi, KOMPAS, Selasa, 2 Oktober 2007, hal. 1. dan “Data Korupsi Soeharto” oleh Harry Seldadyo, KOMPAS, Rabu, 3 Oktober 2007, hal. 7.
[7] “
[8] Baik yang menjadi saksi maupun tersangka, antara lain yang melibatkan
[9] “Irawady Bongkar Kasus di KY”, KOMPAS, Rabu, 3 Oktober 2007, hal. 4.
[10] ___.2003. Tata Negara. Solo: PT Cempaka Putih., hal. 68. dan UUD 1945 pasal 24 B perubahan ketiga tanggal 10 November 2001.
[11] J. Kristiadi, Op.Cit.
[12] “Lengkaplah Korupsi Ini”, KOMPAS, Senin, 1 Oktober 2007, hal. 4.
[13] Biasanya diidentikkan dengan warisan Orde Baru masa kepemimpinan Presiden Soeharto.
[14] Agus Purnomo, Anggota DPR RI. Pernyataannya tersebut dikutip dalam KOMPAS, Senin, 1 Oktober 2007, “Perbaiki Desain Sistem Seleksi Pejabat Publik”, hal. 4.
[15] Yang tak jarang menghabiskan anggaran bermilliar-milliar.
[16] “Irawady Bongkar Kasus di KY”, KOMPAS, Rabu, 3 Oktober 2007, hal. 4.
tulisannya..bagus dan tajam mas...
salam kenal..
salam kenal juga buat Ardi...