.
.
.
.
.

“Global Terrorist Threats and Regional Responses: The Case of ASEAN” by Anak Agung Bayu Perwita

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Review Artikel

Dalam artikelnya yang berjudul “Global Terrorist Threats and Regional Responses: The Case of ASEAN,” Perwita berusaha menjelaskan mengenai fenomena terorisme yang ditinjau dari aspek definisi dan trend kemunculan aksi-aksi terorisme terutama di negara-negara muslim seperti Timur Tengah yang diklaim oleh Barat merupakan basis dari gerakan teroris kontemporer, atau yang disebut sebagai militansi Islam. Fenomena dan isu terorisme pasca 9/11 telah berdampak bagi ancaman security baik nasional, regional, maupun internasional, yang dapat menggangu dimensi human security. Hal inilah yang menjadi dasar bagi ASEAN untuk merespon isu terorisme secara bersama dalam kerangka kerjasama regionalnya. Nah, artikel Perwita ini kemudian berfokus pada respon regional ASEAN terhadap isu terorisme tersebut. Dan pada kesimpulan akhirnya, Perwita menekankan pentingnya bagi ASEAN untuk melakukan collective responses dalam membasmi terorisme guna menjaga keamanan regional dalam rangka mencapai Komunitas Keamanan Bersama ASEAN. Oleh karena itu, ia kemudian berpendapat bahwa perlu kajian ulang bagi kaum Realis yang selalu menekankan aspek security dimana negara merupakan aktor utama dalam politik global, padahal aksi terorisme dilakukan oleh nonstate-actor, dan ini tentunya memerlukan paradigma baru dalam memahami politik global sekarang.

Pasca tragedi 9/11 telah memberikan ekses yang signifikan bagi keamanan global dimana tragedi itu menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia ini dari serangan terorisme. Terlebih di era globalisasi sekarang, akses informasi dan komunikasi dapat berlangsung cepat, dunia semakin boarderless, dan transaksi keuangan semakin mudah dilakukan. Kondisi ini yang membuat terorisme semakin terfasilitasi sehingga segala aksi yang mereka lakukan semakin efektif. Tak heran jika aksi yang mereka lakukan telah menimbulkan ekses global walaupun dilakukan di sebuah negara atau suatu region. Implikasinya adalah ancaman terhadap dimensi human security karena pemahaman akan terorisme bukan lagi pada ranah traditional security tapi lebih pada nontraditional security. Hal ini terkait dengan perubahan politik global pasca CW dimana tipologi konflik cenderung menyerupai konflik-konflik pada abad pertengahan yang diwarnai oleh konflik antar etnik atau suku bangsa bahkan kelompok agama. Inilah yang kemudian menurut Perwita memiliki ekses terhadap suburnya terorisme di era sekarang, dimana seperti yang ia kutip dari Chalk bahwa konflik tersebut terjadi di negara-negara yang multietnik dan rawan separatisme. Pada akhirnya, kondisi tersebut dapat memicu dan ditunggangi oleh kelompok teroris dari negara lainnya. Sehingga semakin nyata bahwa gerakan teroris identik dengan tujuan-tujuan politik yang ingin dicapai melalui cara-cara kekerasan atau teror.

Secara konseptual, terdapat berbagai definisi mengenai terorisme mulai dari Kauppi, Whittaker, Cronon, Chalk, Choamsky, dll. Namun, dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan secara umum untuk memahami terorisme, yaitu suatu aksi kekerasan yang mempunyai motivasi politik dan fundamental serta power dengan tujuan untuk menebarkan teror dan ketakutan baik psikologis maupun fisik terhadap orang-orang sipil tak berdosa (publik). Berdasarkan definisi umum tersebut, terdapat lima elemen dalam terorisme, yaitu (1) motif dan tujuan politik, (2) ancaman dan kekerasan, (3) efek psikologis dan teror terhadap publik atau korban, (4) diatur dengan rapi melalui rantai komando atau struktur jaringan sel antar teroris, dan (5) dilakukan oleh aktor non-state. Dari lima elemen tersebut ada lima karakteristik terorisme, yaitu (a) aksi terorisme biasanya memakan korban yang masif, (b) ada hubungannya dengan gerakan religius[1], (c) memiliki jaringan organisasi terstruktur diberbagai negara, (d) memiliki akses dan kemampuan untuk menggunakan WMD, dan (e) adanya wilayah abu-abu dalam memahami fenomena terorisme itu sendiri, dimana berbagai kalangan atau pihak dapat saling mengklaim mengenai siapa teroris sebenarnya. Perwita menganggap bahwa aktivitas terorisme sangatlah signifikan bagi penyebaran teror dan efek psikologis pada publik. Tentunya aksi-aksi terorisme tersebut pada akhirnya akan mengancam keutuhan dan kesatuan sebuah negara bahkan dalam skala regional. Hal ini dapat dilihat dari gerakan-gerakan separatis atau pembrontakan oleh suatu kelompok etnik atau agama tertentu yang menimbulkan ekses terhadap instabilitas nasional yang pada akhirnya akan memicu instabilitas kawasan karena semakin boardeless-nya proksimitas antar negara.

Jika ditinjau dari aspek geopolitik ASTENG, maka dapat kita ketahui bahwa di negara-negara kawasan ini sangatlah rentan untuk memunculkan gerakan dan serangan teroris. Pertama, dapat dilihat terutama di Indonesia, Malaysia, Thailand Selatan, dan Philipina yang merupakan wilayah jaringan teroris internasional Al-Qaida. Kasus gerakan separatisme GAM dan DPO Azhari dan M. Top (keduanya WN Malaysia) di Indoensia membuktikan jaringan teroris tersebut ada, dan ini dikaitkan terutama dengan pembentukan harakat atau militansi Islam seperti FPI, Laskar Jihad, JI, KISDI, dll yang diklaim memiliki hubungan dengan Al-Qaida atau Ikhwanul Muslimin[2]. Terlebih gerakan pembrontak Moro di Filiphina dan Pattani di Thailand Selatan diklaim juga merupakan bagian dari jaringan Al-Qaida di kawasan Asia Tenggra. Kedua, dinamika kawasan juga turut mempengaruhi ancaman security negara-negara asia tenggara ini, terutama China dianggap sebagai ancaman security dengan semakin besar anggaran militernya telah memberikan pandangan tersendiri ASEAN terhadap kebangkitan China tersebut. Ketiga, ancaman internal yang berwujud konflik intra-regional ASEAN telah berkontribusi bagi instabilitas regional. Pada akhirnya ketiga hal tersebut akan memberikan ekses terhadap persepsi ancaman security baik intra-regional maupun ekstra-regional bahkan internasional dengan anggapan bahwa kawasan Asia Tenggara merupakan basis jaringan terorisme internasional dan ini akan berpengaruh terhadap semakin rawannya security di kawasan ASEAN. Implikasinya adalah cita-cita untuk mencapai Komunitas Keamanan Bersama ASEAN semakin terhambat.

Oleh karena itu, melalui kerangka ASEAN, negara-negara Asia Tenggra tersebut melakukan respon kolektif dalam mengatasi terorisme baik regional maupun internasional. Hal ini diwujudkan dalam inisiatif Join Action Pemimpin ASEAN “ASEAN Leaders Declare Join Action to Counter Terrorism,” untuk mengkonter terorisme. Join Action (JA) tersebut berisi delapan poin penting, yatiu:

  1. meninjau dan menguatkan mekanisme national untuk membasmi terorisme;
  2. meratifikasi perjanjian anti-terorisme, termasuk mendukung Konvensi Internasional mengenai supresi pendanaan terorisme;
  3. bekerjasama dengan aparat penegak hukum antar negara untuk membasmi terorisme;
  4. mengadopsi Konvensi-konvensi Internasional mengenai terorisme yang sesuai dengan mekanisme ASEAN;
  5. memperluas hubungan dan pertukaran informasi dan intelegen yang berguna untuk mempersempit dan mencegah terorisme;
  6. pembangunan kapasitas regional ASEAN dalam investivigasi, deteksi, pengawasan, dan pelaporan mengenai terorisme;
  7. saling bertukar pendapat atau ide guna meningkatkan peran dan keterlibatan ASEAN dalam membasmi terorisme; dan
  8. menguatkan kerjasama di level bilateral, regional, dan internasional serta membentuk kerjasama komprehensif dalam kerangka PBB.

Selain, kerangka JA tadi, Perwita juga menyarankan agar ASEAN membentuk “regional institusional building” dan pelembagaan demokratisasi dan perlindungan HAM, sehingga dimensi human security terkover dalam usaha membasi terorisme, hal ini karena aspek keamanan tradisional telah bergeser ke nontraditionaly security. Untuk itu, ASEAN harus bersifat proaktif holistik dalam merespon dan menangani terorisme tersebut. Diakhir artikelnya, Perwita menulis–secara implisit menunjukkan kenapa ASEAN begitu merespon terorisme– “it will also enable ASEAN to attain its claim to be a security community in the region.



[1] Sementara Cronon membagi terorisme kedalam 4 tipe, yaitu teroris sayap kiri, teroris sayap kanan, teroris etno-nasionalistik/separatis, dan teroris religius/”suci”.

[2] Menurut perspektif Barat, mereka adalah teroris.

0 comments:

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.