.
.
.
.
.

“Modes of Regional Governance in Africa: Neoliberalism, Sovereignty Boosting, and Shadow Networks” by Fredrik Soderbaum

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Review Artikel

Artikel yang ditulis Soderbaum ini menjelaskan mengenai model-model regional governance yang ada di Afrika, dimana terdapat berbagai penjelasan dalam menganalisa perkembangan regionalisasi berdasarkan model-model tersebut. Hal itu muncul karena perkembangan pembangunan benua ini secara spesifik mengalami ketertinggalan walaupun ada sebagian kecil negara yang memiliki kapasitas pembangunan yang maju seperti Afrika Selatan dan negara Afrika bagian utara. Fenomena ini sangat menarik dibahas terlebih di era ekonomi informasional dan globalisasi, trend regionalisme merupakan rujukan mendasar bagi setiap wilayah, bahkan secara spesifik negara, yang ingin sukses menjawab tantangan global sekarang.

Berangkat dari analisanya mengenai model regional governance di Afrika, Soderbaum menilai bahwa model governance sangatlah kompleks dan multilevel dimana regional governance memiliki peran penting dalam mempengaruhi dinamika reginalisasi Afrika ketimbang level global governance dan national governance. Selain itu, ia menekankan juga bahwa governance dapat bersifat informal dan privat dimana para aktornya tidak lagi didominasi oleh negara yang bersifat state-centric melainkan juga nonstate-actor memiliki andil dalam membentuk dinamika dan mempengaruhi decision making.

Untuk lebih memahami mengenai governance, Soderbaum memberikan empat klasifikasi governance, yaitu public governance à identifikasi sejumlah isu yang memerlukan tindakan bersama dalam populasi; private governance à governance yang cenderung fokus pada kelompok aktor tertentu dengan isu-isu kepentingan kelompok privat; formal governance à berdasarkan peraturan legal atau konstitusi; dan informal governance à lebih pada pemahaman dan akomodasi bersama atau perjanjian tidak tertulis. Sehingga dapat diambil pengertian bahwa governance mengandung derajat kontrol dan kontinuitas serta terdapat formalitas dan kepentingan publik di dalamnya agar sehingga rezim yang ada tetap terpelihara dan memperoleh legitimasi. Dalam kenyataannya, terdapat para aktor diluar decision-making actor yang juga berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan yang sesuai dengan kepentingan mereka. Hal inilah yang membuat kompleksitas regionalisme di Afrika, walaupun secara umum, dengan adanya regional governance ini, malah memperkuat aktor negara sebagai penggerak dan penentu dalam setiap arah regionalisasi disana, tetapi juga menguatkan level governance lain termasuk para aktor baru dan informal-privat governance.

Dalam melakukan analisanya mengenai governance di Afrika, Soderbaum menggunakan pendekatan EPI untuk menjelaskan mengenai oleh dan untuk siapa serta untuk tujuan apa governance tersebut. Oleh karena itu, Soderbaum meletakkan tiga model regional governance dalam menilai regionalisme Afrika, yaitu neoliberal governance, sovereignty boosting governance, dan regional shadow governance. Pertama, neoliberal governance à sebuah model regional governance dimana peran negara sedikit tereduksi oleh pasar atau privat actor dalam menentukan kebijakan dan keputusan terkait dengan pasar bahkan publik, sehingga kepentingan publik termarginalkan oleh kepentingan privat. Ini merupakan sebuah mekanisme untuk menarik capital asing dalam pasar Afrika. Tak heran jika masalah pengentgasan kemiskinan, subsidi publik, dan pemenuhan kebutuhan publik dipenuhi dengan menggunakan pendekatan pasar yang lebih mengutamakan kepentingan privat berkapital. Ini kemudian yang mendorong pemerintah untuk meminimalisir hambatan-hambatan dalam libersalisasi pasar dan perdagangan. Kondisi ini telah menciptakan dominasi kepentingan privat dalam setiap aspek kehidupan sebagai solusi untuk mengentaskan masalah publik. Menurut Soderbaum, neoliberal governance tercipa apabila terdapat semacam koalisi dan jaringan antara pemerintah, pebisnis besar, lembaga keuangan internasional, dan para penyandang dana yang memiliki kepentingan dalam ranah publik guna mencapai kepentingannya. Model regional governance ini tergolong dalam informal governance yang diwarnai oleh kepentingan privat elit politik baik kepentingan ekonomi maupun politik. Sehingga apa yang dikatakan good governance kemudian adalah liberalisasi pasar dan rezim yang melembagakan mekanisme pasar. Afrika Selatan merupakan contoh yang representatif dalam model governance ini dimana terdapat implementasi SDI (Spatial Development Initiatives) yang dalam perjalanannya telah mereduksi peran negara dan menguatkan ekonomi pasar.

Kedua, sovereignty boosting governance à merupakan kebalikan dari pertama dimana kedaulatan dan peran negara adalah yang utama dalam menentukan setiap arah kebijkan dan dinamika regionalisme yang dalam kawasan. Model ini dapat terjadi karena sangat kuatnya model pertama yang telah mereduksi peran negara sebagai otoritas terlegitimasi dan berdaulat atas wilayah dan rakyatnya yang pada akhirnya pemerintah tidak mau kehilangan peran dan fungsinya sebagai pengatur masyarakat. Sehingga pemerintah memiliki kepentingan untuk mewakili dan memenuhi kepentingan publik lewat penafsiran pemerintah atas kebutuhan publik dan ini yang kemudian membuat justifikasi peran negara dalam kawasan sangat besar. Jadi, model kedua ini merupakan model yang memberikan ruang yang besar bagi negara sebagai entitas politik untuk mengatur dan memberikan layanan publik pada rakyatnya, dan bukannya melemahkan peran negara dalam dinamika kawasan seperti model pertama. Model ini termasuk ke dalam bentuk formal governance yang selalu terkait dengan masalah publik. Karakter otoritarianisme di sebagian besar rezim Afrika merupakan hal mendasar bagi terbentuknya model sovereignty-boosting governance ini. Tentunya yang dimaksud dengan peran negara atau pemerintah tersebut sangat identik dengan para elit politik yang berkuasa di Afrika. Model ini hampir terdapat di sebagain besar negara Afrika.

Ketiga, regional shadow governance à merupakan sebuah model regional governance dimana terdapat sejumlah aktor yang memanfaatkan negara sebagai instrumen untuk meraih kepentingan privat atau kelompok mereka dalam bentuk kerjasama dengan beberapa aktor-aktor privat atau informal seperti kriminal, perusahaan keamanan, dan pimpinan militer. Model ini sangat diwarnai oleh lobi-lobi politik yang kuat antara negara dengan kelompok privat tertentu dimana mereka saling memanfaatkan demi kepentingan masing-masing. Kepentingan privat terpenuhi dengan mengambil keuntungan dari violence yang terjadi dan ekonomi terselubung dimana state actor dan nonstate actor terlibat kerjasama yang tersembunyi. Soderbaum menilai bahwa shadow governance terjadi dipengaruhi oleh kurangnya transparansi dalam negara, kurangnya atau menurunnya kapasitas finansial, dan kontrol teritori oleh sejumlah lembaga atau aparat negara berdasarkan fungsi masing-masing. Model ini biasanya kebanyakan terjadi di Afrika, hal ini tak lepas dari kondisi dan karakter negara di Afrika yang lamban dalam pembangunan dan kentalnya rezim militerisme atau otorutarianisme disana, terlebih sejarah kolonialisme dan imperialisme telah memberikan efek bagi dinamika regionalisme di Afrika sampai sekarang[1].

Hal lain yang perlu dilihat dalam dinamika regionalisme di Afrika adalah tak lepas dari permasalahan internal yang dihadapi kawasan ini yang dalam sejarahnya dibentuk oleh masa-masa kolonialisme dan imperialisme Eropa pada abad 17 sampai 19. Sejarah tersebut telah menyebabkan PSC (Protacted Sosial Conflict) di Afrika sampai sekarang sehingga kekerasan dan instabilitas merupakan fenomena yang biasa. Warisan sejarah tersebut antara lain politik apartheid, telah menyebabkan isu rasial muncul yang pada akhirnya konflik antar etnis sangat mudah terjadi; masalah land owner (land reform) telah menyebabkan konflik vertikal antara negara dengan adat dimana tradisi adat merasa memiliki hak ulayat terhadap setiap tanah yang ada di wilayah sukunya; masalah pemisahan satu suku etnik yang terpecah ke dalam dua negara akibat politik demarkasi atau pembuatan batas-batas wilayah kedaulatan oleh penjajah kala itu yang membagi-bagi wilayah Afrika berdasarkan kepentingan mereka, pada akhirnya tak jarang sering kali terjadi konflik antar negara satu etnik akibat mobilitas etnik tersebut ke negara sebelah; dan masalah perbedaan agama dan keyakinan tradisional juga turut mewarnai dinamika konflik internal di Afrika. Pada akhirnya, kawasan ini terus diwarnai oleh konflik dan destabilisasi dimana pihak asing dapat memanfaatkan situasi yang ada demi meraih keuntungan baik politik maupun ekonomi, yang malah akan memperparah regional situation dan ini akan menghambat proses regionalisasi dan regionalisme Afrika.

Selain masalah konflik dan violence, Afrika termasuk benua yang dalam indeks pembangunan masih terbelakng. Hal ini tak lepas dari minimnya infrastruktur yang dapat menopang pembangunan disana, seperti listrik, jalan yang memadai, sarana telekomunikasi dan transportasi, dan lain-lain. Nah, kondisi dan karakter yang ada tersebut telah menjadikan regional governance dan regionalisme di Afrika semakin tertantang jika tidak ingin dikatakan mengambat proses regionalisasi itu sendiri. Sehingga banyak sekali PR yang harus dikerjakan Afrika sebelum mencapai tahap regionalisme yang diinginkan, terutama menyelesaikan masalah internal domestik maupun regional kawasan tersebut. Jika tidak efektifitas dan efisiensi dalam membangun regional governance akan terlihat sebagai hambatan dari pada tantangan yang dapat dihadapi. Setidaknya, keinginan untuk menjadi benua sejahtera, seperti pada masa lalu sebelum kolonialisme dan imperialism menimpa mereka, sudah ada tinggal bagaimana “fantasi” tersebut diwujudkan menjadi realitas yang harus dibarengi oleh aksi yang nyata. Lalu bagaimanakah dinamika berikutnya? Kita tinggal tunggu saja bagaimana Afrika akan membentuk sejarahnya kembali menuju apa yang dicita-citakan dan model regional governance seperti apa yang akan diimplementasikan Afrika dalam mewujudkan cita-cita tersebut….

“…Sejarah pasti berulang namun progresifitas sejarah ditentukan oleh future-picture dan action to do para aktor dalam meraih progresifitas kehidupannya…”





[1] Mengenai hal ini dapat dilihat dalam film “Blood Diamond” karya sutradara Edward Zwick dan mengenai shadow governance tersebut lebih menarik lagi jika dibandingkan dengan buku “American Shadow Government” karya Jerry D. Gray yang menguak tabir pemerintahan bayangan AS yang dibayangi oleh sejumlah kelompok kepentingan tertentu.

0 comments:

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.