By: M. Edy Sentosa J.
Print this article
Sebagai sebuah bangsa yang memiliki sejarah yang dilandasi dengan keluhuran dan keagungan budaya yang khas Pancasila, Indonesia telah mengalami berbagai transformasi sosial-politik untuk mewujudkan kebangsaan yang utuh-berkesatuan sebagai refleksi dari pilihan kemerdekaan dan kemandirian yang berkedaulatan rakyat. Nuansa sebagai bangsa yang besar di era kemerdekaan kini telah bergeser ke arah ketidakpastian yang diliputi gejolak instabilitas dan pragmatisme-oportunis yang lebih menyokong kepentingan asing daripada kepentingan nasional demi kesejahteraaan dan kemakmuran rakyatnya. Hal ini tercermin dengan ketiadaan karakter dan keteladanan yang patut dari pemimpin negara ini. Terlebih di era sepuluh tahun reformasi ini (dan 100 tahun kebangkitan nasional), arah pembangunan dan kemajuan bangsa semakin tidak jelas dan jauh dari harapan-esensi reformasi tersebut. Ini kemudian yang memunculkan potensi-potensi kehancuran negara sebagai sebuah entitas politik yang kurang begitu mengkristal di tengah-tengah masyarakat yang plural. Pada akhirnya, bargaining power Indonesia di dunia internasional semakin lemah dalam menghadapi tantangan global di era globalisasi yang berwajah neoliberal sebagai wujud neoimperialisme. Oleh karena itu, momentum 100 tahun kebangkitan nasional di era reformasi ini harus menjadi proses berkelanjutan yang lebih baik dalam membangun masa depan bangsa (nasions) yang lebih dimaknai sebagai political collectivity. Dalam artikel ini akan dipaparkan mengenai tema besar kebangkitan nasional berdasarkan kuliah umum yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. M. Amien Rais[1] dan Dr. Mochtar Pabottinggi[2] di Aula Rektorat, Universitas Airlangga.
Kebangkitan nasional merupakan sebuah momen penting bagi semua negara sebagai bentuk kontradiksi terhadap ketertinggalan dan ketertindasan dalam merevitalisasi eksistensi entitas politik menuju sebuah progresifitas yang dicita-citakan ke depan. Ini terkait dengan bagaimana membangun sebuah nasions sebagai kolektifitas politik yang berdaulat guna memenuhi kebutuhan warga negara di segala bidang kehidupan dan melindungi seluruh potensi sumber daya yang ada demi menjamin kebutuhan masa depan. Sebagai sebuah entitas dan kolektifitas politik, Indonesia kini telah memperingati kebangkitan nasionalnya ke-100 tahun sejak 1908. Kebangkitan nasional Indonesia tentunya diwarnai oleh dinamika sosio-politik dimana semangat nasionalisme menjadi pondasi utama bagi terbentuknya nasions, sehingga dengan rasa kebangsaan atau nasionalisme tersebut perspektif kebangkitan nasional merupakan ajang revitalisasi Indonesia untuk mengevaluasi dan membangun secara proaktif elemen pembentuk nasions.
Setidaknya, menurut A Fanar Syukri (2003), Indonesia telah mengalami lima gelombang nasionalisme yang turut merefresh arti penting kebangkitan nasional bagi masa depan bangsa yang lebih baik. Lima gelombang tersebut adalah kebangkitan nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, kemerdekaan 1945, bangkitnya Orde Baru 1966, dan bangkitnya Orde Reformasi 1998. Gelombang tersebut sangat berpengaruh terhadap pembentukan arah perjuangan bangsa hingga sampai pada penghujung tahun 2004-2007, Indonesia bisa dikatakan telah mengalami gelombang keenam dari rasa kebangsaan terkait dengan kebangkitan nasionalnya yang ke-100. Namun, anehnya pada gelombang keenam ini, tepatnya 100 tahun kebangkitan nasional, Indonesia seolah telah kehilangan orientasi dalam meraih tujuan nasionalnya dan terlalu akomodatif terhadap sistem internasional dan power negara adidaya. Ini kemudian yang membuat kemandirian bangsa hilang dan malah membuat ketergantungan dengan pihak asing semakin besar (Lubis 2007 dalam Yuwono, Harian Global 20 Mei 2007). Pada akhirnya, makna kebangkitan nasional telah bergeser[3] pada paradigma pasar[4] dimana segala potensi sumber daya yang ada kini telah menjadi hak milik privat, terlebih pihak asing. Tak dipungkiri lagi bahwa banyak permasalahan bangsa yang kian hari semakin kompleks untuk diselesaikan, terlebih pemerintahan sekarang (masa SBY-JK) dianggap kurang merepresentasikan harapan masyarakat Indonesia menuju kemakmuran dan kesejahteraan, seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Oleh karena itu, menurut Pak Amien, bertepatan dengan kebangkitan nasional Indonesia yang ke-100, bangsa ini harus belajar dari seorang tokoh besar kebangkitan nasional yang mendirikan organisasi Syarekat Islam[5] pada 1916, yaitu H.O.S Cokroaminoto. Dalam sejarahnya, Cokroaminoto telah mengenalkan paradigma nasionalisme untuk membela dan membangun Indonesia menuju bangsa yang penuh dengan keadilan dan kemakmuran serta tanpa ada penindasan (Basri 2006 dalam Pontianak Post 19 Mei 2006; Sinar Harapan 1 April 2008). Perjuangan yang beliau lakukan pada masa itu adalah untuk memerdekakan Indonesia dari kunkungan kolonialisme dan imperialisme Hindia Belanda yang hampir 350 tahun menjajah nusantara. Sehingga semangat nasionalisme pada waktu itu adalah sebagai anti-tesis bagi kolonialisme dan imperialisme Hindia Belanda dan sekutunya.
Dari seorang Cokroaminoto ini, kita dapat belajar mengenai semangat dan kebesaran beliau untuk bangkit dari keterbelakangan, ketertindasan, dan penjajahan dalam segala bentuknya. Selain itu, Cokroaminoto merupakan sosok tokoh yang keluar dari kunkungan primordialisme dan sangat memahami arti pentingnya pluralisme bagi kesatuan bangsa ke depan. Dari perjuangan dan metode pergerakan yang beliau lakukan, tak heran jika menghasilkan generasi besar berikutnya yang dapat mewarnai wawasan keindonesiaan dalam sejarah perjuangan bangsa untuk selalu bangkit dari ketertindasan dan penjajahan serta mencapai bangsa yang merdeka. Generasi tersebut antara lain Soekarno, yang dikenal sebagai proklamator bangsa ini; Semaun, dan Kartosuwiryo, pemimpin DI/TII. Dari tangan dinginnya, Cokroaminoto berhasil mengestafetkan semangat dan perjuangan beliau kepada anak didiknya tersebut.
Menurut Pak Amien, tokoh-tokoh besar bangsa ini mengajarkan mengenai martabat dan kemandirian bangsa untuk berdaulat di seluruh bidang kehidupan tanpa ada campur tangan asing di dalamnya. Semangat untuk mencapai kemerdekaan pada masa penjajah merupakan turning point bagi bangsa Indonesia untuk merebut kembali kemandirian bangsa tersebut, dan mengencangkan kembali kedaulatan serta membangun masa depan yang lebih baik dengan segala potensi sumber daya yang ada di bumi pertiwi ini. Namun, era tersebut sangatlah diwarnai bentuk penjajahan fisik yang nyata dengan menganeksasi atau menginvasi atau menduduki suatu wilayah bangsa lain. Sehingga perjuangan para tokoh besar tersebut sangatlah nyata dan mudah untuk membedakan mana lawan dan mana musuh. Era sekarang adalah era dimana bentuk kolonialisme dan imperialisme masa lalu telah berevolusi ke dalam model atau format baru. Jika kita tinjau dari sejarah Indonesia, Belanda dengan VOC-nya merupakan sebuah bentuk “kompeni” masa penjajahan kala itu, telah muncul kembali dengan format korporatokrasi (Global MNC) di era globalisasi dan free trade yang berwajah neoliberal sebagai wujud neoimperialisme[6].
Terkait dengan korporatokrasi yang kini telah menguasai jaringan dunia[7], Pak Amien mengatakan bahwa terdapat enam elemen pendukung yang menyokong berkuasanya korporat dalam jaring-jaring dunia serta akses yang mudah untuk masuk ke negara lain dan menguasai sumber dayanya. Enam elemen tersebut pada dasarnya sangat persis dengan karakter korporatokrasi masa kolonialisme, dimana dalam kasus Indonesia adalah Belanda dengan VOC-nya. Enam elemen tersebut adalah pemerintah (home country), militer, perbankan, media massa, coopted-intelectual (“intelektual-bayaran”), dan korporasi itu sendiri.
Tidak mungkin korporasi (Global MNC) tersebut bisa menguasai jaringan dunia dan sumber daya negara lain tanpa ada dukungan dari pemerintahnya dalam menekan negara lain (host country) untuk membuka lahan investasi asing. Dukungan pemerintah tidak cukup tanpa kekuatan militer yang digunakan untuk memback-up tekanan pemerintah tersebut. Tentunya dalam menjalankan aksinya mereka memerlukan dana, dan ini bisa didapatkan dari dukungan perbankan baik nasional maupun lembaga keuangan internasional. Untuk lebih meyakinkan janji dan jaminan keuntungan bagi host country tersebut, mereka menggunakan media massa sebagai sarana pemutar-balikkan dan pembentukan opini publik yang akan mendukung kehadirannya di host country. Hal ini akan kompleks manakala didukung oleh intelektual-bayaran yang menghasilkan paradigma-paradigma dan teori-teori yang mendukung keberadaan korporasi di negara-negara sasarannya[8], terutama negara dunia ketiga yang notabene kaya akan sumber daya, seperti Indonesia. Pada akhirnya, semua itu demi keuntungan korporasi dan home country.
Wajah globalisasi yang neoliberal dimana korporasi sebagai the main player-nya semakin jelas ketika Margareth Tacther mengungkapkan sebuah istilah TINA (There Is No Alternative) sebagai bentuk keniscayaan terhadap globalisasi yang sejajar dengan liberalisasi pasar. Tak heran jika jargon-jargon ekonomi pasar, Konsensus Washington, dan IMF Recipes kini menjadi trend dalam pembangunan dunia dan ini merupakan bagian dari format baru “kompeni”. Hal ini telah menjadikan ruang gerak korporasi tersebut semakin mudah dan efisien dalam meraih kepentingan bisnis mereka. Terlihat betapa globalisasi sangat identik dengan imperialisme gaya baru, seperti yang ditekankan oleh Mahatir Mohamad mengutip pendapat Soekarno.
Anehnya, Indonesia sebagai sebuah negeri yang kaya akan potensi sumber daya, mengikuti arus globalisasi tersebut tanpa ada seleksi sama sekali[9]. Ini telah menjadikan Indonesia terjebak dan terjatuh ke dalam lubang yang sama seperti pada masa kolonialisme dulu. Tak heran jika dalam perjalanan gelombang nasionalisme keenam ini, banyak sekali potensi sumber daya alam yang kita miliki dikuasai secara penuh oleh asing dari hulu sampai hilir. Hal ini tercermin bagaimana Freeport McMoran, Newmon, Exxon Mobile, dan Cefron menguasai sumber-sumber daya negeri kita hampir 90 persen di bidang migas. Setiap bangsa merasa bangga dengan potensi sumber daya yang mereka miliki dan mereka gunakan betul-betul sumber daya tersebut untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Hal itu seperti yang dilakukan oleh Chavez, seorang pemimpin revolusioner Venezuela yang terpilih menjadi presiden pada 1998 hingga sekarang. Ia sadar betul bahwa globalisasi tak ubahnya neoimperialisme yang berwatak neoliberal yang cenderung mengedepankan kepentingan korporasi dan memarginalkan peran pemerintah atau negara dalam ekonomi rakyat. Kesadaran itu ia wujudkan dalam pengimplementasian kebijakan-kebijakan yang sejalur dengan kepentingan rakyat Venezuela. Hal ini seperti yang ia gema-gemakan pada saat sebelum menjadi presiden, ia mengatakan dan berkomitmen bahwa untuk memajukan dan meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, langkah pertama adalah melakukan pembenahan terhadap pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki Venezuela, yang selama pemerintahan Carlos Andrez Perez penguasaan asing diberikan porsi yang sangat besar[10] (Perkins 2007: 135-137). Untuk itu, Chavez melakukan penolakan campur tangan dan pemberian hutang oleh IMF dan Bank Dunia serta melakukan renegosiasi dengan para korporasi asing di Venezuela yang lebih menguntungkan Venezuela.
Namun, hal itu tidak bagi Indonesia yang malah menjual sumber daya yang dimilikinya demi kepentingan dan keuntungan asing dan mengikuti resep, bahkan welcome terhadap bantuan IMF dan Bank Dunia. Kita seolah menjadi tamu atau orang asing di rumah sendiri, sementara pihak asing menjadi raja di rumah kita sendiri. “Jadi, kebangsaan yang kita miliki sangat aneh bin ajaib,” tutur Pak Amien. Sebagian besar dari kita tidak ada yang peduli dan merasa tergerak untuk melakukan tindakan yang nyata ketika korporasi asing tersebut masuk ke Indonesia dan menguasai sumber daya kita, tetapi lebih peduli dan merasa sedih ketika kita dalam even-even olahraga, Badminton Cup atau Sea Games misalnya, kalah telak. Jadi, kepedulian sebagian besar dari kita terhadap masalah pokok mengenai hal-hal yang dapat meningkatkan harkat dan martabat bangsa sangatlah jauh dari harapan. Pada akhirnya, bangsa ini akan kehilangan kemandirian nasionalnya di segala bidang kehidupan baik bidang politik, ekonomi, hukum, bahkan sebentar lagi bidang pendidikan.
Kemandirian nasional tersebut semakin hilang karena sikap dan sifat pemimpin Indonesia dalam mengambil kebijakan yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat. Mereka terlalu sibuk dengan urusan memakmurkan diri sendiri dan selalu tunduk pada kepentingan asing. Hal ini tercermin dengan banyaknya kasus korupsi dikalangan para pejabat yang hampir semuanya tidak pernah tidak melakukan tindak pidana berat tersebut. Menurut Pak Amien, tindakan korupsi yang paling berbahaya[11] yang dapat berpengaruh besar terhadap kehancuran dan masa depan bangsa adalah pada level state-high-check-corruptions atau state-captured-corruptions dimana ini dilakukan oleh para pejabat tertinggi di negeri ini, terutama level decision-maker.
Bentuk korupsi tersebut misalnya DPR dan/atau pemerintah membuat UU yang mengakomodasi kepentingan asing di dalamnya. Contoh UU tentang Migas, Pertanian, dan lain-lain dimana semua bidang tersebut dikuasai asing. Berdasarkan Ketetapan Presiden Nomor 77 Tahun 2007[12] bahwa pihak asing bisa memegang 99% perbankan nasional, 49% pendidikan nasional dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, 95% listrik negara, 95% pertanian apabila memiliki kurang lebih 25 hektare luas lahan (berdasarkan kuliah Pak Amien Rais). Ini merupakan bentuk dari state-high-check-corruptions. Tak heran jika IMF dan Bank Dunia, terlebih MNC/korporasi dengan sangat mudah memasuki dan menguasai sumber daya Indonesia serta berpengaruh dalam setiap decision-making. Kondisi ini telah menghilangkan kemandirian bangsa, sehingga makna kebangkitan nasional hanyalah bersifat seremonial belaka yang diperingati setiap tahun tanpa aksi yang progresif.
Semua itu terus terjadi sampai sekarang karena pemimpin bangsa ini bermental inlander[13] (budak), tidak paham akan falsafah Pancasila, dan tidak memiliki kapabilitas untuk melindungi sumber daya alam bagi kemakmuran dan masa depan selanjutnya. Untuk itu, solusi yang ditawarkan Pak Amien agar Indonesia benar-benar bangkit di hari kebangkitannya yang ke-100 ini adalah terletak pada karakter pemimpin bangsa ini yang harus meninggalkan bahkan menghapus watak inlandernya, yang terlalu mengagung-agungkan kegemerlapan bangsa asing, padahal kita juga bisa menyaingi mereka; pemimpin yang paham akan makna Pancasila dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat; dan pemimpin yang berani untuk melakukan renegosiasi terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dengan korporasi. Selain itu, yang harus dilakukan juga adalah perlu adanya revisi UU yang selama ini menguntungkan pihak asing, seperti UU Migas dan Pertanian misalnya; dan harus ada pembangunan yang berorientasi pada pembangunan sumber daya mannusia yang handal dan berkualitas (people-oriented), ini terbukti dengan kemajuan dan kejaiban ekonomi India dan Pakistan yang orientasi utama pembangunan negaranya adalah berbasis people-oriented. Dengan langkah-langkah seperti tersebut di atas, diharapkan bangsa ini mulai dapat merajut kembali benang-benang kebangkitan nasional menuju bangsa yang utuh-berkesatuan dengan kebangsaan yang solid dan mengkristal sebagaai sebuah entitas political-collectivity.
Mengenai kebangsaan sangat menarik untuk dibahas karena dengan kebangsaan inilah makna kebangkitan nasional akan terasa bergema dan berwujud pada aksi nyata untuk membangun nasions Indonesia yang plural dan multietnik. Menurut Mochtar Pabotinggi ada dua macam kebangsaan, yaitu kebangsaan sebagai sociologic-collectivity dan political-collectivity. Kebangsaan yang dimaksud dan dibangun oleh para founding-father kita adalah kebangsaan yang mengarah pada political-collectivity karena kebangsaan macam ini berbasiskan pada konsensus politik yang sesuai dengan karakter keragaman Indonesia dalam membangun masa depan dan menjadi negara yang maju. Hal ini berbeda dengan kebangsaan sebagai sociologic-collectivity yang mendasarkan pada ikatan etnik, ras, atau suku bangsa yang pada dasarnya tidak sesuai dengan karakter Indonesia. Jika kebangsaan yang terakhir disebut ini dikembangkan maka akan muncul gerakan-gerakan primordialis yang malah akan memfragmentasikan Indonesia menuju balkanisasi[14].
Konsep kebangsaan sebagai political-collectivity telah memunculkan gerakan-gerakan nasionalis yang berjuang demi menegakkan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang mandiri dan berhak menentukan nasib sendiri. Semangat nasionalisme itulah yang kemudian membentuk bangunan Indonesia sebagai sebuah nasions daripada negara-bangsa yang memiliki makna yang sempit. Oleh karena itu, menurut Pabotinggi, ketika nasions sudah terbentuk dari semangat nasionalisme maka kita tidak perlu lagi membangkitkan nasionalisme masa lalu tapi kebangkitan nasional seharusnya diartikan lebih sebagai penyempurnaan pembangunan nasions sendiri itu, yaitu pembangunan pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, hukum, dan lain-lain. Melalui pembangunan nasions inilah maka serat-serat kebangsaan dapat dipupuk sedemikian rupa sehingga kita melihat diri kita lebih sebagai political-collectivity dari pada sociologic-collectivity.
Tentunya untuk membangun nasions diperlukan sebuah sistem demokrasi sebagai penopang partisipasi aktif seluruh elemen bangsa untuk turut andil dalam pembangunan tanpa ada yang mendiskriminasi maupun terdiskriminasi. Demokrasi sangat penting bagi penguatan nasions
Hal tersebut diatas akan memupuk rasa kebangsaan
Namun, jika kita evaluasi diri bertepatan dengan seratus tahun kebangkitan nasional, kenapa nasions yang dibentuk dan dibangun secara luhur sementara politik yang kita jalankan penuh lika-liku atau terseok-seok dan kondisi nasions kita seperti yang telah dijelaskan pada paragraph-paragraf di atas? Ada dua hal yang bisa diuraikan disini, yaitu pertama, terkait dengan sejarah masa lalu Orde Lama dan Orde Baru, dan kedua terkait dengan hilangnya kendali dan arah reformasi politik yang dilakukan pada 1998 sampai sekarang.
Pertama, hal tersebut tak lepas dari sejarah Orde Lama dimana pada masa Soekarno pernah membubarkan parlemen dan pemerintahan hasil pemilu, yang kemudian mengarah pada demokrasi terpimpin, yang berarti kekuasaan berada pada tangan Panglima Besar Revolusi. Akhirnya, hal yang dilakukan Soekarno tersebut menjadi preseden bagi Orde Baru antara lain Demokrasi Pancasila yang semu, ini ditandai dengan meskipun ada mekanisme pemilu tetapi tetap golkar merupakan mesin politik negara dan kelompok tertentu untuk mempertahankan status quo selama 32 tahun; terciptanya dwi-fungsi ABRI, yaitu selain bertugas sebagai seorang professional namun juga punya peran politik dalam parlemen sebagai sebuah fraksi. Ini yang kemudian membuat rezim Orde Baru diwarnai oleh represifisme terhadap rakyat dan tumbuhnya para kroni[15] yang menikmati KKN. Inilah yang membuat
Kedua, pada masa reformasi, kondisi yang dialami
Oleh karena itu, menurut Pabotinggi, harus ada kristalisasi dan rekonsiliasi politik dalam sistem politik
Tentunya, kristalisasi politik tersebut haruslah didukung dengan rekonsiliasi politik yang akan menghasilkan satu padanan sikap dan tindakan yang terintegrasi dan progresif baik di level pemerintah maupun publik dalam merespon atau proaktif terhadap permasalahan baik lokal, domestic, maupun internasional. Disinilah letak kepaduan sebagai sebuah nasions yang memiliki integritas dan kedaulatan penuh untuk menentukan nasib sendiri di atas kemandirian bangsa. Diharapkan rekonsiliasi ini akan membawa arah kebangkitan nasional menuju
Untuk menjamin dua hal yang tersebut diatas, maka diperlukan setidaknya beberapa langkah konkret yang harus diambil agar Indonesia benar-benar bangkit dari ketertinggalan, kemiskinan, kebodohan, ketergantungan yang tinggi terhadap negara adidaya, dan menjadi bangsa yang mandiri diatas potensi bangsa sendiri. Langkah tersebut adalah perumusan kembali masa periode pemerintahan sehingga pemerintahan yang terbentuk benar-benar pemerintahan yang berkomitmen tinggi dan mempunyai akuntabilitas politik terhadap amanah yang sedang diembannya; menjamin batas-batas wilayah daerah kota atau kabupaten tanpa ada pemekaran wilayah di era otonomi; perlu dikembangkannya sikap yang tidak mengedepankan “jor-joran” material diantara para elit atau pejabat publik sehingga tercipta sikap dan sifat amanah, jujur, dan saling percaya; dan terakhir adalah perlunya penyadaran dan pendidikan kewargaan (civic education) setiap warga negara, termasuk di dalamnya adalah pemimpin atau pejabat publik kita sehingga mereka memiliki wawasan mengenai keindonesiaan yang pada akhirnya akan menciptakan bangsa yang tahu betul tentang kebangsaannya. Melalui beberapa langkah tersebut diharapkan
Demikianlah laporan singkat kuliah umum Cokroaminoto ini dibuat berdasarkan pengantar kulaih dari Prof. Dr. H. M. Amien Rais dan Dr. Mochtar Pabottinggi di Aula Rektorat, Universitas Airlangga bertepatan dengan seratus hari kebangkitan nasional
[1] Kuliahnya yang berjudul “Mengancang Kebangkitan di Era Reformasi, Darimana Harus Dimulai?”
[2] Kuliahnya yang berjudul “Menegakkan Kebangsaan di Era Demokrasi (Kontradiksi atau Sinergi).”
[3] Pergeseran ini terjadi karena perubahan era dimana sekarang lebih pada era globalisasi dan free trade dari pada era kolonialisasi dan imperialisasi (semangat kemerdekaan untuk mengusir penjajah). Namun, Pak Amien mengatakan bahwa wajah globalisasi dan free trade tersebut sangat identik dengan bentuk-bentuk kolonialisasi dan imperialisasi
[4] Yang tadinya adalah berparadigma to gain independence and kick the colonialist to the hell dan how to develop our nation and fill the independence.
[5] Yang mengusung semangat Sosialisme Islam sebagai landasan pergerakannya.
[6] Hal ini seperti yang diingatkan oleh Soekarno mengenai neo-neo dari kolonialisme dan imperialisme pasca kemerdekaan
[7] Lihat juga penjelasan David Korten (1996) dalam bukunya “When Corporations Rule the World.”
[8] Mengenai hal ini dapat dibandingkan dengan buku “Confessions of an Economic Hit Man” karya John Perkins (2004).
[9] Dalam ungkapan Pak Amien, “just swallow the globalization without any selections.”
[10] Bahkan Perez berkeinginan untuk turut melibatkan IMF dan Bank Dunia dalam pembangunan ekonomi
[11] Perlu diingat semua tindak pidana korupsi bertentangan dengan hukum sehingga tidak dapat dibenarkan, walaupun level korupsi tersebut menengah/kecil, misalnya pembuangan limbah pabrik oleh perusahaan di daerah yang dilindungi kemudian berkorupsi dengan bupati setempat (ini tergolong middle-check-corruptions). Contoh lain, pungutan liar ketika membuat KTP di kelurahan atau kecamatan dengan alasan uang administrasi (ini tergolong low-check-corruptions). Nah semua bentuk korupsi tersebut melanggar hukum.
[12] Peraturan ini mengenai Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
[13] Hal ini tercermin pada kasus penyambutan SBY terhadap George Bush ketika berkunjung ke
[14] Hal ini seperti yang tercermin dalam sejarah runtuhnya USSR, dimana pembangunan entitas sebagai political-collectivity telah didahului dengan adanya nasions-nasions sebelum USSR terbentuk yang berakibat pada ketidaksolidan rasa kebangsaan USSR dan ini ditunjukkan dengan hancurnya USSR pada 1980-an.
[15] Dimana mereka sering mengambil keuntungan dari setiap tender atau proyek pembangunan. Yang terjadi kemuadian adalah mereka menjadi antek asing di dalam negerinya sendiri.
terimakasih infonya, kunjungi http://bit.ly/2D3RiNo