.
.
.
.
.

SAAT MENGALAMI KRISIS PANGAN (Ancaman Terhadap Food Security Dunia)

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Food security merupakan salah satu isu global yang memerlukan tindakan bersama untuk tetap menjaga ketahanan pangan dunia dan mengatasi krisis pangan demi keberlangsungan hidup manusia di bumi, sehingga hal-hal yang tidak diinginkan akibat krisis pangan tersebut dapat dihindarkan. Sebuah problem dapat menjadi isu global apabila perhatian dunia internasional (determinan internasionalisasi) dan dimensi human security dalam problem tersebut sangat kental (Wardhani 2006 dalam Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Vol 2 No 4, 2006). Keterlibatan dan perhatian dunia internasional merupakan indikasi bahwa problem tersebut dapat memicu instabilitas dan perdamaian dunia sehingga diperlukan sebuah aksi bersama untuk menyelesaikan problem tersebut. Tentunya, keterlibatan dan perhatian dunia internasional tersebut didasari atas terancamnya dimensi human security yang kini telah menjadi basis dan paradigma keamanan baik negara maupun dunia. Menurut UNDP (1994) cakupan human security meliputi tujuh bidang dimana food security merupakan salah satunya. Hal ini membuktikan bahwa food security merupakan isu global dimana masalah yang ada di suatu negara dapat membawa dampak bagi keamanan dunia, sehingga tak heran jika dunia internasional sangat concern terhadap isu ini.

Ada beberapa fakta yang mendasari isu food security harus menjadi perhatian global (FAO dalam Global Education 2007), yaitu a) lebih dari setengah populasi dunia hidup dalam low-income dan negara yang mengalami defisit pangan tidak dapat memenuhi pangan bagi warga negaranya, terutama negara miskin; b) lebih dari sepertiga populasi anak-anak di dunia mengalami malnutrisi dan enam juta anak di bawah umur setahun meninggal akibat malnutrisi tersebut; c) sebagian besar orang-orang yang mengalami kelaparan hidup di dunia ketiga, dan 34 juta hidup di negara maju; d) degradasi tanah, kekurangan air, kebijakan agrikultur, dan pertumbuhan penduduk yang tidak tepat telah mengancam produksi pangan di banyak negara; e) pertumbuhan ekspor hasil panen seperti kopi, cokelat, dan gula telah menjadi pendapatan ekspor bagi banyak negara, sehingga dapat mengakibatkan penurunan produksi pangan dasar, akibatnya adalah penderitaan bagi orang miskin yang belum dapat memenuhi kebutuhan pangan dasar mereka; f) antara 1960 dan 1990, produksi cereal dunia mengalami peningkatan dua kali lipat, sementara produksi pangan meningkat hanya sepertiga saja; dan g) adanya distribusi pangan yang timpang sehingga tidak adanya pangan yang cukup bagi setiap orang untuk dimakan. Berdasarkan hal tersebut, food security sangatlah penting bagi keberlangsungan hidup manusia di bumi untuk selalu memajukan kehidupan dunia ini menjadi lebih baik. Betapa banyak ketimpangan yang terjadi antara negara maju dengan negara berkembang dalam ketahanan pangannya, hal ini telah memunculkan fenomena busung lapar dan kematian karena malnutrisi di negara berkembang. Tak pelak, beragam penyakit bermunculan di negara berkembang yang pada akhirnya kemajuan hidup manusia akan terancam seluruhnya, karena pada hakikatnya penyakit tersebut dapat menyebar dengan cepat di era global seperti sekarang dan belum tentu teknologi kedokteran dapat menemukan obatnya secara cepat pula tanpa adanya research terlebih dulu. Oleh karena itu, food security menjadi isu bersama bagi seluruh aktor negara maupun non-negara karena ini menjadi dasar bagi keberlangsungan hidup manusia di bumi.

Selain itu, food security sangatlah terkait erat dengan basic needs manusia sehingga jika basic needs tersebut tidak terpenuhi maka akan memicu konflik karena hidup manusia akan terancam. Jadi, jika terjadi krisis pangan maka basic needs akan terancam dan manusia akan saling bersaing untuk memenuhi basic needs-nya. Menurut FAO dan Bank Dunia, krisis pangan dunia akan meningkatkan populasi dunia jatuh kejurang kemiskinan, kerusuhan sosial, dan kriminalitas/kejahatan. Hal ini seperti kerusuhan yang terjadi di Haiti, Mesir, dan Filipina, Kamerun, Burkina Faso, Mauritania, Pantai Gading, Ethiopia, dan sebagian besar di 33 negara kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Bank Dunia memprediksikan akan ada 100 juta orang yang jatuh ke lubang kemiskinan terutama di Negara berkembang akibat krisis pangan ini. Sementara menurut IMF, krisis pangan akan memicu perang, mengganggu stabilitas negara, kelaparan semakin meningkat, dan pembangunan selama satu dekade terakhir akan hancur total serta kekacauan ekonomi dunia (Republika, 14-15 April 2008; Surabaya Post, 14 April 2008; Jawa Pos, 16 Maret dan 4, 12-14 April 2008; Kompas, 11 April 2008). Hal ini kemudian membuat isu food security menjadi persoalan di tingkat internasional karena berpotensi menimbulkan instabilitas global dan menggangu keamanan dan perdamaian dunia, seperti halnya Perang Dunia I dan II. Untuk itu, ketiga lembaga internasional (FAO, Bank Dunia, dan IMF) tersebut mengimbau langkah global untuk mengatasi krisis pangan sehingga ketahanan pangan dunia tidak terancam (Jawa Pos, 13 April 2008; Surabaya Post, 14 April 2008; dan Republika, 15 April 2008). Seperti yang diberitakan Harian Sore Surabaya Post, 14 April 2008, mengutip pernyataan Direktur Jendral FAO, Dr. Jacques Diouf, bahwa “permasalahan pangan dunia [food security] adalah masalah yang kompleks dan memerlukan komitmen bersama masyarakat internasional, serta memerlukan pembahasan oleh para petinggi negara di dunia.” Jelaslah bahwa food security merupakan isu global dan memerlukan collective action.

Selama ini collective action yang diusahakan–sesuai dengan preskripsi lembaga internasional–dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu melalui instrumen kebijakan masing-masing negara dan foreign aid baik program bantuan dari lembaga internasional seperti IMF, FAO, dan Bank Dunia, maupun dari negara-negara maju untuk meningkatkan ketahanan pangan (food security) dunia. Tentunya, satu sama lain saling terkait, dimana instrumen kebijakan suatu Negara tak lepas dari preskripsi yang diusulkan lembaga internasional. Instrumen kebijakan suatu negara terkait dengan food security merupakan bagian yang tak terpisahkan dari collective action untuk menjaga ketahanan pangan dunia, karena kebijakan tersebut akan sangat berpengaruh terhadap supply pangan di pasar internasional untuk memenuhi demand yang ada sehingga kebutuhan setiap Negara serta akses masyarakat terhadap kebutuhan pokoknya dapat terpenuhi. Dengan demikian, diharapkan semua Negara telah menerapkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi dalam negeri. Seperti yang diungkapkan Direktur Jenderal FAO, Dr. Jacques Diouf bahwa:

“Aksi yang diambil haruslah koheren dan menyeluruh, terfokus kepada situasi spesifik di masing-masing negara melalui perlindungan rumah tangga yang rentan di kota dan desa serta merangsang peningkatan produksi pangan nasional” (Surabaya Post, 14 April 2008).

Tindakan yang diambil tersebut haruslah ada sinergitas antara pemerintah dengan pihak swasta yang harus dilibatkan. Fokus utama kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri dimana hal tersebut mungkin dilakukan dengan memberikan akses yang mudah kepada para petani untuk meningkatkan produksinya, seperti pupuk, bibit unggul, pengairan, dan lain-lain.

Untuk itu, perlu digalakkan kembali investasi dalam sektor ini. Seperti yang dilakukan oleh Filipina dalam mengatasi krisis pangan akhir-akhir ini, yaitu melibatkan militer dalam mengamankan distribusi pangan bersubsidi kepada rakyatnya, kebijakan ini diambil terkait dengan maraknya penimbunan beras bersubsidi oleh sejumlah pedagang (Jawa Pos, 4 April 2008). Selain itu, Aroyo juga memberikan dana tambahan untuk meningkatkan produksi pangan, menghukum spekulan beras, dan menurunkan tarif impor pangan yang dilakukan swasta (Kompas, 11 April 2008).

Lain halnya dengan Malaysia, Badawi memerintahkan perusahaan negara untuk meningkatkan produksi pangan melalui pemanfaatan lahan yang menganggur untuk ditanami tanaman, seperti sayur, padi, buah dan lain-lain. Sementara, Inggris, dibawah PM Brown, fokus pada program bantuan luar negeri dan mengajak kelompok G-7 terutama Jepang sebagai Ketua G-7 sekarang, untuk mempertimbangkan kembali masalah biofuel. Di lain pihak, Thailand, India, dan Vietnam sebagai negara pengekspor komoditas menerapkan kebijakan pengurangan ekspor beras hingga 52 persen pada Maret 2008, hal ini dengan pertimbangan untuk memenuhi stok dalam negeri bagi rakyatnya–walaupun kebijakan ini sempat dikecam dunia internasional karena turut menyumbang penurunan supply pangan dunia (Jawa Pos 14 April 2008). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan pemerintah untuk menjaga ketahanan pangannya antara lain meningkatkan supply pangan dalam negeri, penurunan tarif impor dan pajak, dan pengurangan bahkan pelarangan ekspor komoditas tertentu, serta rencana bantuan luar negeri untuk negara-negara miskin (http://go.worldbank.org).

Melalui instrument kebijakan ini setiap negara dapat mengembangkan dan menjaga ketahanan pangannya sesuai dengan kondisi dan karakter masyarakatnya sehingga ketahanan pangan bisa terwujud. Selain itu, ini akan berpengaruh terhadap kapasitas negara untuk memberikan pelayanan sosial terhadap rakyatnya yang berpengaruh terhadap kepercayaan rakyat terhadap negara. Di lain pihak, collective action semacam ini, walaupun dapat menyokong ketahanan pangan dunia dari segi supply dan harga, tidaklah efektif karena kebijakan suatu negara berbeda satu sama lain. Mungkin kebijakan tersebut telah memperkuat ketahanan pangan dalam negeri tetapi hal itu ternyata berdampak pada semakin menurunnya supply bahan pangan dunia yang berakibat pada krisis pangan. Jika hal itu terjadi maka negara tersebut pun akan terkena imbasnya. Jadi, permasalahan tersbut akan semakin kompleks.

Sementara itu, di tingkat institusi internasional, Bank Dunia menyerukan agar institusi internasional dan negara-negara maju segera membantu mereka-mereka yang mulai mengalami kelaparan dengan menyisihkan 500 juta dolar AS kepada Program Pangan Dunia PBB (UNWFP). Selain itu, Bank Dunia telah merencankan kebijakan baru terkait dengan ketahanan pangan dunia, yaitu New Deal for Global Food Policy, yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas sektor pertanian di negara-negara miskin agar mereka mampu mengatasi masalah pangan lokal. Caranya adalah dengan memperbaiki akses para petani melalui pelatihan dan pengembangan dengan sedikit bantuan dana simultan (Republika, 15 April 2008). Untuk sementara bantuan sejumlah 800 juta dolar AS akan diberikan pada Afrika.

Sedangkan FAO menyerukan agar setiap negara mengambil langkah untuk menurunkan harga pangan sehingga negara berkembang dapat mengakses dengan mudah kebutuhan pokok bagi rakyatnya. Hal yang lebih penting lagi menurut FAO adalah menciptakan mekanisme finansial (proporsi dana pertanian) untuk menjamin impor pangan negara miskin tetap berlanjut, dan mentransfer benih secara masal untuk menjamin petani di negara miskin dapat membeli bibit, pupuk, dan makanan (Jawa Pos, 13 April 2008).

Selama ini kedua lembaga tersebut telah mempunyai program-program untuk menjaga ketahanan pangan dunia melalui mekanisme pemberian bantuan dana, pemberdayaan petani di negara berkembang, bantuan pangan ke daerah bencana maupun perang, dan lain-lain (http://go.worldbank.org dan www.wfp.org 2008). Hal ini telah berkontribusi bagi terjaminnya kebutuhan pangan dunia terutama di negara-negara berkembang sehingga tingkat kelaparan dan kematian akibat malnutrisi dan busung lapar dapat ditekan. Selain itu, mekanisme tersebut telah memperkuat ketahanan pangan lokal melalui pemberdayaan petani sehingga mereka dapat meningkatkan produksinya. Hal lain adalah terciptanya food safety dan food quality yang berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup manusia (Republika, 14 April 2008). Disisi lain, program bantuan tersebut terkadang menyebabkan kontraproduktif dengan kebijakan negara mengenai ketahanan pangan sehingga tak heran jika dalam level implementasi kebijakan tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan petani. Hal ini kemudian yang menyebabkan kerugian di pihak petani. Belum lagi dalam program bantuan tersebut terdapat kepentingan negara donor sehingga mereka dapat campur tangan dalam menentukan arah kebijakan pangan negara resipien. Sehingga tak jarang bantuan yang bersifat ekonomik-sosial punya implikasi politik bagi negara resipien. Hal ini dibuktikan dengan adanya ancaman krisis pangan dunia, dimana populasi dunia sekarang makin resah dan susah mendapatkan akses terhadap bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Selain itu, menurut Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick bahwa selama ini lembaga keuangan internasional lebih sering melakukan pertemuan daripada aksi konkret (Republika, 15 April 2008). Bantuan juga terkadang tidak sesuai dengan karakter dan kebutuhan masyarakat setempat akan pangan, misal makanan sehari-hari mereka gandum, bantuan yang datang memberinya beras. Jadi, collective action yang dilakukan baik oleh actor negara maupun non-negara serta level kebijakan negara maupun internasional tak lepas dari kekurangan dan kelebihan yang ada.


0 comments:

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.