.
.
.
.
.

Tantangan Organisasi Persatuan Afrika/Uni Afrika dalam Mencapai Integrasi Regional (Dimensi Konflik Internal Kawasan)

Posted by Edy Jayakarya


By: M. Edy Sentosa Jk.


print this page Print this article


Perkembangan progresif dari regionalisme Afrika telah memberikan sebuah harapan baru bagi pembangunan kawasan di era informational economy yang sangat kompetitif dan inovatif ini. Kemajuan yang telah dicapai di beberapa kawasan lain telah memicu dinamika tersendiri di kawasan Afrika untuk mau tidak mau menguatkan pondasi kerjasama regionalnya dalam menghadapi dan menyiasati tantangan global. Atas dasar itulah Organisasi Persatuan Afrika kemudian “berevolusi” menjadi Uni Afrika pada 2002 lalu (Burgess dalam Encarta Encyclopedia 2008; African Union Commission 2004). Hal itu tak lepas dari bagaimana negara-negara Afrika belajar dari pengalaman sejarah masa lalunya yang fluktuatif dan diwarnai oleh regresifitas dalam setiap upaya pembangunan nasional dan kawasan yang dicita-citakan. Kolonialisme dan imperialisme Barat (baca: Eropa) merupakan bagian dari sejarah Afrika yang telah memberikan side effect bagi kejayaan masa lampau yang pernah dinikmatinya (Afrika Kapita Selekta dalam diahkei.staff.ugm.ac.id). Lebih parah lagi ketika dekolonialisasi Afrika semakin memberikan dinamika konflik internal – domestik maupun nasional antar negara Afrika – yang berlarut-larut yang berujung pada eskalasi masif tanpa akhir. Pada akhirnya, kerjasama regional dalam kerangka Uni Afrika tak lepas dari dinamika konflik tersebut sehingga masih mengalami sejumlah tantangan internal dalam membangun dan memajukan kawasan. Oleh karena itu, tulisan ini akan memfokuskan pada tantangan Organisasi Persatuan Afrika/Uni Afrika dalam mencapai integrasi regional yang dikaitkan dengan dimensi dan dinamika konflik internal kawasan.

Regionalisme di Afrika merupakan bagian dari strategi bangsa Afrika untuk keluar dari ketertinggalan pembangunan ekonomi, politik, dan sosial mereka yang selama ini termarginalkan dari kemajuan global (Mulaudzi 2006: 8). Berbagai harapan muncul untuk menjadi sebuah benua yang maju dan makmur yang dapat beriringan dan berakselerasi dengan sejumlah kemajuan yang telah dicapai di berbagai kawasan lain, terlebih Eropa dengan model Uni Eropa-nya yang merupakan kawasan terdekat baik dari segi geografis maupun historis masa penjajahan kala itu. Tak dapat dipungkiri bahwa regionalisme di Afrika terkait juga dengan bagaimana bangsa Afrika berusaha lepas dari eksploitasi kolonialis dan imperialis Eropa yang pada akhirnya memunculkan perasaan senasib sebagai bangsa yang terjajah dan termarginalkan (Perkins 2007: 331-342). Hal itu telah menimbulkan kesadaran diantara negara-negara Afrika untuk bersatu menciptakan sebuah kawasan yang maju, damai, bersatu, dan penuh dengan kerjasama.

Oleh karena itu, pada 25 Mei 1963 bertempat di Addis Ababa, Ethiopia terbentuklah Organisasi Persatuan Afrika (OAU) yang digagas oleh Gamal Abdul Naser dari Mesir, Kwame Nkrumah dari Ghana, dan Ahmad Sekouture dari Guinea (Burgess dalam Encarta Encyclopedia 2008; Irib Indonesia, 25 Mei 2007). Sesuai dengan Pasal II dari Piagam OAU, tujuan organisasi ini adalah memajukan persatuan dan solidaritas negara-negara Afrika; mengkoordinasi dan meningkatkan kerjasama dan usaha mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik bagi bangsa-bangsa Afrika; membela kedaulatan, keutuhan wilayah, dan kemerdekaan Afrika; menghapuskan segala bentuk kolonialisme dari Afrika; dan memajukan kerjasama internasional (UICIFD 2008). Secara garis besar dapat dikatakan bahwa OAU bertujuan untuk mempersatukan negara-negara Afrika menjadi satu entitas politik dan berusaha untuk menyelesaikan segala bentuk konflik dan perselisihan yang terjadi antar negara Afrika serta mencapai sebuah kawasan yang independen (Irib Indonesia, 25 Mei 2007; Mideast & N. Africa Encyclopedia dalam Answer.com). Hal ini dapat dilihat dari ambisi ketiga puluh dua negara anggota pada saat itu untuk mengkoordinasikan dan memajukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum di segala bidang, yaitu politik, ekonomi, sosial-budaya, kesehatan, pengetahuan, pertahanan dan keamanan, dalam mencapai tujuan tersebut.

Pada saat OAU didirikan, terdapat berbagai pandangan mengenai bagaimana organisasi ini akan dibentuk dan dijalankan. Setidaknya terdapat dua pandangan mengenai hal ini, yaitu mereka yang menginginkan sebuah badan terpusat yang berada di bawah satu otorita yang mengatur seluruh negara Afrika vs mereka yang menginginkan bentuk kerjasama multilateral yang berada di bawah kontrol semua negara anggota (Wikipedia Encyclopedia). Pandangan pertama ditolak oleh sebagian besar negara Afrika yang baru merdeka. Sementara pandangan kedua lebih mencerminkan keadaan yang sesungguhnya dari kondisi yang sedang dihadapi negara Afrika, yaitu baru merdeka dan situasi perang dingin kala itu, terlebih masih terdapat pengaruh dan hubungan erat antara negara penjajah terhadap Afrika (Burgess dalam Encarta Encyclopedia 2008; Dipoyudo 1983).

Perbedaan pandangan tersebut berimplikasi pada terbentuknya dua blok, yaitu Blok Casablanca, terdiri dari Ghana, Algeria, Guinea, Morroco, Mesir, Mali, dan Libya, vs Blok Monrovian, terdiri dari Senegal, Nigeria, Liberia, Ethiopia, dan negara Franchopone. Pada dasarnya Blok Casablanca menginginkan sebuah bentuk federasi seluruh negara Afrika, sementara Blok Monrovian menginginkan capaian menuju sebuah unit politik dilakukan secara gradual melalui instrumen kerjasama ekonomi antar negara Afrika (Wikipedia Encyclopedia). Perseteruan ini mencapai titik temu manakala Haile Selassie I dari Ethiopia menengahi permasalahan tersebut yang berakhir dengan ditandatanganinya Piagam OAU oleh 32 negara di Addis Ababa, Ethiopia. Formula Monrovian kemudian menjadi pilihan dalam membentuk OAU.

Ide pembentukan OAU sendiri tak lepas dari gagasan Pan-Afrikanisme yang menginginkan sebuah entitas yang besar dalam rangka menyatukan bangsa Afrika agar mereka dapat bersaing dengan kemajuan yang telah dicapai kawasan lainya (African Union Commission 2004). Bersatunya seluruh negara Afrika menjadi landasan utama bagi untuk meredam sejumlah konflik dan perselisihan yang terus-menerus terjadi tiada hentinya serta menciptakan sebuah kawasan stabil yang mendukung strategi dan rencana pembangunan yang lebih maju. Oleh karena itu, melalui kerangka OAU ini negara-negara Afrika berupaya mewujudkan Afrika yang lebih modern dengan kemajuan berarti dalam mencapai integrasi regional. Upaya untuk mencapai integrasi regional tersebut telah diwujudkan melalui berbagai instrumen.

Pada tahun 1964 dibentuk sebuah komisi mediasi, konsiliasi, dan arbritase sebagai mekanisme penyelesaian konflik yang terjadi dalam kawasan. Dan komisi tersebut diperkuat manakala pada 1993 dikeluarkan sebuah deklarasi mengenai pencegahan, management, dan resolusi konflik. Bahkan pada 2000 deklarasi mengenai keamanan dan stabilitas kawasan dicetuskan untuk menciptakan kestabilan dan meningkatkan iklim kerjasama antar negara Afrika (African Union Commission 2004). Namun, upaya yang dilakukan OAU untuk menciptakan kawasan yang stabil yang dapat mendorong integrasi regional belum sepenuhnya tercapai karena sejumlah konflik baik domestik maupun antar negara masih saja terjadi (Dipoyudo 1983: 22-24). Tak heran jika sejumlah wacana atau instrumen untuk mencapai integrasi regional, seperti Lagos Plan of Action pada 1980 yang berambisi untuk menciptakan pasar bersama Afrika pada 2000, dan Perjanjian Abuja pada 1991 yang menghasilkan perjanjian pembentukan Africa Economic Community (Pan-African Perspective 2008), belum bisa direlisasikan secara luas.

Namun, dalam perkembangannya, terjadi sebuah tahapan integrasi yang progresif dalam OAU manakala pada July 2002 saat KTT di Afrika Selatan organisasi antar pemerintah ini berubah menjadi Uni Afrika (African Union) (Irib Indonesia, 25 Mei 2007). Ini menandakan bahwa negara-negara Afrika telah mempunyai suatu visi ke depan dalam membawa ranah integrasi regional mereka menuju unit tertinggi dari regionalisme, yaitu entitas politik. Perubahan ini pula menandakan dinamika baru bagi kemajuan Afrika yang dulunya dikenal sebagai kawasan suram dan paling sulit dimengerti, kini telah memiliki sebuah wadah baru bagi perjuangannya untuk memacu kemajuan demi mengejar ketertinggalannya–walaupun 82% negara-negara di Afrika masih berada dibawah standar pembagunan (Perkins 2007: 331-337).

Pembentukan Uni Afrika sebenarnya telah dicanangkan sejak KKT di Sirte, Libya yang menghasilkan Deklarasi Sirte mengenai pembentukan Parlemen Pan-Afrika dan Uni Afrika itu sendiri (ECA 2002). Perkembangan selanjutnya pada 2000 dilaksanakan Konferensi mengenai keamanan, stabilitas, pembangunan, dan kerjasama di Afrika (CSSDCA) yang bertujuan untuk mempercepat integrasi regional di Afrika (Department of Foreign Affairs, Republic of South Africa 2002). KTT ini menghasilkan Perjanjian Abuja yang mewacanakan pembentukan komunitas ekonomi Afrika (AEC). Selain itu, pada 2000 juga bertempat di Lome, Togo menghasilkan persetujuan mengenai Constitutive Act. Dan pada 2001, bertempat di Lusaka, KTT menghasilkan NEPAD yang bertujuan unutk membangun kemitraan dalam pembangunan kawasan. Dari berbagai kerangka perjanjian tersebut telah menguatkan para pemimpin Afrika untuk mendeklarasikan OUA menjadi Uni Afrika–dari Unity menjadi Union, dari Sekretariat menjadi Komisi (African Union Commission 2004). Pada akhirnya berbagai rangkaian KTT tersebut telah membentuk struktur organisasi dari UA[1].

Penting untuk diamati bahwa perkembangan regionalisme di Afrika kini mencapai sebuah tahapan yang revolusioner dengan dibentuknya Uni Afrika dan ini merupakan proyek ambisius dibalik berbagai permasalahan regional yang terus melanda, terutama konflik yang berlarut-larut atau social protacted conflict[2] (Aluko 2003). Tak heran jika berbagai instrumen untuk mengembangkan integrasi regional seperti NEPAD oleh sebagian negara Afrika dianggap sebagai proyek neoliberal dan itu sama halnya dengan “rekonsiliasi Afrika” (Setiawan 2005). Hal ini pada dasarnya akan sangat kontraproduktif bagi kemajuan tahapan-tahapan integrasi Afrika mengingat dimensi konflik di Afrika masih kental (Dipoyudo 1983).

Konflik Internal Kawasan

Berbagai konflik dan kesengsaraan yang terjadi di Afrika merupakan manifestasi dari masa kolonialisme dan imperialisme Barat yang kemudian memberikan dampak bagi instabilitas kawasan Afrika (Perkins 2007: 331-334, 339-340). Hal ini telah memunculkan sejumlah permasalahan yang harus dihadapi kedepan oleh bangsa Afrika, seperti konflik dan permasalahan etnis, konflik agama, perang saudara, rezim militeristik, sengketa wilayah, klaim perbatasan, dan lain-lain. Namun, menurut Aluko (2003: 96-97), permasalahan etnik Afrika merupakan hal utama dari munculnya berbagai konflik di Afrika. Sementara, Jenny Williams (dalam Pekins 2007: 338-340) menilai bahwa konflik yang terjadi di Afrika malah lebih parah lagi ketika Barat campur tangan dalam setiap permaslahan maupun konflik yang terjadi di Afrika. Hal ini telah menimbulkan konflik laten antar suku, perpecahan dikalangan rakyat Afrika, dan adanya rezim yang korup. Pada akhirnya, hal tersebut membuat dinamika dan stabilitas kawasan Afrika semakin rawan yang malah membahayakan tingkat dan kemajuan kerjasama regional yang dicapai (Dipoyudo 1983: 15).

Menurut Dipoyudo, karakter konflik yang terjadi di Afrika diwarnai oleh sifat radikal-moderat negara-negara Afrika dimana hal itu mencerminkan perebutan pengaruh antara AS vs Soviet beserta sekutunya. Sifat radikal mencerminkan pengaruh Soviet di negara tersebut, seperti Angola, Ethiopia, Mozambik, Libya, dan Rhodesia. Sementara sifat moderat menandai pengaruh AS terhadap negeri tersebut, seperti Namibia, Somalia, dan lain-lain. Hal inilah yang kemudian menyebabkan ketegangan antara negara satu dengan negara lainnya yang kemudian berakhir dengan perang satu sama lain. Tentunya, kondisi ini tak lepas dari masa dekolonialisasi Afrika dimana negara-negara Eropa dengan kekuasaan mereka membagi-bagi dan menetapkan garis demarkasi dan perbatasan antar negara satu dengan negara lainnya yang tidak mempertimbangkan aspek-aspek sosio-kultural tapi lebih pada aspek geografis. Sehingga, tak heran jika terdapat satu etnik terpisah dalam dua wilayah negara, misalnya suku Hutu dan Tutsi di Rwanda dan Burundi yang sering timbul ketegangan akibat sentimen etnis di Rwanda menyebabkan reaksi dari etnis lain di Burundi yang pada akhirnya berujung pada perang antar negara. Bahkan timbul perang saudara jika suku Hutu dan Tutsi tersebut saling konflik dalam satu wilayah kedaulatan. Ini merupakan bagian dari politik pecah belah penjajah yang pada akhirnya menimbulkan konflik internal pasca dekolonialisasi Afrika.

Politik dan rezim apharteid di Afrika Selatan merupakan dimensi lain dari konflik internal kawasan. Rezim ini telah membangkitkan permasalahan rasial antara kulit putih vs kulit hitam dimana terdapat stratifikasi baik secara ekonomi, politik, dan sosial antara kulit putih sebagai warga yang memiliki prevelege vs kulit hitam yang dianggap sebagai kelas budak. Politik apharteid pertama kali dikembangkan oleh Partai Nasional Afrika (ANP) pada 1948, dan ini digunakan sebagai landasan dalam governance kenegaraan oleh Presiden Daniel Malan yang berkuasa pada 1947-1954. Karena politik apharteidnya ini, Afrika baru bisa masuk menjadi anggota OAU pada 1994 setelah poltik apharteidnya dihapus pada 1991 (Tim Penyusun Master 2004: 96-97).

Selain itu, terdapat ketegangan-ketegangan perbatasan, suku, ekonomi, serta politik di wilayah Afrika Timur antara Kenya, Uganda, dan Tanzania; klaim irendentis Somalia atas Djibouti dan sebagian Kenya; persaingan Afar-Issa di Djibouti; perebutan dan klaim perbatasan Libya dengan Mesir, Tunisia dengan Nigeria; klaim-klaim Zaire dan Kongo atas Angola Cabinda maupun gerakan kemerdekaan lokal; status pulau Mayotte dan Comorro; serta sampai pada klaim gerakan kemerdekaan atas kedaulatan di Azores dan kepulauan Canari (Dipoyudo 1983: 19). Hal ini telah menimbulkan ketidakamanan dan instabilitas kawasan yang sering bergejolak sehingga memberikan efek bagi berlangsungnya kerjasama regional yang penuh dengan fluktuasi.

Hampir disebagian besar wilayah Afrika pada tahun 1950-an masih mengalami pergolakan bahkan masih belum merdeka. Konflik yang terjadi di wilayah Tanduk Afrika diwarnai oleh perang pembebasan Eritrea sejak tahun 1962 ketika Ethiopia menganeksasinya dan menjadikan bagian dari propinsinya. Selain itu, terjadi pula konflik antara Ethiopia vs Somalia mengenai perebutan wilayah Ogaden, Djibouti, dan daerah timur laut Kenya. Konflik ini terjadi akibat warisan kolonial Perancis yang membagi-bagi wilayah koloninya sehingga menimbulkan ketidakpuasan antara kedua belah pihak. Konflik tersebut telah membawa negara-negara Afrika lainnya terlibat dalam peperangan. Libya misalnya dengan dukungan Soviet dan Kuba membantu Etiopia dalam konflik di Eritrea dan Ogaden. Sementara Sudan, Mesir, dan Arab Saudi, dan negara-negara Arab lainnya dengan dukungan AS dan sekutunya membantu Somalia ketika berkonflik dengan Ethiopia. Terlihat betapa konflik tersebut telah bereskalasi tidak hanya mengundang negara sekawsan untuk ikut dalam konflik tersebut tapi juga negara diluar kawasan turut andil dalam memperparah keadaan konflik yang terjadi.

Sementara di wilayah Afrika Timur Laut diwarnai oleh konflik antara Mesir dan Sudan mengenai perebutan air Sungai Nil yang memiliki arti strategis bagi kedua negara. Tak heran jika air di wilayah ini menjadi isu penting bagi keberlangsungan warganya untuk beraktifitas sehari-hari, dan jika tak terpenuhi maka konflik merupakan hal yang niscaya bagi kedua negara. Dinamika lain di wilayah ini adalah permusuhan Libya vs Mesir yang dimulai tahub 1973 ketika Presiden Sadat menolak usul Presiden Kadafi untuk menyatukan dua negara. Akibatnya, masing-masing pemimpin ini berusaha melakukan subversi untuk saling menjatuhkan pemerintahannya. Dalam perkembangannya, konflik tersebut tidak sampai menimbulkan perang terbuka tetapi ketegangan antara Mesir-Libya semakin meningkat.

Dinamika yang terjadi di wilayah ini sangatlah berpengaruh terhadap upaya-upaya kerjasama regional yang telah digagas dalam kerangka OAU. Akhirnya, dapat dilihat bahwa kerangka kerjasama regional dalam OAU masih belum bisa memajukan persatuan diantara negara-negara Afrika sehingga upaya untuk mencapai integrasi regional masih jauh dari apa yang dicita-citakan sesuai dengan tujuan OAU yang tercantum dalam pasal II. Seperti yang diungkapkan Dipoyudo (1983: 23) bahwa OAU masih lemah dalam memobilisasi negara-negara Afrika untuk meredam dan menyelesaikan perpecahan-perpecahan yang terjadi, terlebih efisiensi OAU dibatasi oleh faktor objektif yang ada diluar tanggung jawab negara-negara Afrika. Ini menunjukkan bahwa tingkat regional awareness negara-negara Afrika masih dibatasi oleh kepentingan nasional yang lebih utama dari pada kepentingan bersama sebagai sebuah entitas dalam kawasan yang begitu besar. Bahkan yang selama ini terjadi adalah OAU hanya sebatas membicarakan perpecahan dan konflik yang terjadi dari pada menyelesaikannya. Namun, hal itu lebih dikarenakan kurangnya sumber daya yang mendukung bagi penciptaan mekanisme penyelesaian konflik, walaupun organisasi ini memiliki pasukan perdamaian regional di bawah bendera OAU. Konflik telah mewarnai ketidakefektifan OAU untuk fokus pada pembagunan kawasan yang diharapkan dapat mempercepat integrasi regional Afrika.

Ketika OAU berevolusi menjadi Uni Afrika (UA) terdapat optimisme bahwa kerangka kerjasama regional yang baru ini akan memberikan daya ikat yang kuat bagi terciptanya kerjasama antar negara Afrika. Hal ini didasarkan pada bentuk Union merupakan sebuah tahapan tinggi dari proses integrasi regional sebuah kawasan. Terlebih jika meninjau Constitutive Act Uni Afrika, maka dapat disimpulkan bahwa kerangka organisasi ini hampir mirip dengan Uni Eropa, dimana organ organisasi Uni Afrika terdiri Majelis Tinggi; Dewan Eksekutif; Parlemen Pan-Afrika; Mahkamah Afrika; Komisi; Komite Perwakilan Permanen; Komite Teknik Khusus; Dewan Ekonomi, Sosial, dan Budaya; Dewan Perdamaian dan Keamanan; dan Institusi Keuangan (African Union Web Site, www.africa-union.org). Dengan bentuk barunya ini, Uni Afrika ingin menjadi sebuah organisasi regional se-progresif Uni Eropa yang telah mencapai tahapan-tahapan integrasi regional yang lebih maju. Namun, dimensi konflik internal kawasan masih tidak dapat dilepaskan dari keefektifan organisasi ini untuk mencapai integrasi regional yang menyatukan dan mengintegrasikan Afrika (united and integrated Africa) pada 2030.

Pada akhirnya masih terdapat sejumlah tantangan bagi Afrika untuk mencapai integrasi tersebut. Hal ini didasarkan pada dinamika konflik kawasan pada era 1950-1960-an ketika OAU terbentuk masih terus berlangsung hingga sekarang dengan wujud yang sama, yaitu konflik etnis, rezim otoritarian dan kudeta militer, perang saudara, dan masalah perbatasan, dimana semua itu merupakan momok bagi pembangunan kawasan Afrika, terlebih masalah etnik. Seperti yang diungkapkan Kofi Annan dalam pertemuan puncak keempat Uni Afrika di Abuja, Nigeria, pada 2005 lalu bahwa Afrika masih tertinggal dari kawasan-kawasan dunia lainnya akibat konsekuensi-konsekuensi tragis dari konflik yang mematikan dan pemerintahan yang buruk (Kompas, 31 Januari 2005).

Konflik baru-baru ini pada tahun 2000-an antara lain konflik di Republik Demokratik Kongo, perang saudara di Pantai Gading serta krisis kemanusiaan di wilayah Darfur, Sudan. Selain itu, masalah pengisian vacum of power di Somalia selama 14 tahun terakhir turut juga meawarnai dinamika konflik di era sekarang yang sebenarnya telah terjadi sejak lama (Kompas, 31 Januari 2005). Konflik di Kenya[3] telah menyita perhatian Uni Afrika untuk turut turun tangan menyelesaikan konflik yang terjadi akibat krisis politik antara pemerintah Mwai Kibaki dengan pihak oposisi pimpinan Raila Odinga (DW-World.DE, 9 Januari 2008; Newsvoa.com, 9 Januari 2008). Konflik ini telah membuat KTT Uni Afrika di Ethiopia tidak fokus pada pembicaraan mengenai industrialisasi yang berguna bagi penguatan kerjasama regional (Warta Berita - Radio Nederland, 31 Januari 2008). Sementara, demi menyelesaikan konflik di Darfur, Uni Afrika mengirimkan pasukan perdamaiannya sebagai wujud untuk menciptakan perdamaian dan keamanan di Afrika (Suara Merdeka, 14 Januari 2005; Kompas, 22 September 2006).

Polemik konflik lainnya terjadi di Zimbabwe dimana konflik terjadi karena krisis politik akibat Robert Mugabe tidak mau mengakui hasil pemilu yang memenangkan pihak oposisi Morgan Tsvangirai (Newsvoa.com, 7 Mei 2008). Hal ini telah memicu sejumlah kekerasan diberbagai daerah Zimbabwe, terlebih kondisi ini semakin memperparah krisis ekonomi yang sedang dilanda Zimbabwe. Sementara di Togo terjadi kudeta militer dimana Faure Eyadema diangkat sebagai Presiden Togo oleh pihak militer untuk menggantikan mendiang ayahnya, Presiden Gnassingbe Eyadema. Alasan mendasar pihak militer adalah untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Togo. Namun, Uni Afrika mengangap hal itu telah menyalahi tujuan dan prinsip-prinsip Uni Afrika seperti yang tercantum dalam Constitutive Act Pasal 3 dan 4 (African Union Web Site, www.africa-union.org). Konflik kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Afrika yang turut berpengaruh terhadap dinamika kawasan dalam mencapai integrasi regional.

Terlihat betapa upaya-upaya yang ditempuh oleh Uni Afrika dalam mencapai integrasi regional sedikit lebih maju dari OAU. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah perubahan yang sangat signifikan dalam Constitutive Act yang menjadi dasar bagi Uni Afrika yang berbeda dengan Piagam OAU yang cenderung eksklusif. Namun, upaya untuk mencapai integrasi regional masih dibayangi oleh sejumlah konflik yang merupakan bagian klasik yang sampai sekarang tetap menjadi momok bagi Afrika. Terlebih instabilitas dan rezim yang korup serta militeristik merupakan ciri utama dari pemerintahan di benua ini. Hal tersebut semakin runyam dengan ditambah persoalan etnik yang masih menjadi domaian dalam setiap konflik-konflik yang terjadi di Afrika. Maka, lengkap sudah sejumlah persoalan yang harus dihadapi Afrika untuk mencapai tahapan integrasi regional yang lebih maju seperti Uni Eropa.

Walaupun tahapan integrasi di Afrika melalui kerangka Uni Afrika telah mencapai Union, tapi itu masih berada jauh dalam konsep Union itu sendiri. Ini tak lepas dari dinamika konflik yang selalu terjadi di Afrika. Hal ini kemudian menjadikan isu atau permasalahan politik selalu utama dari pada isu ekonomi yang merupakan faktor awal untuk mencapai tahapan integrasi regional. Dinamika ini membuat wacana neofungsionalisme belum mengakar kuat di Afrika, hanya pada level partikular saja yaitu secara individu pada level negara. Nampaknya realisme politik masih menjadi domain dalam regionalisme di Afrika, terbukti dengan tidak adanya political will untuk sepenunuya taat asas terhadap Constitutive Act, dan belum terciptanya reformasi birokratis serta penguatan nation dan state building dari negara-negara Afrika yang multietnik dan kurang basis legitimasi dari warga negaranya.

Kondisi-kondisi itu telah melanggengkan lingkaran konflik yang tiada putus-putusnya yang berakibat pada munculnya protacted sosial conflict. Terlebih di kawasan ini seperti yang diungkapkan Soderbaum dalam artikelnya yang berjudul Modes of Regional Governance in Africa: Neoliberalism, Sovereignty Boosting, and Shadow Networks, terdapat tiga model regional governance yang berpengaruh terhadap dinamika integrasi regional di kawasan Afrika, yang nampaknya akan semakin menemukan benturan satu sama lain. Pada akhirnya, regionalimse di Afrika masih menjadi sebuah tantangan untuk diwujudkan ketika konflik masih menjadi momok yang belum bisa terselesaikan lewat mekanisme institusi regional.



[1] Jika diamati maka struktur organisasi UA hampir menyerupai Uni Eropa, satu-satunya organisasi regional yang telah mencapai tahap regionalisme yang mapan, yaitu uni politik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di http://www.africa-union.org/root/au/organs/assembly_en.htm dan http://www.africa-union.org/root/au/AboutAu/Constitutive_Act_en.htm.

[2] Yang pada umumnya diakibatkan oleh politik etnik dan pecah belah penjajah semasa menjajah Afrika. Bahkan hingga sekarang pun Barat masih mengambil keuntungan dari adanya konflik ini demi kepentingan military industrial complex dan penguasaan sumber daya Afrika (Dipoyudo 1983; Perkins 2007).

[3] Setidaknya 500 orang meninggal akibat krisis tersebut.

0 comments:

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.