.
.
.
.
.

DI BALIK BERGABUNGNYA CHINA KE DALAM WTO DI ERA “INTERDEPENDENCE ” DAN IMPLIKASINYA

Posted by Edy Jayakarya

DI BALIK BERGABUNGNYA CHINA KE DALAM WTO

DI ERA “INTERDEPENDENCE[#]” DAN IMPLIKASINYA

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article


Di era globalisasi sekarang, dunia di kejutkan dengan keajaiban ekonomi dan “kebangkitan kembali” China. Mengapa tidak, sebelum China bergabung dengan WTO dan mengintegrasikan ekonominya ke dalam ekonomi global, isu-isu domestik sangat dipengaruhi oleh bagaimana dunia berdampak pada China daripada China berdampak pada dunia. Sekarang, China menjadi isu penting dalam internasional karena dampak keajaibannya tersebut pada dunia. Hal ini tak lepas dari reformasi ekonomi dan politik yang dilakukan China pada era Deng Xiaoping yang masih menegakkan ideologi Komunisnya. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas mengenai di balik bergabungnya China (kepentingan dan keuntungan yang diperoleh China) ke dalam WTO dan implikasinya terhadap dunia-luar di era globalisasi. Ini sangat menarik dibahas karena ditengah formasi sosialnya yang Sosialistik/Komunis, China dapat mengalahkan hambatan ideologis di tengah mainstream Globalisasi–sebagian kalangan menyebutnya–yang berwajah neoliberal. Tapi, yang jelas perubahan di China yang khas dan unik, dan semua faktor yang melatarbelakangi perubahan itu belum pernah ditunjukkan dalam buku teks ekonomi-politik baik liberal maupun sosialis.

Biarkan China terlelap. Sebab, jika China terbangun, dia akan mengguncang dunia.

-Napoleon Bonaparte-

Globalisasi adalah Liberalisasi dan Integrasi Pasar adalah sesuatu yang tak terelakkan.

-demikian Kalim Globalisme/Neoliberal-



Dengan diselesaikannya perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay dan disepakati secara resmi oleh para menteri pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko, dimulailah babak baru dalam hubungan perdagangan internasional dengan harapan agar perdagangan dunia yang bebas, adil, dan terbuka dapat tercapai.[1]

Salah satu keberhasilan perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay adalah dalam upaya memperkuat kelembagaan/institusi perdagangan multilateral dengan membentuk "World Trade Organization (WTO)". World Trade Organization (WTO) merupakan lembaga yang dihasilkan dari perundingan Putaran Uruguay untuk melaksanakan persetujuan-persetujuan multilateral yang dirundingkan oleh negara-negara anggotanya.[2] Lembaga ini dibentuk karena lemahnya dasar hukum General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) selama ini karena adanya dua masalah yang menjadi agenda dalam Putaran Uruguay namun selama ini belum pernah ditangani oleh GATT.

Dalam perkembangannya, jumlah negara-anggota WTO kini mencapai 148 negara[3]–salah satunya China yang bergabung menjadi anggota WTO sejak tahun 1999[4] dan baru menjadi anggota resmi pada 11 Desember 2001[5]–dan 31 negara peninjau.[6]

Bergabungnya China ke dalam WTO tak terlepas dari kemajuan ekonomi China sendiri yang sangat signifikan. Bank Dunia menilai bahwa kemajuan ekonomi China tersebut karena China bergabung menjadi negara-anggota WTO, sehingga berbagai keuntungan perdagangan internasional diperoleh oleh China. Namun, pernyataan Bank Dunia tersebut tak sepenuhnya benar. Memang, berbagai keuntungan perdagangan diperoleh China tetapi hal tersebut tak terlepas dari semakin kuatnya ekonomi domestik China sehingga ekonomi dalam negerinya benar-benar kondusif dan memiliki multi-player-effect bagi penduduk Negeri Bambu tersebut. Dengan semakin maju, kuat, dan kondusifnya ekonomi domestik (dalam negeri) China, maka China kemudian berani mengintegrasikan ekonominya ke dalam WTO.

Selain itu, hal yang lain adalah peristiwa krisis finansial Asia 1997. Krisis ini memberikan pelajaran bagi China bahwa dunia ini semakin terinterdependen (baca: globalisasi) dimana suatu peristiwa ekonomi di suatu negara akan berdampak terhadap negara lainnya, bahkan berskala global. Oleh karena itu, pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi serta aspek keamanan China bergantung pada interaksinya dengan negara lain. Sehingga, demi kepentingannya, China harus berpartisipasi dan turut-serta secara aktif dalam lembaga-lembaga dan masalah internasional,[7] salah satunya dari aspek perdagangan adalah bergabung dengan WTO. Dari sini, secara tidak langsung, China telah menerima trademark ekonomi-politik neoliberal sebagai keniscayaan global di era interdependen tersebut.

Terkait dengan kemajuan ekonomi China, jika ditengok kebelakang secara detail, selama semester pertama 2003, volume perdagangan China mencapai US$ 4,4 miliar atau naik 24,4% dibanding periode yang sama pada 2002. Negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa ini memiliki GDP 2% pada semester pertama 2003.[8] Dengan pertumbuhan dan kemajuan ekonomi China dalam dua dekad yang lalu, RAND Corporation memperkirakan ekonomi China akan mengalahkan Amerika Serikat yaitu sebesar US$ 11.3 trilliun dibandingkan ekonomi Amerika Serikat sebesar US$ 10.7 trilliun pada 2010.[9] Implikasinya adalah semakin meningkatnya anggaran militer China sebesar enam kali lipat dari anggaran tahun 1991-2004 yang dapat digunakan untuk melindungi kepentingan ekonominya, dan pada tahun 2006 lalu China memiliki surplus simpanan bank hampir US$ 180 miliar dengan cadangan devisa mencapai US$ 1 triliun lebih.[10]

Pada tahun 1997, Bank Dunia menilai China sebagai negara yang akan berprestasi di dalam ekonomi 2020 mendatang. Serangkaian bukti pun dikemukakan, dalam catatan yang sarat dengan angka statistik tersebut, Bank Dunia menyimpulkan perkembangan negeri China lebih bagus dibandingkan negara-negara kapitalis lainnya. China telah menyumbangkan dua pertiga keseluruhan[11] perekonomiannya terhadap surplus atau total ekonomi dunia jika dibandingkan dengan negara-negara ekonomi maju lainnya yaitu sekitar seperempat dari perokonomian mereka. Untuk melipatgandakan pendapatan perkapita, misalnya, China hanya membutuhkan waktu 9 tahun (1978-1987), sementara Inggris membutuhkan 100 tahun (1780-1838), Amerika Serikat 47 tahun (1839-1886), Jepang 34 tahun (1885-1919), dan Korea Selatan 11 tahun (1966-1977).[12]

Bagi China, keterlambatan dalam pembangunan bukanlah sebuah hambatan, malah suatu keuntungan. Bank Dunia menilai, China termasuk sedikit negara yang dapat memanfaatkan pengalaman dan pelajaran dari negara-negara yang mengadakan pembangunan pada periode sebelumnya.[13] China telah berhasil menunjukkan kemampuannya untuk menjadi sebuah kekuatan adidaya baru yang setara dengan Amerika Serikat. Mengenai ciri khas perubahan yang terjadi di China, para analis belum bisa memberikan istilah khusus. Tapi, yang jelas perubahan di China yang khas dan unik, dan semua faktor yang melatarbelakangi perubahan itu belum pernah ditunjukkan dalam buku teks ekonomi-politik baik liberal maupun sosialis.

Memang, kemajuan negeri China, bukan berarti tanpa masalah. Ada banyak persoalan krusial yang menghadang seperti membengkaknya pengangguran, budaya korupsi, kerusakan lingkungan, melebarnya jurang antara kaya dan miskin, konflik sosial, serta ancaman sengketa perdagangan dengan negara lain sebagai konsekuensi ekspor yang teramat cepat.[14] Hal tersebut tak lepas dari efek ekonomi politik yang dikembangkan China yaitu dengan model rezim etatisme kapitalis dalam mengejar ketertinggalannya[15].

Itulah mengapa China sangat sukses dalam ekonomi domestiknya sehingga “berintegrasi” dengan WTO yang mengusung liberalisasi ekonomi di era globalisasi yang free-trade area ini walaupun ideologi/formasi sosial mereka masih komunis. Lain halnya dengan negara-negara berkembang lainnya, seperti Indonesia, yang mengalami disorientasi dalam menghadapi liberalisasi ekonomi dan era globalisasi ini tetapi China justru melangkah mantap tanpa beban ideologis di tengah mainstream globalisasi yang berwajah neoliberal.[16] Mainstream globalisasi merupakan pilihan bagi para pemimpin dan pengambil keputusan di berbagai negara baik negara berkembang maupun negara industri–termasuk China, jika tidak ingin mati atau terpinggirkan dalam kehidupan yang telah mengglobal ini.[17] Dan China sadar akan hal itu.

Dengan semakin maju, kuat, dan kondusifnya ekonominya, China semakin gencar melakukan ekspansi pasar ke luar negeri, seperti Asia, Amerika, Afrika, dan Eropa untuk memperluas hubungan dagangnya dengan negara lain. Tentunya, ekspansi pasar yang dilakukan oleh China semakin mudah dan efisien sejak bergabung dengan WTO karena sejumlah keuntungan perdagangan yang diperoleh China dalam prinsip-prinsip sistem perdagangan multilateral yang dikembangkan WTO, seperti tarif dan pajak perdagangan.

Selain itu, keuntungan lainnya adalah stabilitas dalam hubungan ekonomi eksternal–status keanggotaan WTO memberi China akses ke pasar luar negeri yang lebih stabil dan luas, karena aturan dalam WTO akan mengurangi gangguan dalam perdagangan luar negeri yang disebabkan pergantian kebijakan yang tidak dapat diprediksi sebelumnya.[18] Pertumbuhan jangka panjang–realokasi berbagai sumber daya di antara industri dan perusahaan tidak akan berjalan statis dan dalam jangka panjang terjadi dinamika yang diakibatkan meningkatnya kompetisi, dimana kompetisi ekonomi tersebut akan menimbulkan perusahaan-perusahaan yang semakin inovatif dan efisien. Dan reformasi ekonomi yang lebih mantap dan pesat–akan membuat perusahaan China berkembang dengan cepat untuk bersaing dengan negara lainnya. Akibatnya, perusahaan China lebih efisien dalam mengorganisasikan perusahaan dan layanannya. Hal ini akan sangat mendukung China dalam ekspansi pasarnya ke berbagai negara di dunia dengan daya saing kompetitif. Terlebih strategi perdagangan yang dilakukan China adalah menjual hasil produksinya (out-put) jauh lebih murah di luar negeri daripada di dalam negeri.

Namun, ekspansi pasar yang dilakukan China tersebut mengakibatkan sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Indonesia, kewalahan dan geram terhadap produk-produk China yang masuk ke dalam negaranya. Dengan produk-produk yang secara kualitas bisa bersaing, China praktis mengekspor deflasi karena harga produk-produk China yang sangat murah, bahkan ada yang lebih murah dari biaya produksi produk sejenis di banyak negara lainnya.

Di tahun 2004, para pelaku produksi di Indonesia terpukul akibat produk China yang mulai membanjiri pasar. Puluhan petambak udang yang tergabung dalam Serikat Nelayan dan Tani Tambak untuk Keadilan (Sentak) melancarkan protes di kantor Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag), menolak impor udang antara lain dari China. Selain itu, pelaku usaha yang bergabung dalam Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) meminta pemerintah mengenakan bea masuk bagi udang impor sebesar 40 persen. Areal tambak udang di Indonesia saat ini seluas 478.847 hektar, melibatkan secara langsung 10 juta orang. Hal ini akan mengakibatkan penganguran apabila pemerintah tidak tanggap. [19]

Di Pekalongan, Jawa Tengah, ratusan mesin tekstil tidak beroperasi lagi. Sudah lebih dari 10 pabrik TPT (tekstil dan produk tekstil) berhenti karena kehabisan order dan biaya operasi yang tinggi. Tak heran, kehadiran produk impor asal China membuat banyak pihak di Indonesia kini lebih suka menjadi pedagang. Akibatbya sekarang adalah kian bermunculan pusat-pusat perdagangan yang memperjual-belikan produk dari China.[20]

Sementara di Amerika Serikat, tak jauh bedanya seperti yang terjadi di Indonesia. Namun, bedanya, Pemerintah Amerika Serikat sejauh ini gencar mengungkapkan protesnya ke China berkaitan dengan serbuan produk murah yang “artifisial” ke pasar Amerika Serikat. Murah “artifisial” karena harga yang rendah ini berkaitan dengan kebijakan Pemerintah China. Pemerintah China, melalui Partai Komunis–partai tunggal yang berkuasa–dapat mengintervensi pasar bahkan mengatur segala aktivitas dan transaksi yang terjadi. Melalui kebijakannya, Pemerintah China memberikan suatu mekanisme aturan main bagi seluruh perusahaan yang ada di China termasuk perusahaan asing yang ingin berinvestasi ke China.

Serikat buruh terbesar di Amerika Serikat, American Federation of Labor and Congress of Industrial Organisation (AFL-CIO), telah mengajukan petisi kepada Presiden George Walker Bush agar mengenakan tarif hingga 77 persen atas semua produk impor asal China.[21] Kebijakan tenaga kerja China telah menyingkirkan ratusan ribu pekerja manufaktur di Amerika Serikat. Hal ini kemudian meningkatkan biaya produksi perusahaan manufaktur Amerika Serikat sebesar 20 persen. Presiden Bush menolak petisi ini dengan alasan bahwa kondisi ini akan menghentikan seluruh kemajuan menuju pasar bebas (baca: globalisasi) bagi produk Amerika Serikat di China. Meski demikian, Bush tetap mengirim menteri kabinetnya ke China untuk membahas berbagai keprihatinan kalangan buruh dan manufaktur di Amerika Serikat dengan para penguasa China. Hal ini terkait dengan 70 persen lapangan kerja bagi tenaga kerja AS dan tulang punggung perekonomian AS, sebagian besar disumbangkan oleh perusahaan kecil dan menengah. [22]

Membanjirnya produk China ke pasar Amerika Serikat telah meningkatkan angka defisit perdagangan di pihak Amerika Serikat mencapai US$ 124 miliar pada tahun 2003. Pada bulan April 2004, defisit perdagangan Amerika Serikat dengan China membengkak dari 10,44 miliar dollar Amerika Serikat bulan Maret menjadi 11,98 miliar dollar AS.[23] Implikasinya adalah semakin meningkatnya jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dari 1,3 juta jiwa menjadi 35,9 juta. Dan angka penganguran meningkat tajam menjadi 14,5 persen dari sebelumnya 5 persen pada pertengahan 2005.[24]

China dianggap penuh dengan kebijakan ekonomi subsidi dan regulasi. Untuk itu, Amerika Serikat mendesak Beijing agar memenuhi komitmennya pada WTO untuk membuka pasar bagi perdagangan yang fair. Misalnya, berkaitan dengan kebijakan mematok kurs mata uang pada 8,28 yuan per dollar AS, dinilai membuat produk China relatif murah di pasar Amerika Serikat dan internasional. Kalangan Kongres AS sejak lama mendesak Gedung Putih agar mendesak China menerapkan kebijakan mata uang yang lebih fleksibel (floating-exchange rate) dan agar Beijing memenuhi semua komitmennya sebagai anggota WTO. Sekalipun berjanji akan menjalankan semua ketentuan WTO, tetapi dalam praktiknya China tetap saja tidak berubah. Semisal dalam penerapan perlindungan hak cipta dan milik serta kebijakan perlindungan hak-hak para pekerja, dan pembentukan serikat buruh independen, maupun organisasi-organisasi LSM, masih belum mendapat perhatian serius pemerintah China. Tentunya, China tidak akan memperbolehkan pembentukan serikat buruh independen karena mereka mungkin akan menentang (“mendemo”) otoritas Partai Komunis. Juga, tidak mungkin China membiarkan terjadinya fluktuasi fleksibel mata uangnya karena hal itu akan berakibat pada penurunan margin laba perusahaan-perusahaan China apabila terjadi apreasisi sekecil mungkin terhadap mata uang yuan.

Tekanan yang dilakukan AS tersebut telah membuat ironi tersendiri dalam perkembangan perdagangan bebas. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bo Xilai, Menteri Perdagangan China, dalam wawancaranya dengan BBC di Beijing:

Menurut saya, doktrin perdagangan bebas adalah sebuah doktrin yang luar biasa. Doktrin perdagangan bebas telah mendorong ekonomi Eropa dan AS menuju perkembangan yang sangat pesat selama 200 tahun. Doktrin ini juga merupakan doktrin yang telah disebarluaskan oleh Eropa dan Amerika. Mereka telah melambaikan bendera perdagangan bebas dan keliling dunia melakukan perdagangan serta menghasilkan uang, dan menjadi negara-negara maju. Tetapi sekarang setelah sebuah negara berkembang yang sangat miskin–dengan GNB per kapita hanya sepertiga-belas GNB per kapita mereka–berhasil memiliki beberapa perusahaan tekstil yang akhirnya dapat bersaing dengan perusahaan sejenis di Eropa, mereka ingin menutup pintu dan melakukan proteksionisme. Ini benar-benar sebuah standar ganda. Ketika mempunyai keunggulan komparatif, mereka mendorong seluruh dunia untuk membuka pintu. Tetapi, ketika melihat satu negara berkembang menjadi lebih kompetitif, mereka mengatakan, “Oke, cukup. Mari kita menutup pintu sekarang”.[25]

Dari kenyataan di atas, dapat diketahui bahwa keanggotaan China dalam WTO selain karena tumbuh dan majunya ekonomi China serta adanya keinginan China untuk memperkuat pengaruhnya di forum-forum internasional dalam era interdependen/globalisasi, terutama terkait dengan masalah perdagangan dan ekonomi, tetapi juga karena adanya “desakan diplomatik” dan kepentingan Amerika Serikat untuk mengontrol pasar dan produk-produk China yang kompetitif di pasar internasional tersebut. Sehingga ekonomi Amerika Serikat tetap stabil dan mendominasi pasar internasioal. Karena, seperti yang kita ketahui bahwa pada awalnya Amerika Serikat menolak keanggotaan China dalam WTO tetapi akhirnya Amerika Serikat merasa kewalahan dan terancam ketika produk-produk China membanjiri pasar dalam negeri Amerika Serikat dan internasional. Namun, kegamangan tersebut tidak hanya dimiliki Amerika Serikat saja tetapi juga Eropa.

Implikasinya terhadap Eropa dapat dilihat dari ungkapan mantan Presiden Perancis, Jacques Chirac, “Kita menghadapi masalah serius di Eropa. Peningkatan jumlah ekspor tekstil China ke negara kita mengancam pekerjaan ribuan buruh. Kita tidak dapat menerima pukulan mematikan pada lapangan kerja sekian banyak pekerja di negara kita”. Kota Aschersleben, Jerman Timur, melalui Shenyang Machine Tool telah memindahkan banyak pekerjaan di Schiess ke China pada awal 2005 lalu. Di Swiss, perusahaan ABB telah merencakan untuk mempekerjakan 5.000 pekerja baru pada 2008 di China yang merupakan tambahan dari 7.000 pekerja yang sudah bekerja di China. Sementara itu, IBM mengumumkan akan merumahkan 13.000 pekerjanya di Eropa.[26]

Karena orang-orang takut kehilangan pekerjaan mereka, refleks konservatif akan memicu timbulnya sikap protektif–karena dengan perdagangan yang menyumbang lebih dari dua pertiga keseluruhan perekonomiannya, China jelas akan sangat rentan terhadap proteksionisme perdagangan dan ekonomi yang dilakukan Barat, dan jika ini terjadi, maka era globalisasi akan menunjukkan sejumlah kekacauan di berbagai kawasan/regional, seperti era merkantilisme masa lalu–dan kecemburuan yang sangat tinggi, suatu sikap yang sangat berseberangan dengan mainstream globalisasi dan prinsip WTO yang memang membutuhkan keterbukaan ekonomi dalam perdagangan bebas. Jika hal ini terjadi, maka dibutuhkan segenap kekuatan dan kegigihan para pemimpin politik untuk mencegah masyarakat terjatuh ke dalam sovinisme. Sehingga, secara keseluruhan, tren-tren yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa, bahkan dunia, dapat menimbulkan krisis politik. Meskipun pihak perusahaan multinasional diuntungkan dari perdagangan dan investasi dengan China–terlebih setelah ekonominya kuat dan masuk ke lembaga WTO. Namun, pada akhirnya ini akan menentukan pilihan-pilihan publik, terutama kaum menengah dan bawah, dalam pemilihan para pemimpin politik untuk menentukan masa depan demokrasi Barat yang memihak pada mereka, daripada preferensi terhadap perusahaan multinasional.

Dan inilah era Interdependence (baca: Globalisasi) yang berhasil dimanfaatkan China dalam mengambil sejumlah peluang dan kesempatan demi mewujudkan Grand-Strategy Nasionalnya dan menjadi pemain utama yang berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi dunia demi kepentingan power dan ekonominya–dan ini “dipermudah” dengan label keanggotaannya di WTO. Dengan demikian, lima klaim utama globalisme[27]–Globalisasi adalah liberalisasi dan integrasi pasar, Globalisasi adalah sesuatu yang tak terelakkan dan tak berbalik, Tak seorang pun memegang kendali atas globalisasi, Globalisasi menguntungkan semua orang, Globalisasi meningkatkan penyebaran demokrasi di seluruh dunia–telah membuat China sadar akan posisinya dalam perekonomian global dan berusaha mempertahankan dan memperkuat landasan kebesarannya yang bertumpu pada sejarah, ideologi, dan karakteristik budayanya yang tinggi seperti pada zaman keemasan China klasik “the Middle Kingdom”.[28] Dan juga, membuat China belajar bahwa sekarang adalah abad “interdepence” ekonomi yang mungkin akan dan/atau telah sukses dicapainya. Dalam artian, sejauh mana dunia “mengizinkan” China berkembang, dan mengguncang dunia melalui mekanisme dan prinsip-prinsip perdagangan bebas WTO demi kepentingannya. Hal ini juga yang membuat kebijakan ekonomi-politik China lebih ekspansif dan progresif.



[1] Direktorat Hubungan Perdagangan Multilateral dan Regional Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, World Trade Organization sebagai Lembaga Pelaksana dalam Mewujudkan Liberalisasi Perdagangan Dunia, hlm. 1.

[2] Ibid., hlm. 1.

[3] Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral & Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan & Departemen Luar Negeri, Sekilas WTO (World Trade Organization), Jakarta, edisi ketiga, hlm. 144.

[4] Kompas AS Saja Sewot, RI Hanya Pasrah, 08 Juli, 2004.

[5] Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral & Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan & Departemen Luar Negeri, loc. cit., hlm. 144.

[6] Ibid., hlm. 144.

[7] Yunling & Shiping, loc. cit., hlm. 49.

[8] Lihat I Wibowo, Belajar dari China (Bagaimana China Merebut Peluang dalam Era Globalisasi), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004.; dan Yu Chen & Edward K. Y. Chen, Geoeconomic Implication of China’s Emergence for East Asia – With Special Reference to Hong Kong, Centre for Asian Pasific Studies (CAPS), Lingnan University, Hong Kong, 2004, dalam AT10 Research Conference, Tokyo, 3-4 February 2004.

[9] Mokhzani Zubir, ‘Kebangkitan China dan Niat Amerika di Selat Melaka’, Majalah Samudera, Bil. 02, 2004, hlm. 2.

[10] James Kynge, Rahasia Sukses Ekonomi Cina: Kebangkitan Cina Menggeser Amerika Serikat Sebagai Super Power Ekonomi Dunia, PT Mizan Pustaka, Bandung, 2007, hlm. kover belakang, (edisi bahasa Indonesia, diterjemahkan dari ‘China Shakes the World: The Rise of a Hungry Nation’, Weidenfeld & Nicolson, London, 2006).

[11] Kynge, op. cit., hlm. 266.

[12] Wibowo. op. cit., hlm. 98.

[13] Ibid., hlm. 162.

[14] Lihat misalnya, Kynge, op. cit., hlm. 175-188.; dan Kompas Perkembangan Ekonomi China Melawan Alam, 5 Juli, 2007.

[15] Fadjar Pratikto, ‘Arah Reformasi Politik Cina’, Koran Tempo, 30 Oktober 2007.

[16] Mengenai pendapat bahwa globalisasi berwajah neoliberal lihat misalnya, Manfred B Steger, Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar, Lafadl Pustaka, Jogjakarta, 2005, hlm. 7-22 dan 73-130, (edisi bahasa Indonesia, diterjemahkan dari ‘Globalism, The New Market Ideology’, Rowman & Littlefield Publishers Inc., USA, 2002).; Landry Haryo Subianto, ‘Mengupas Esensi Globalisasi sebagai Sistem Internasional Pasca Perang Dingin: Pandangan Seorang Jurnalis’, Analisis CSIS, Tahun XXVIII/1999, No. 9, hlm. 427-430.; dan I Wibowo & Francis Wahono (editor), Neoliberalisme. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003, hlm. 1-10 & 85-100.; serta M. Ramdhan Adi, Globalisasi: Skenario Mutakhir Kapitalisme, Azhar Press, Bogor, 2005, hlm. 40-68.

[17] Bustanul Arifin & Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik, PT Grasindo, Jakarta, 2001, hlm. 50.

[18] Leonard K Cheng, China’s Economic Benefits from Its WTO Membership, Department of Economics Hong Kong University of Science and Technology, Center for Economic Development, HKUST, 1999.

[19] Kompas AS Saja Sewot, RI Hanya Pasrah, loc. cit., 08 Juli, 2004.

[20] Ibid.

[21] Ibid.

[22] Kynge, op. cit., hlm. 137.

[23] Kompas AS Saja Sewot, RI Hanya Pasrah, loc. cit., 08 Juli, 2004.

[24] Kynge, op. cit., hlm. 154-155.

[25] Ibid., hlm. 151-152.

[26] Ibid., hlm. 120-123.

[27] Steger, op. cit., hlm. 80-129.

[28]Perspektif Cina’ hlm. 165-168, (artikel ini didapat dari kuliah Geopolitik dan Geostrategi).



[#] Interdependence merupakan istilah yang dipakai oleh China untuk menyebut istilah Globalisasi–dimana meanstream Globalisasi sekarang cenderung ke arah wacana ekonomi politik neoliberal. Hal ini seperti yang tercantum dalam konseptualisasi Grand Strategy China, yaitu membuat China menjadi Great Power kembali (Dr. Sun Yat sen), menciptakan kestabilan dan keadaan internasional yang damai bagi program “Four Modernizations” China (Deng Xiaoping), pengendalian-diri/selft-restraint (Doktrin Deng “buyao dangtou”), dan terakhir adalah Interdependence. Lebih lanjut lihat misalnya, Zhang Yunling & Thang Shiping, China’s Regional Strategy, hlm. 49, (artikel ini didapat dari kuliah Geopolitik dan Geostrategi pada Semester III/2006); dan Rizal Sukma, Pemikiran Strategis Cina: Dari Mao Zedong Ke Deng Xiaoping, CSIS, Jakarta, 1995, hlm. 57.; dan Didin S. Damanhuri, Islam dan Tantangan Ekonomi Global, (artikel ini didapat saat kuliah Geopolitik dan Geostrategi pada Semester III/2006) seperti yang tertulis dalam artikelnya, “....Sesungguhnya kita bisa belajar dari China yang dengan cerdas menolak istilah globalisasi melainkan menyebutnya dengan interdependensi.”

0 comments:

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.