.
.
.
.
.

Sistem Moneter Internasional vis a vis Bisnis Internasional

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Apabila kita berbicara mengenai masalah moneter maka masalah utama yang kita bahas adalah mengenai uang, yaitu mata uang siapa yang nilainya paling tinggi, kenapa demikian, dan seberapa lama nilainya relatif terhadap mata uang lain dan kekayaan cadangan untuk menjamin nilai mata uang tersebut (yakni emas)? Sehingga dalam dunia internasional dikenal istilah hard currency, yang biasanya dimiliki oleh negara-negara maju dimana kecenderungan mata uang ini adalah apresiasi, dan soft currency, yang biasanya dimiliki oleh negara-negara berkembang/miskin dimana kecenderungan mata uang ini adalah depresiasi. Istilah-istilah itu muncul terkait dengan persaingan bisnis internasional yang mereka lakukan sehingga memunculkan sebuah ketimpangan antara ekonomi maju dan berkembang. Semenjak dimulainya sistem standar emas hingga abad ke 20, sistem moneter internasional telah mengalami pasang surut. Perubahan dari satu sistem ke sistem yang lain diakibatkan oleh gejolak ekonomi dan politik serta perang dunia pada saat itu. Perkembangan tersebut tentunya sangat berpengaruh terhadap “revolusi” bisnis internasional sampai sekarang. Untuk itu, tulisan ini membahas mengenai bagaimana sistem internasional tersebut mengalami perkembangan dari perspektif sejarah yang membentuknya, dan perubahan apa saja yang terjadi, serta implikasinya terhadap bisnis internasional?

Seiring dengan perkembangan perdagangan dan investasi internasional antar negara yang semakin global dan terhubungkan satu sama lain maka mekanisme dalam pengaturan nilai kurs mata uang suatu negara terhadap negara lain sebagai nilai kurs yang diterima sangatlah diperlukan. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa setiap negara di dunia memiliki mata uang sendiri dimana nilai dan daya-gunanya berbeda dengan mata uang negara lain. Tentunya, selain nilai kurs yang beda, setiap negara memiliki kebijakan yang beragam mengenai moneter mereka masing-masing sehingga berdampak pada kontinuitas dan spekulasi bisnis dan investasi suatu negara ke negara tersebut. Oleh karena itu, sistem moneter internasiona–sebuah rezim moneter–menciptakan aturan dan mekanisme terstandardisasi yang dipakai suatu negara untuk menilai dan menukarkan mata uangnya. Ini akan mempermudah dan memfasilitasi pertukaran nilai mata uang baik digunakan sebagai alat pembayaran sah dalam bisnis internasional atau pembayaran hutang luar negeri suatu negara maupun komoditas perdagangan dalam bentuk investasi keuangan seperti di bursa efek. Tentunya hal tersebut sangat bergangtung pada kondusifnya fungsi moneter internasional itu sendiri.

Dari perjalanan sejarah perdagangan dan investasi internasional, sistem moneter internasional telah mengalami berbagai dinamika untuk berusaha mengatur nilai kurs dan menciptakan kestabilan moneter dalam perekonomian internasional sehingga berdampak pada kestabilan ekonomi domestik di setiap negara. Dimulai pada 1820-an sampai menjelang akhir 1940-an, sistem moneter internasional pada rentang tahun tersebut menggunakan STANDAR EMAS dalam nilai kurs mata uang setiap negara dimana Inggris sebagai negara jangkar dengan mata uang poundsterling-nya. Perlu diketahui bahwa Inggrislah negara pertama yang menganut standar emas yaitu sejak tahun 1821–hal ini terkait dengan ajaran David Ricardo (1772-1823) dalam bukunya “The Principle of Political Economy and Taxation” tentang Theory of Currency (Teori Uang) bahwa uang kertas harus dijamin dengan emas apabila tidak dijamin dengan emas harus ditetapkan dengan undang-undang.

Standar emas ini menciptakan sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dimana harga mata uang tertentu tidak berubah dibandingkan dengan mata uang lain. Pada sistem moneter ini, setiap negara mematok nilai mata uangnya terhadap emas. Inggris sebagai negara jangkar berjanji untuk membeli atau menjual satu ons emas dengan 4,247 poundsterling (1ons emas = 4,247 Poundsterling), dengan demikian menetapkan nilai par pound tersebut terhadap emas. Implikasinya adalah apabila negara lain ingin melakukan transaksi perdagangan maka mekanisme pembayaran harus menyesuaikan dengan nilai kurs yang telah ditetapkan oleh Inggris. Selain itu, negara lain yang memiliki emas dapat ditukarkan dengan poundsterling sebagai cadangan devisa mereka dan sebaliknya.

Keadaan ekonomi dan perdagangan yang relatif stabil selama periode tersebut merupakan faktor utama keberhasilan sistem standar emas berbasis poundsterling (sterling-based gold standard). Namun, dengan adanya Perang Dunia I (1919-1923) serta Depresi Dunia (1931-1934) negara-negara Eropa dilanda inflasi dan ketidakstabilan politik. Sistem moneter internasional menjadi kacau. Kekacauan ini menimbulkan ketidakpercayaan dunia terhadap poundsterling dengan standar emas sehingga posisi poundsterling semakin lemah. Akibatnya, Bank of England Inggris tidak mampu menepati janjinya untuk mempertahankan nilai poundsterling dan membiarkan nilai kurs poundsterling ditentukan oleh permintaan-penawaran pasar.

Bermula pada hal diatas, Inggris kemudian tidak lagi menggunakan standar emasnya. Sehingga beberapa negara mematok nilai mata uang dengan mata uang dollar Amerika Serikat dan franc Perancis. Hanya negara persemakmuran Inggris saja yang masih menggunakan pounsterling sebagai patokan nilai kurs mata uang mereka. Kondisi sistem moneter internasional kemudian tambah kacau ketika banyak negara mendevaluasi mata uang mereka untuk meningkatkan ekspor agar harga jual produk mereka di luar negeri lebih murah. Sehingga memunculkan “beggar-thy-neighbor”. Ketidakstabilan sistem internasional tersebut memberikan kontribusi bagi pecahnya Perang Dunia II. Inflasi, pengangguran, ketimpangan kemakmuran, dan biaya sosial kemudian semakin meningkat antar negara.

Untuk itu, kemudian diadakan konferensi Bretton Woods di Amerika Serikat tahun 1944 yang dihadiri oleh 44 negara guna mengatasi ketidakstabilan dan kekacauan sistem moneter internasional serta mempromosikan perdamaian dan kemakmuran di seluruh dunia bagi terciptanya pembangunan ekonomi yang lebih stabil. Konferensi Bretton Woods ini menciptakan sebuah rezim baru bagi sistem moneter internasional (pasca sterling-based gold standard) dimana telah disepakati untuk membentuk sebuah lembaga internasional yang akan membantu membangun kembali perekonomian dunia dan sistem moneter internasional, yaitu IBRD–sekarang dikenal dengan World Bank–dan IMF. Kedua lembaga ini nanti yang akanmembentuk kerangka institusional bagi sistem moneter internasional pasca perang dunia II.

Pada hakikatnya, Konferensi Bretton Woods ini masih sepakat menggunakan standar emas sebagai patokan nilai kurs tetapi berbasis pada dollar AS. Artinya, AS sekarang menjadi negara jangkar bagi sistem moneter internasional dengan patokan nilai par-nya adalah $35 = 1ons emas. Konferensi ini juga menetapkan nilai mata uang setiap negara harus dipertahankan dalam rentang +/– 1% dari nilai par-nya. Rentang tersebut merupakan batas naik-turun maksimal yang diperbolehkan bagi mata uang suatu negara.

AS menjadi negara jangkar pada periode ini karena mata uang AS merupakan mata uang konversi (Convertible Currency) tanpa batasan hukum dan banyak negara percaya dengan kapasitas perekonomian AS sehingga mereka bersedia menerima dollar AS untuk menyelesaikan transaksi. Pihak asing atau negara lain kemudian sangat senang mengumpulkan dan menyimpan dollar sebagai cadangan valuta mereka. Pada 1950-an dan 1960-an jumlah dollar yang dimiliki pihak asing semakin meningkat.

Dengan meningkatnya jumlah dollar yang beredar dan dimiliki pihak asing atau negara lain maka timbul kesanksian akan kemampuan AS untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan Bretton Woods System. Muncullah kemudian apa yang dinamakan Triffin Paradox, yaitu pihak asing atau negara lain meningkatkan simpanan dollar untuk memperluas perdagangan internasional, tetapi tingkat kepercayaan terhadap dollar tersebut justru menurun karena orang tidak yakin AS dapat menukar dollar dengan cadangan emasnya. Karena turunnya tingkat kepercayaan tersebut, terjadi rush untuk melepas dollar AS. Untuk mengatasi masalah tersebut kemudian IMF mengeluarkan SDR yaitu berupa ”emas kertas” untuk menjamin dollar yang berlimpah tersebut. Namun, ternyata SDR tersebut tidak menyelesaikan permaslahan dollar yang melimpah di internasional. Sehingga, AS telah menghabiskan sepertiga cadangan emasnya untuk mempertahankan kestabilan nilai dollar. Hal inilah yang membuat Amerika Serikat pada 15 Agustus 1971 melepas jaminan dollar terhadap emas sekaligus menandai kehancuran Bretton Woods System. Pada saat itu juga nilai dollar mulai mengambang.

Perkembangan berikutnya dari sistem moneter internasional ini adalah setiap negara kebanyakan menggunakan sistem nilai kurs mengambang (floating exchange rate) terutama sejak tahun 1973. Hal terkait dengan, selain keruntuhan Bretton Woods System, bank-bank sentral negara-negara kelompok sepuluh kususnya dan negara lain di luar kelompok sepuluh umumnya tidak berhasil dalam membendung kekuatan pasar bebas yang semakin gencar. Pasar bebas telah berdampak bagi laju perdagangan dan investasi semakin cepat sehingga kekuatan permintaan dan penawaran lebih dianggap rasional dalam menentukan nilai kurs karena dianggap dapat secara cepat menyesuaikan dengan kondisi dan perubahan yang terjadi di pasar, lain halnya dengan Fix Exchange Rate yang kurang bisa merespon cepat perubahan pasar karena penentuan nilai kurs ditentukan oleh pemerintah. Namun, ada juga negara yang menganut sistem campuran yaitu Managed Exchange Rate (Kurs Distabilkan) diamana di satu sisi pasar yang berlaku dalam menentukan nilai kurs di isi lain ada intervensi pemerintah apabila nilai kurs dianggap berdampak signifikan bagi ekonomi negara tersebut.

Pada periode ini, setiap negara mempunyai sistem nilai kurs masing-masing yang berbeda satu sama lain dimana perbedaan tersebut berkisar pada 3 sistem nilai kurs. Hal ini sesuai dengan Perjanjian Jamaika 1976 yang menghasilkan bahwa masing-masing negara bebas menganut sistem nilai kurs mana yang paling tepat menurut kebutuhannya masing-masing. AS sekarang menganut nilai kurs mengambang (floating exchange rate). Negara-negara lain menganut kurs tetap dengan mematok mata uangnya terhadap dollar, franc, atau mata uang lainnya.

Ada satu hal yang menarik di periode ini bahwa pada 1979 anggota-anggota UE menciptakan European Monetary System (EMS) untuk mengelola hubungan mata uang diantara mereka sendiri. Mereka membuat komitmen untuk mempertahankan nilai tukar tetap diantara mata uang mereka dalam rentang +/– 2,25% dari nilai par dan nilai tukar mengambang terhadap dollar AS dan mata uang yang lainnya. Mekanisme ini kemudian melahirkan mata uang tungal UE yaitu Euro.

Oleh karena itu, pada perkembangan sejak 1973 ini sistem moneter sangat beragam antar negara dilihat dari segi sistem nilai tukarnya, Griffin menyatakan bahwa sistem moneter internasional saat ini merupakan suatu campuran nilai kurs tepat (Fix Exchange Rate) dan mengambang (Floating Exchange Rate).

Adapun perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem moneter internasional di era global saat ini dapat diidentifikasi sebagai berikut.

o Era global saat ini telah memberikan peluang bagi investasi di bidang sektor non-rill selain sektor riil. Artinya investasi dalam bentuk saham dan obligasi atau semacamnya lebih banyak diminati dan membawa profit yang spekulatif dalam dunia bisnis. Dengan perkembangan investasi sektor non-riil ini telah membawa perubahan bagi fungsi unag itu sendiri, yaitu selain sebagai alat pembayaran atau alat tukar yang sah, uang juga dapat digunakan sebagai komoditas perdagangan yang dapat diperjualbelikan layaknya barang dan jasa. Tak heran dalam investasi ini aksi spekulatif dan ambil untung sering terjadi sehingga investasi dalam bentuk ini sangat berisiko tinggi apabila kita tidak kritis terhadap perkembangan pasar tetapi sangat menguntungkan apabila kita dapat melihat dengan tepat dan jeli perkembangan pasar (antara resiko dan keuntungan yang diperoleh sama tinggi).

o Ada perkembangan dalam sistem penentuan nilai kurs valuta asing. Perkembangan awal sangat mengacu pada sistem Fixed Exchange Rate, dimana nilai kurs ditentukan oleh pemerintah dengan ketentuan nilai kurs yang ditetapkan bersifat tetap terhadap valuta asing sesuai dengan perkembangan perekonomian negara tersebut – seperti yang kita ketahui bahwa sistem ini pertama kali disesuaikan dengan standar emas untuk menentukan nilai par dan kurs mata uang suatu negara terhadap mata uang negara jangkar, Inggris dan AS pada waktu itu, namun pada perkembangannya sekarang sistem ini tidak lagi distandarkan pada emas. Perkembangan selanjutnya adalah munculnya sistem kurs Floating Exchange Rate, sistem ini terjadi di saat era transisi Standar Emas Inggris Poundsterling ke Standar Emas AS Dollar hingga berakhirnya Bretton Woods System sampai sekarang. Nilai kurs dalam sistem ini ditentukan oleh tarik-menarik (penawaran dan permintaan) kekuatan pasar dalam transaksi saham atau uang sehari-harinya di bursa, komoditas ekspor-impor perdagangan suatu negara dengan negara lain, atau pembayaran hutang jatuh tempo suatu negara. Era sekarang, sistem ini lebih banyak dipakai oleh negara di dunia, karena sistem internasional sekarang didominasi oleh sistem kapitalisme pasar AS pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin. Terakhir adalah sistem Managed Exchange Rate, dimana nilai kurs valuta asing ditentukan oleh kekuatan pasar dan kebijakan pemerintah. Sistem ini muncul pada 1973 dimana banyak negara berusaha mengintervensi pasar manakala perkembangan kurs valuta asing dianggap melampaui ambang batas bagi kemajuan ekonomi dan stabilitas negara mereka. Pada hakikatnya, sistem kurs ini merupakan campuran antara sistem Fixed Exchange Rate dan Floating Exchange Rate – adanya intevensi pemerintah dalam pasar.

Jadi, sistem moneter internasional sekarang menggunakan tiga sistem kurs valuta asing tersebut sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi setiap negara serta sistem politik mereka. Perkembangan ini sangat signifikan dalam transaksi bisnis internasional.

o Perubahan lain adalah adanya kecepatan perpindahan kapital atau modal dari satu tempat ke tempat lainnya secara elektronik. Hal ini didukung oleh progresivitas teknologi dalam bidang internet, informasi, dan transportasi. Transaksi bisnis dapat dilakukan oleh investor satu negara dengan negara lain – yang mungkin jarak kedua negara bermil-mil jauhnya – dengan mudah dan cepat tanpa harus pergi ke negara host atau membawa sejumlah uang yang akan diinvestasikan secara fisik. Dengan progesivitas teknologi tadi memungkinkan investor dengan sangat cepat memindahkan kapital yang ia mau ke wilayah lain yang lebih menguntungkan hanya beberapa detik saja – cukup ”mengklik” atau ”telepon” kemana kapital tersebut akan kita pindahkan – dan kapital serta keuntungan yang didapat dapat langsung ditransfer ke rekening kita baik didalam maupun diluar negeri.

1 comments:

  1. MyBlog said...

    waw webnya bagus semoga saya bisa terus membaca artikel anda.

    datanya bagus dan lengkap
    tertanda hidayat (www.skyhigh-myblog.blogspot.com)

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.