Dalam artikelnya yang berjudul “EU Enlargement: Costs, Benefits, and Strategies for Central and Eastern European Countries,” Tupy berusaha menjelaskan mengenai sejumlah identifikasi permasalahan yang dihadapi CEECs pasca runtuhnya USSR terkait dengan kebijakan pintu terbuka UE terhadap keanggotaan mereka dalam Uni Eropa. Sejarah rezim USSR di wilayah CEECs telah membawa dampak signifikan bagi kelambanan pembangunan ekonomi maupun politik di kawasan ini. Perkembangan tersebut menjadikan dilema[1] bagi negara-negara di kawasan ini untuk memacu pembangunan demi memenuhi standar-standar UE yang pada intinya sangat bertolak belakang dengan dinamika ekonomi politik CEECs yang sebagian besar masih bernuansa sosialis. Untuk itu, di bagian akhir artikelnya, Tupy memberikan sejumlah rekomendasi bagi Eropa Timur dan Tengah dalam menyiasati dilema yang mereka hadapi.
Tupy menilai bahwa pasca runtuhnya USSR, negara-negara CEECs melakukan sejumlah reformasi ekonomi dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi sebagai bagian dari upaya memenuhi standar UE. Upaya reformasi ekonomi tersebut diarahkan pada liberalisasi ekonomi, dimana liberalisasi ekonomi ini merupakan kerangka dalam membangun kerjasama di UE. Tak heran jika reformasi ekonomi ini sangatlah berpengaruh terhadap dinamika pembangunan di CEECs yang dulunya berbasis pada sosialisme, tetapi sekarang lebih pada liberalisasi ekonomi. Walaupun langkah liberalisasi ekonomi menjadi landasan utama bagi pembangunan ekonomi CEECs, namun terdapat praktek-praktek yang berbeda dalam menjalankan strategi liberalisasi ekonomi tersebut. Setidaknya terdapat dua model yang dijalankan CEECs dalam reformasi ekonominya tersebut, yaitu liberalisasi secara radikal dan gradual. Pertama, liberalisasi ekonomi secara radikal dilakukan dengan membuat kebijakan-kebijakan yang sepenuhnya mendukung ekonomi pasar sebagai faktor penentu supply and demand, dimana keterlibatan pemerintah sama sekali diminimalkan dalam ekonomi. Hal ini sangat jelas dalam kebijakan moneter untuk mengendalikan hiperinflasi dimana bank sentral tidak dapat diintervensi oleh pemerintah untuk mengendalikan laju inflasi tersebut melalui instrumen suku bunga. Hal yang paling mendasar mengenai liberalisasi secara radikal tersebut dapat pula dilihat dalam perubahan kurs dari fix exchange rate ke floating exchange rate, dimana nilai kurs ditentukan oleh pasar. Reformasi ekonomi secara radikal ini dijalankan oleh negara-negara CEECs seperti Czech, Estonia, Polandia, Latvia, dan Hungaria. Jika ditinjau lagi bahwa reformasi ekonomi tersebut merupakan hal revolusioner yang pernah dialami negara-negara sosialis dikawasan Eropa ini.
Sementara, model reformasi ekonomi lainnya adalah dilakukan secara gradual, dimana strategi-strategi dalam mencapai pertumbuhan ekonomi tidak harus dilakukan dengan mengurangi secara total peran negara atau pemerintah dalam perekonomian. Ini merupakan wujud dari tahapan penyesuaian sistem sosialisme yang masih mengakar dalam tatanan politik terhadap proses liberalisasi ekonomi yang telah menjadi meanstream utama dalam kerangka kerjasama UE. Liberalisasi secara gradual merupakan kebutuhan untuk menyesuaikan perubahan-perubahan drastis yang sedang dialami negara CEECs pasca rezim komunisme. Ini merupakan sebuah strategi membangun ekonomi secara pasti tanpa menimbulkan instabilitas akibat penyesuaian dengan liberalisasi yang terlalu cepat. Rusia merupakan negara dalam model reformasi secara gradual ini, walaupun ia tidak menjadi negara yang diagendakan dalam EU enlargement. Ini dibuktikan dengan keterlibatan pemerintah dalam ekonomi masih signifikan. Berdasarkan penilaian Tupy, reformasi ekonomi secara radikal menuju liberalisasi yang utuh memberikan dampak yang signifikan bagi percepatan pertumbuhan dan kemajuan ekonomi sehingga stabilitas dapat dicapai.
Yang menarik dalam pembahasan Tupy adalah ketika tahapan pembangunan yang telah dicapai CEECs ternyata sangat kontraproduktif terhadap kemajuan itu sendiri. Ini terkait dengan keanggotaan mereka dalam UE ternyata memberikan beban bagi CEECs untuk menyesuaikan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi mereka dengan regulasi-regulasi ketat UE yang malah dapat meredusir kompetisi mereka dalam ekonomi Eropa.
Oleh karena itu, dalam artikelnya, Tupy memberikan sejumlah rekomendasi sebagai bentuk penyiasatan terhadap kondisi dilematis yang dihadapi CEECs.
Artikel yang ditulis Tupy ini menunjukkan bahwa proses integrasi Eropa dalam kerangka kerjasama regional UE ternyata masih mengalami sejumlah tantangan yang berpengaruh terhadap dinamika pembangunan regional ke depan dalam rangka mencapai integrasi politik seutuhnya. Berbagai tantangan UE dalam membangun CEECs agar memenuhi standar-standar sebagai anggota UE telah memberikan dilemma bagi CEECs dalam reformasi ekonomi mereka sehingga tak jarang sangat kontraproduktif bagi kemajuan yang telah didapat. Namun, setidaknya, Tupy telah memberikan sejumlah rekomendasi yang bisa digunakan CEECs sebagai sebuah kerangka penyiasatan terhadap dilemma yang dihadapi. Pada akhirnya, semua anggota UE akan memenuhi standar yang ketat tersebut yang akan membawa mereka pada tahapan regionalisme yang sesungguhnya, yaitu Eropean nation-state ala
[1] Di satu sisi ada sejumlah keuntungan yang didapat dari bergabungnya negara-negara CEECs dalam keanggotaan UE, seperti potensi bantuan finansial dalam pembangunan CEECs, tetapi di sisi lain ada sejumlah standardisasi yang diterapkan UE sebagai prasyarat keanggotaan baru, seperti harmonisasi kebijakan pajak misalnya.
0 comments:
Post a Comment