.
.
.
.
.

Dilema CEECs dalam UE

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Review Artikel: "EU Enlargement: Costs, Benefits, and Strategies for Central and Eastern European Countries," by Marian L Tupy

Dalam artikelnya yang berjudul “EU Enlargement: Costs, Benefits, and Strategies for Central and Eastern European Countries,” Tupy berusaha menjelaskan mengenai sejumlah identifikasi permasalahan yang dihadapi CEECs pasca runtuhnya USSR terkait dengan kebijakan pintu terbuka UE terhadap keanggotaan mereka dalam Uni Eropa. Sejarah rezim USSR di wilayah CEECs telah membawa dampak signifikan bagi kelambanan pembangunan ekonomi maupun politik di kawasan ini. Perkembangan tersebut menjadikan dilema[1] bagi negara-negara di kawasan ini untuk memacu pembangunan demi memenuhi standar-standar UE yang pada intinya sangat bertolak belakang dengan dinamika ekonomi politik CEECs yang sebagian besar masih bernuansa sosialis. Untuk itu, di bagian akhir artikelnya, Tupy memberikan sejumlah rekomendasi bagi Eropa Timur dan Tengah dalam menyiasati dilema yang mereka hadapi.

Tupy menilai bahwa pasca runtuhnya USSR, negara-negara CEECs melakukan sejumlah reformasi ekonomi dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi sebagai bagian dari upaya memenuhi standar UE. Upaya reformasi ekonomi tersebut diarahkan pada liberalisasi ekonomi, dimana liberalisasi ekonomi ini merupakan kerangka dalam membangun kerjasama di UE. Tak heran jika reformasi ekonomi ini sangatlah berpengaruh terhadap dinamika pembangunan di CEECs yang dulunya berbasis pada sosialisme, tetapi sekarang lebih pada liberalisasi ekonomi. Walaupun langkah liberalisasi ekonomi menjadi landasan utama bagi pembangunan ekonomi CEECs, namun terdapat praktek-praktek yang berbeda dalam menjalankan strategi liberalisasi ekonomi tersebut. Setidaknya terdapat dua model yang dijalankan CEECs dalam reformasi ekonominya tersebut, yaitu liberalisasi secara radikal dan gradual. Pertama, liberalisasi ekonomi secara radikal dilakukan dengan membuat kebijakan-kebijakan yang sepenuhnya mendukung ekonomi pasar sebagai faktor penentu supply and demand, dimana keterlibatan pemerintah sama sekali diminimalkan dalam ekonomi. Hal ini sangat jelas dalam kebijakan moneter untuk mengendalikan hiperinflasi dimana bank sentral tidak dapat diintervensi oleh pemerintah untuk mengendalikan laju inflasi tersebut melalui instrumen suku bunga. Hal yang paling mendasar mengenai liberalisasi secara radikal tersebut dapat pula dilihat dalam perubahan kurs dari fix exchange rate ke floating exchange rate, dimana nilai kurs ditentukan oleh pasar. Reformasi ekonomi secara radikal ini dijalankan oleh negara-negara CEECs seperti Czech, Estonia, Polandia, Latvia, dan Hungaria. Jika ditinjau lagi bahwa reformasi ekonomi tersebut merupakan hal revolusioner yang pernah dialami negara-negara sosialis dikawasan Eropa ini.

Sementara, model reformasi ekonomi lainnya adalah dilakukan secara gradual, dimana strategi-strategi dalam mencapai pertumbuhan ekonomi tidak harus dilakukan dengan mengurangi secara total peran negara atau pemerintah dalam perekonomian. Ini merupakan wujud dari tahapan penyesuaian sistem sosialisme yang masih mengakar dalam tatanan politik terhadap proses liberalisasi ekonomi yang telah menjadi meanstream utama dalam kerangka kerjasama UE. Liberalisasi secara gradual merupakan kebutuhan untuk menyesuaikan perubahan-perubahan drastis yang sedang dialami negara CEECs pasca rezim komunisme. Ini merupakan sebuah strategi membangun ekonomi secara pasti tanpa menimbulkan instabilitas akibat penyesuaian dengan liberalisasi yang terlalu cepat. Rusia merupakan negara dalam model reformasi secara gradual ini, walaupun ia tidak menjadi negara yang diagendakan dalam EU enlargement. Ini dibuktikan dengan keterlibatan pemerintah dalam ekonomi masih signifikan. Berdasarkan penilaian Tupy, reformasi ekonomi secara radikal menuju liberalisasi yang utuh memberikan dampak yang signifikan bagi percepatan pertumbuhan dan kemajuan ekonomi sehingga stabilitas dapat dicapai.

Yang menarik dalam pembahasan Tupy adalah ketika tahapan pembangunan yang telah dicapai CEECs ternyata sangat kontraproduktif terhadap kemajuan itu sendiri. Ini terkait dengan keanggotaan mereka dalam UE ternyata memberikan beban bagi CEECs untuk menyesuaikan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi mereka dengan regulasi-regulasi ketat UE yang malah dapat meredusir kompetisi mereka dalam ekonomi Eropa. Ada tiga bidang peraturan UE yang membuat pembangunan CEECs kontraproduktif, yaitu tenaga kerja, agrikultur, dan lingkungan, dimana tiga peraturan ini dianggap oleh Tupy menjadikan beban bagi pembangunan CEECs. Regulasi tenaga kerja telah memberikan konsekuensi berat bagi kompetisi tenaga kerja CEECs yang kurang produktif dalam berbagai sektor dimana para tenaga kerja dari CEECs belum bisa bekerja di negara-negara Eropa lainnya selama kurang lebih tujuh tahun. Terlebih jaminan sosial dan perlindungan tenaga kerja merupakan dimensi penting dalam regulasi tenaga kerja tersbut. Ini membawa konsekuensi bagi kompetisi ekonomi CEECs dalam Eropa yang semakin menyulitkan kemajuan pembangunan ekonomi mereka. Selain itu, regulasi ketat mengenai standar lingkungan telah membebani CEECs biaya sebesar 120 miliar euro. Terlebih kebijakan subsidi agrikultur telah menyebabkan kompetisi yang tidak imbang antara negara UE yang maju dengan CEECs. Tiga regulasi tersebut menurut Tupy memberikan efek kontraproduktif bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi negara-negara CEECs yang terus berupaya memenuhi standar UE.

Oleh karena itu, dalam artikelnya, Tupy memberikan sejumlah rekomendasi sebagai bentuk penyiasatan terhadap kondisi dilematis yang dihadapi CEECs. Ada empat rekomendasi yang ditawarkan, pertama: melakukan aliansi dengan negara-negara besar dan liberal di Eropa, seperti Italia, dibawah PM Silvio Berlusconi dan Spanyol, dibawah PM Jose Maria Aznar yang sangat vocal dalam menentang ketidakseimbangan di UE, terutama mengenai kebijakan harmonisasi dan pajak. Ini akan memberikan peluang bagi CEECs untuk menyuarakan kepentingannya di UE demi pembangunan ekonomi mereka. Kedua: tidak melakukan adopsi terhadap Konstitusi Eropa yang didasarkan pada konsep negara kesejahteraan dimana lebih mencerminkan kompetisi ekonomi negara maju di Eropa. Hal ini didasarkan pada kapasitas kompetisi ekonomi CEECs yang masih belum kuat untuk menyesuaikan dengan program-program kesejahteraan tersebut. Ketiga: mempertahankan dan memperluas sistem veto dalam setiap pembuatan dan pengambilan keputusan di UE yang selama ini berdasarkan consensus. Melalui strategi ini, diharapkan CEECs dapat mempengaruhi proses pemgambilan keputusan yang sesuai dengan kepentingan pembangunan negara mereka. Keempat: pembatasan terhadap “Common Agriculture Policy” bahkan jika dimungkinkan dapat dibatalkan. Pembatasan atau pembatalan ini perlu agar CEECs dapat sector agrikultur mereka dapat bersaing dengan negara-negara Eropa lainnya, terlebih dengan negara maju yang sangat kental subsidi pertaniannya. Melalui keempat strategi tersebut, CEECs dapat mengambil sejumlah kemungkinan yang dapat mendukung program-program pertumbuhan dan pembangunan ekonomi mereka sehingga CEECs keluar dari ketertinggalan mereka.

Artikel yang ditulis Tupy ini menunjukkan bahwa proses integrasi Eropa dalam kerangka kerjasama regional UE ternyata masih mengalami sejumlah tantangan yang berpengaruh terhadap dinamika pembangunan regional ke depan dalam rangka mencapai integrasi politik seutuhnya. Berbagai tantangan UE dalam membangun CEECs agar memenuhi standar-standar sebagai anggota UE telah memberikan dilemma bagi CEECs dalam reformasi ekonomi mereka sehingga tak jarang sangat kontraproduktif bagi kemajuan yang telah didapat. Namun, setidaknya, Tupy telah memberikan sejumlah rekomendasi yang bisa digunakan CEECs sebagai sebuah kerangka penyiasatan terhadap dilemma yang dihadapi. Pada akhirnya, semua anggota UE akan memenuhi standar yang ketat tersebut yang akan membawa mereka pada tahapan regionalisme yang sesungguhnya, yaitu Eropean nation-state ala USA mungkin.



[1] Di satu sisi ada sejumlah keuntungan yang didapat dari bergabungnya negara-negara CEECs dalam keanggotaan UE, seperti potensi bantuan finansial dalam pembangunan CEECs, tetapi di sisi lain ada sejumlah standardisasi yang diterapkan UE sebagai prasyarat keanggotaan baru, seperti harmonisasi kebijakan pajak misalnya.


0 comments:

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.