.
.
.
.
.

Nationalism and Contemporary European

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Melihat perkembangan Eropa yang sangat dinamis dalam kerangka integrasi politik melalui institusi regional UE, maka timbul sebuah pertanyaan klasik, yaitu apakah konsep nasionalisme masih sesuai dengan konteks politik Eropa kontemporer?

Eropa merupakan sebuah entitas yang sangat kaya akan perkembangan konsep-konsep sosial politik. Dari pengalaman sejarah mereka yang pernah disatukan di bawah Roman Empire telah membawa kesan tersendiri untuk membentuk sebuah komunitas atas dasar etnis maupun kontrak sosial antar individu. Sebelumnya mereka telah hidup secara sendiri dengan konsep city-state pada abad pertengahan yang selalu diiringi dengan perang satu sama lain. Kini, setelah mengalami beragai perang internal antar bangsa Eropa sendiri dan perang eksternal dengan bangsa luar telah memberikan pengaruh bagi dinamika identitas Eropa sendiri.

Dengan konsep nation-state, hasil dari perjanjian Westphalia, telah menimbulkan berbagai implikasi terhadap perkembangan kehidupan untuk menentukan nasib dan masa depan bangsanya sendiri. Salah satu yang melekat erat dengan konsep nation-state adalah nasionalisme. Menurut George Schopflin nasionalisme adalah “a political ideology that claims that the world is devided into nations and only into nations, and that each individual belongs to a nation and only to one nation.” Jelas, bahwa setiap individu punya keinginan untuk memiliki sebuah indentitas kebangsaan yang itu merupakan bagian dari pengakuan individu dalam sebuah komunitas dengan ideologi politik tertentu.

Nasionalisme selalu mengalami perkembangan dan tumbuh terus selama ratusan tahun untuk memperkuat identifikasi individu terhadap negara. Ini merupakan elemen penting bagi lahirnya negara merdeka serta mewarnai doktrin politik yang dianut. Sehingga kesetian warga negara terhadap negara dan efisiensi pemerintah sangatlah saling berhubungan dan mendukung. Seperti yang terjadi dalam sejarah Eropa, setidaknya terdapat dua tipe nasionalismenya yaitu nasionalisme liberal demokrasi yang sangat concern terhadap kebebasan individu untuk menetukan identitasnya dalam membentuk sebuah komunitas. Tipe ini terutama dianut oleh Eropa Barat. Yang lain adalah nasionalisme illiberal yang identik dengan perkembangan Eropa Timur dan Tengah, dimana nasionalisme dijadikan sebagai tujuan politik –yang merupakan warisan Soviet. Hal ini tak lepas dari kondisi Eropa Timur yang berada dalam pengaruh rezim komunis.

Dari kedua tipe nasionalisme tersebut telah membagi Eropa dalam perkembangan dan pemahaman nasionalisme yang berbeda, di satu sisi punya nilai-nilai liberal dan di sisi lain sosialis. Ini kemudian berpengaruh terhadap dinamika politik yang berseberangan diantara wilayah Eropa sendiri. Padahal, Eropa sekarang telah membentuk unit supranasional, Uni Eropa. Tak heran jika masalah-masalah yang muncul dalam pengintegrasian Eropa salah satunya adalah pemahaman nasionalisme yang beda antara Eropa Barat dan Timur.

Setiap negara memiliki nasionalisme yang berbeda. Ada dua pandangan mengenai nasionalisme ini yang terkait dengan konstruksi sosial negara tersebut. Pertama, civic nationalism yang menitik beratkan pada ikatan politik atau kontrak politik antar individu yang sepakat untuk membentuk entitas sebuah negara. Jadi, keragaman etnis dalam negara bukanlah suatu hal yang menentukan nasionalismenya. Akan tetapi jika permasalahan etnis ini muncul maka tak pelak konflik berbasis etnis akan muncul. Sehingga nasionalisme jenis ini diperlukan sebuah rasa saling menghormati satu sama lain, kebebasan individu, tidak ada dominasi, dan lain-lain. Civic nationalism terkait erat dengan nilai-nilai demokrasi liberal (Yael Tamir).

Kedua, ethnic nationalism yang menitik beratkan pada komposisi etnis yang dominan/mayoritas bahkan satu etnis saja dalam sebuah negara. Nation-building dan state-building negara ini berdasarkan pada etnis sehingga nilai-nilai nasionalismenya terkait erat dengan ethnic-culture. Nasionalisme ini pernah terjadi ketika Jerman dibawah kepemimpinan Hitler ingin menyatukan Eropa dibawah ideologi Nazi-nya. Jadi, nasionalisme jenis ini cenderung mengarah pada etno-nasionalisme yang berdampak, apabila berlebihan, pada chauvinisme. Namun, dari segi komposisi etnis cenderung mayoritas.

Melihat sejarah Eropa, kedua macam nasionalisme tersebut pernah diterapkan, bahkan terjadi perbedaan antara Eropa Barat yang cenderung pada nilai-nilai demokrasi liberal dan Timur yang merupakan bekas wilayah pengaruh Soviet (baca: komunis). Ini membuat nilai-nilai nasionalisme di Eropa merupakan hal yang sangat penting bagi identitas individu maupun perkembangan regionalisme yang terjadi di Eropa. Bahkan, nilai-nilai nasionalisme Eropa berkembang ke seluruh wilayah dunia yang ditandai dengan munculnya negara-negara baru, seperti pada era pasca Perang Dunia II banyak muncul negara-negara dunia ketiga.

Perkembangan Eropa saat ini, masa kontemporer, telah memberikan sejumlah permasalahan mengenai relevansi nasionalisme terhadap Eropa. Setidaknya terdapat tiga tantangan terhadap relevansi nasionalisme di era kontemporer saat ini (Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe), yaitu pertama, kemajuan teknologi militer; kedua, munculnya organisasi-organisasi supranasional; dan ketiga, makin berkembangnya peranan gerakan-gerakan transnasional yang bersifat ideologis, religius, fungsional, dan politis. Kemajuan teknologi militer pada 1950-an telah membuat sebuah transformasi baru bagi ”kematian” negara karena negara tidak mampu melindungi rakyatnya terhadap perang-perang modern yang melibatkan senjata biologi, nuklir, dan ekonomi. Transformasi tersebut akan mengarah pada kondisi internasional yang didominasi oleh aliansi-aliansi regional yang saling bertentangan. Bahkan George Orwell meramalkan tiga kekujatan dunia ”mendatang”, yaitu Oceania, Eurasia, dan Asia Timur. Hal ini nampak pada kerjasama pertahanan yang dilakukan negara-negara Eropa dengan Amerika Serikat dalam NATO misalnya.

Tantangan kedua adalah munculnya organisasi-organisasi supranasional yang berdampak pada semakin ”menyusutnya” kedaulatan nasional yang merupakan nilai esensi dari sistem negara saat ini. Nilai-nilai yang terkandung salah satunya adalah prinsip non-intervensi terhadap kehidupan dalam negeri negara lain. Seperti yang ditunjukkan dalam perkembangan Eropa saat ini yang telah memiliki organisasi dan kerjasama supranasional, yaitu Uni Eropa. Dimana ini dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang sama dalam berbagai bidang yang akan memperkuat Eropa secara keseluruhan. Ini mengindikasikan adanya politik interdependensi dalam perkembangan kedaulatan dan sistem negara yang nampaknya bertentangan dengan nation-state sebagai sebuah kesatuan politik satu-satunya.

Dan ketiga adalah munculnya gerakan-gerakan transnasional yang bersifat ideologis politis seperti facisme dan komunisme. Seperti yang diungkapkan oleh Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe dalam Pengantar Hubungan Internasional : keadilan dan power.

””Tertib Baru” yang dikemukakan oleh kaum sosialis nasional Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler (1889-1945) mendesak negara-negara versi liberal abad 19 dan menghendaki adanya formasi sistem negara-negara Eropa yang bersifat hirarkis yang dikuasai oleh apa yang dianggap oleh Hitler sebagai suatu ras yang secara biologis terpilih menurut kemurnian ideologi dan kekuatan.” (1986 : 81)

Hal lain adalah munculnya gerakan marxisme dan sosialisme yang berbasiskan pada perjuangan kelas borjuis dan proletar di berbagai negara dunia. Cita-cita terbesar dari gerakan ini adalah menciptakan masyarakat komunis tanpa kelas. Jelas gerakan ini menolak adanya negara sebagai entitas politik yang akan berakhir pada ketiadaan nasionalisme. Cita-cita ini pernah diuasahakan Soviet, namun gagal, sampai menyebarkan pengaruhnya pada Eropa Timur yang menjadi negara-negara satelitnya. Bahkan pengaruh tersebut masih berbekas sampai sekarang.

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa nasionalisme sebagai sebuah kekuatan bagi individu untuk menemukan makna identitas (sense of identity) dan rasa memiliki (sense of belonging) kini kurang relevan lagi bagi perkembangan Eropa Kontemporer. Ide atau cita-cita terbesar Eropa untuk meraih tujuan bersama dalam satu kesatuan komunitas lebih dikedepankan daripada kenyataan keberagaman Eropa sendiri yang semestinya menjadi dasar bagi identitas dan rasa memiliki individu terhadap komunitas yang sesuai dengannya, seperti yang dinyatakan Will Kymlicka dalam bukunya Kewargaan Multikultural. Dan ini kurang sesuai dengan nilai-nilai liberal yang dikembangkan Eropa sendiri.

0 comments:

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.