By: M. Edy Sentosa Jk.
Print this article____Download PDF Version of This Article
Millenium Development Goals (MDGs) merupakan sebuah kerangka global yang dibentuk pada 2000 oleh 189 negara untuk mencapai pembangunan yang kondusif bagi keberlangsungan hidup manusia di seluruh dunia, yang didalamnya terdapat delapan tujuan yang ingin dicapai bersama sebagai wujud kepedulian global atas tantangan-tantangan utama yang selama ini dihadapi dalam pembanguan (YIPD 2006; Official Web of UNDP). Sebagai sebuah kerangka global, MDGs memiliki peranan penting bagi perumusan dan pembuatan sejumlah mekanisme dan solusi alternatif secara bersama yang dapat meningkatkan kemajuan pembangunan sebuah bangsa. Dan pada akhirnya, akan dicapai sebuah kerjasama yang positif antar negara, baik negara maju maupun negara berkembang, untuk secara kolektif membangun kehidupan dunia menjadi lebih baik lagi.
Adapun delapan tujuan pembangunan millenium yang disepakati secara global tersebut meliputi (1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan tingkat mortalitas anak; (5) meningkatkan kesehatan maternal; (6) membasmi penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit kronis lainnya; (7) menjamin keberlangsungan lingkungan; dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (Official Web of UNDP). Fokus utama dari semua tujuan yang ingin dicapai adalah pembangunan manusia dengan meletakkan dasar pada konsensus dan kemitraan global untuk pembangunan. Hal inilah yang menjadi titik utama dalam mencapai target millenium development pada 2015.
Untuk memudahkan pencapaian MDGs, kerangka MDGs dilengkapi dengan sejumlah target dan indikator yang terdapat pada setiap tujuan milenium tersebut. Setidaknya terdapat 18 target dan 48 indikator dari semua tujuan milenium yang akan dicapai sehingga mempermudah dalam hal pengawasan dan pengukuran dari setiap kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh di setiap negara.
Terkait dengan penjelasan di atas maka, artikel ini memfokuskan pada tujuan MDGs ketujuh, yaitu menjamin keberlangsungan lingkungan. Ini sangat menarik dibahas karena masalah lingkungan telah menjadi perhatian bersama seluruh negara. Selain itu, masalah lingkungan merupakan hal yang krusial akhir-akhir ini terkait dengan sejumlah bencana alam dan perubahan iklim yang tak menentu akibat pemanfaatan lingkungan yang tidak berkelanjutan demi kepentingan dan keuntungan jangka pendek semata yang tidak mencerminkan pembangunan berkelanjutan. Masalah global warming kemudian menjadi perhatian utama seiring dengan semakin terancamnya keberlangsungan lingkungan kita di bumi ini yang pada akhirnya akan mengancam kehidupan manusia. Menilai krusialnya isu keberlangsungan lingkungan ini, maka bentuk collective actions dan good type apa yang sebenarnya ingin dicapai dalam menangani isu tersebut.
Goal 7: Ensure Environmental Sustainability
Akhir-akhir ini telah banyak terjadi bencana alam yang melanda di setiap negara baik bencana yang terjadi secara alamiah maupun akibat ulah manusia. Trend terjadinya bencana semakin meningkat diiringi dengan daya rusak yang begitu dahsyat yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup manusia. Menurut laporan ISDR (International Strategy for Disaster Reduction), selama sepuluh tahun terakhir ini setidaknya 478.100 orang yang meninggal, dan lebih dari 2,5 miliar orang terkena dampak dari bencana alam yang terjadi. Dan sekitar US$ 690 miliar kerugian ekonomi yang harus ditanggung akibat bencana tersebut. Hal ini seperti yang tercermin dalam bencana tsunami
Bencana-bencana tersebut terjadi tak lepas dari eksploitasi lingkungan alam besar-besaran, seperti penebangan hutan secara liar dan penambangan yang liar maupun legal, ataupun perkembangan industrialisasi yang telah membuat polusi udara, air, dan tanah. Tak heran jika bencana banjir akibat hutan gundul sering terjadi, bencana longsor akibat rusaknya kepadatan tanah, perubahan iklim yang tak menentu, dan akhir-akhir ini yang banyak dibahas adalah global warming. Pada akhirnya, ini memicu timbulnya bencana yang tidak hanya berakibat pada dimensi kehidupan manusia namun juga lingkungan itu sendiri akan semakin rusak parah. Jika ini terjadi maka bencana akan terus terjadi, sehingga antara bencana dan kerusakan lingkungan akan terjalin suatu siklus yang tak putus. Tentunya, dimensi kehidupan manusia akan terancam. Oleh karena itu, interval antara bencana dan lingkungan adalah dimensi manusia yang harus berupaya untuk meminimalisir atau mencegah bencana dan kerusakan lingkungan yang terjadi.
Upaya tersebut tidak akan berhasil dan mencapai titik dimana bencana dan kerusakan lingkungan dapat dihindari dan dicegah, manakala tidak ada komitmen bersama untuk menaggulangi bencana dan kerusakan lingkungan tersebut. Untuk itu, collective action sangat diperlukan dalam mengatasi masalah ini. Ini didasarkan bahwa kerusakan lingkungan atau bencana yang terjadi di suatu wilayah akan berdampak pada perubahan keseimbangan ekosistem maupun iklim atau cuaca dimana dampak perubahan tersebut dapat menyebar dan mempengaruhi keseimbangan alamiah wilayah lain. Hal ini sangat jelas dalam isu global warming yang kini menjadi isu bersama semua negara anggota UNFCCC yang berjumlah 191 negara (Tempo Interaktif, 14 November 2007). Global warming merupakan serangkaian dari Goal 7 yang diupayakan untuk mencapai dan menjamin keberlangsungan lingkungan. Hal ini tak lepas dari target kesembilan yaitu mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya yang hilang dengan indikator pengurangan deforestasi dan emisi gas rumah kaca (United Nations 2006, hal. 18-20).
Masalah global warming telah menciptakan rezim UNFCCC sebagai sebuah kerangka untuk mencegah atau menanggulangi dampak lingkungan akibat pemanasan global, seperti perubahan iklim dan cuaca yang tak menentu, efek rumah kaca, dan lain-lain. Isu global warming telah menjadi perhatian semua negara, kecuali AS, manakala tercapai sebuah kesepakatan dalam bentuk Protokol Kyoto untuk secara bersama-sama tanggap atas perubahan iklim yang semakin memanaskan suhu di bumi. Menjadi perhatian karena, efek pemanasan global tidak hanya dirasakan oleh satu atau dua negara saja melainkan seluruh negara di dunia akan terkena imbasnya karena kita hidup dalam satu atap bumi.
Fenomena global warming effect tersebut telah nampak dengan ditandai oleh sering terjadinya siklus hujan yang tak menentu, badai yang kian kuat daya topannya, mencairnya es kutub utara dan selatan yang agresif, suhu panas bumi yang semakin meningkat (efek rumah kaca), meningkatnya suhu rata-rata Danau Baikal, Siberia, Rusia hingga 1,21 derajat Celcius sejak 1946 yang menyebabkan terancamnya keseimbangan ekosistem di dalamnya (Kompas, 1&3 Mei 2008).
Sementara, menurut Verena Puspawardhani, koordinator kampanye bidang iklim dan energi World Wild Fund (WWF)
Secara konkrit, collective actions yang dilakukan dalam menangani global warming ini seperti yang tertuang dalam Bali Roadmap sebagai hasil dari pertemuan UNFCCC di Bali pada 3-14 Desember 2007 (Tempo Interaktif, 14 November 2007). Point-point penting dalam Roadmap tersebut adalah mitigasi, adaptasi, teknologi, dan financing (endonesia.com, 30 November 2007). Upaya mitigasi dilakukan dengan mekanisme negara maju diminta untuk memberikan insentif kepada negara berkembang sebagai upaya menurunkan laju deforestasi. Adaptasi, dilakukan dengan menurunkan emisi gas rumah kaca melalui sustainable development, baik di negara maju maupun di negara berkembang, sampai pada 25-40 persen dalam rangka mencapai level stabilisasi gas rumah kaca dunia (Tempo Interaktif, 16 Desember 2007). Ketentuan tersebut sesuai dengan Annex-I. Teknologi, dilakukan dengan mewajibkan negara industri untuk mengupayakan alih teknologi rendah emisi gas rumah kaca. Sementara, financing dapat dikatakan sebagai pemberian insentif pada negara berkembang yang memiliki kawasan lindung di atas 10 persen. Semua hal tersebut menunjukkan sebuah aksi bersama dalam mencegah dan menyiasati efek-efek global warming bagi masa depan kehidupan manusia. Dan semua hal tersebut pada akhirnya akan memberikan kontribusi dalam mencapai Goal 7.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa good type yang ingin dicapai dalam Goal 7 adalah pure public goods. Salah satu ciri dari pure public goods adalah non-rivalry, yaitu konsumsi suatu barang (goods) oleh satu pihak tidak mengurangi ketersediaan kesempatan pihak lain untuk mengkonsumsi barang yang sama, dan non-excludable, yaitu baik pihak yang berkontribusi maupun tidak, tetap dapat menikmati manfaat barang tersebut (Sandler & Arce dalam Fiscal Studies 2002, hal. 198). Jika dilihat, keberlangsungan lingkungan yang dicanangkan dalam MDGs merupakan upaya untuk menjamin manfaat dari lingkungan tetap bisa dinikmati setiap generasi. Sehingga dampak dari kerusakan lingkungan merupakan efek bagi pengurangan akses individu terhadap sumber daya yang ada. Yang pada akhirnya akan menyebabkan persaingan dalam “mengkonsumsi” lingkungan. Selain itu, kebijakan nasional sebuah negara dalam mengatur lingkungan merupakan bagian eksternaliti dari pure public goods.
Masalah yang kemudian muncul adalah adanya free-raider dalam penanganan masalah lingkungan. Ini merupakan sebuah konsekuensi dari sifat non-excludable. Jika suatu negara berupaya mengurangi emisi gas rumah kacanya untuk menanggulangi global warming maka secara langsung akan berkontribusi terhadap pemeliharaan lingkungan dan pengurangan efek rumah kaca di bumi. Adanya pengurangan efek rumah kaca di bumi secara tidak langsung pula dirasakan manfaatnya oleh negara yang tidak berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kacanya. Oleh karena itu, upaya-upaya yang dilakukan oleh suatu negara untuk menjamin keberlangsungan lingkungan tidak diperlukan sebuah capacity building untuk memperkenankan negara lain mengambil manfaat dari upaya tersebut.
Selanjutnya adalah tipe collective action yang dilakukan dalam mencapai Goal 7 lebih pada summation, yaitu setiap unit kontribusi terhadap public goods akan berpengaruh terhadap tambahan barang yang tersedia untuk dikonsumsi (Sandler 2000, hal. 54). Hal ini tercermin dari sikap dan komitmen semua negara, kecuali AS, peserta UNFCCC di Bali yang menghasilkan Bali Roadmap untuk secara kolektif melakukan upaya pengurangan global warming. Kontribusi yang dilakukan setiap negara akan berpengaruh terhadap penurunan tingkat global warming di bumi sehingga bencana alam dan kerusakan lingkungan dapat diminimalisir dan disiasati. Pada akhirnya, kondisi tersebut akan menjamin keberlangsungan lingkungan yang lestari sehingga akan memberikan manfaat dalam jangka panjang dalam hal pemanfaatan lingkungan bagi semua individu. Hasil akhirnya adalah Goal 7 mungkin dapat dicapai pada 2015.
Namun, jika diamati upaya untuk mencapai keberlangsungan lingkungan pada 2015 belum menunjukkan trend yang positif. Dalam Bali Roadmap misalnya masih mencerminkan hubungan vertikal antara negara maju dengan negara berkembang yang tercermin dalam gap teknologi lingkungan yang tidak dimiliki negara berkembang. Sementara dengan kemajuan teknologinya, negara maju dapat dengan mudah melakukan upaya pengurangan emisi. Hal ini berdampak pada tekanan-tekanan yang dilakukan negara maju terhadap negara berkembang untuk mengurangi emisinya–hal yang belum mungkin dilakukan oleh negara bberkembang manakala industrialisasi masih menjadi dasar pembangunan mereka. Masalah ketimpangan teknologi ini juga bisa dipakai oleh negara maju untuk mencapai kepentingan ekonomi-politiknya, yaitu negara berkembang sebagai pangsa pasar teknologi negara maju, yang pada akhirnya akan terjebak pada paradigma industrialisasi. Selain itu, upaya mitigasi merupakan sebuah bentuk pelanggengan superioritas negara maju terhadap negara berkembang. Dengan mekanisme mitigasi ini membuat negara berkembang sebagai tempat pembuangan sampah emisi negara maju dan ini akan berdampak bagi semakin terbelakangnya negara berkembang dalam pembangunan. Pada akhirnya, upaya untuk mencapai Goal 7 hanya terjadi secara partial di beberapa wilayah saja. Ini merupakan kelemahan dari summation.
Untuk itu diperlukan sebuah kerjasama yang didasarkan pada i’tikad baik dan good political will dari negara-negara maju untuk secara murni membantu negara berkembang dalam usaha bersama mencapai Goal 7 ini. Karena secara fundamental kerangka MDGs merupakan bentuk “techniqal assistence” negara maju terhadap negara berkembang yang selama ini indeks pembangunannya masih dibawah dan mempunyai banyak kelemahan. Jadi, sebenarnya upaya-upaya atau solusi-solusi yang telah disepakati seperti tersebut diatas perlu ditingkatkan lagi dengan dasar i’tikad baik dan good political will dari negara-negara maju. Karena selama ini setiap bantuan yang diberikan masih memiliki tendensi politik lebih parah lagi bantuan tersebut merupakan “jebakan hutang” yang selamanya tidak bisa dibayar negara berkembang (Perkins 2007). Dan pada akhirnya, ini akan menjadikan ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju. Oleh karena itu, summation yang dilakukan haruslah benar-benar mencerminkan kontribusi setiap negara untuk secara murni menambah level supply dari keberlangsungan lingkungan.
Download PDF Version of This Article
0 comments:
Post a Comment