By: M. Edy Sentosa Jk.
Print this article
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan suatu bangsa yang mayoritas penduduknya adalah muslim (baca: beragama Islam) yaitu sekitar 90 persen (Feith & Castles 1988: 195). Agama Islam adalah agama yang banyak dianut oleh penduduk dan warga negara Indonesia tetapi selain itu ada juga para penduduk dan warga negara Indonesia yang menganut agama non-Islam diantaranya Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghuchu dan agama lainnya yang dapat dikatakan penganut agama yang minoritas dari pada penganut agama Islam di Indonesia. Sehingga banyak kalangan, baik masyarakat; politisi; pengamat politik; mahasiswa; agamawan; birokrat; dan lain-lain, yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan suatu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Hal ini juga diperkuat dengan adanya pernyataan dari Menteri Luar Negeri Indonesia, Hasan Wirajuda, tentang bargaining power dalam diplomasi Indonesia dengan negara lain bahwa Indonesia adalah suatu negara dengan penduduk muslim moderat terbesar yang demokratis.
Jika kita lihat lagi dari sejarah Indonesia pada zaman kerajaan, banyak berdiri kerajaan yang berpedoman dan berideologikan Islam seperti Kerajaan Demak, Kerajaan Banten, Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Ternate dan Tidore dan lain-lain. Berdasarkan fenomena tersebut maka kehidupan masyarakat pada waktu itu tidak asing lagi dengan kehidupan yang bernuansa Islami dimana segala sesuatunya berpedoman pada al-Quran dan al-Hadist. Sementara itu, semangat perjuangan para ulama dan orang-orang Islam dalam melawan kolonialisme/penjajahan yang dilakukan oleh Belanda, yang sudah masuk dan menjajah Indonesia pada zaman kerajaan pada waktu itu, sangat besar untuk membawa Indonesia terlepas dari belenggu dan rantai penjajahan yang pada akhirnya menuju Indonesia Merdeka, seperti yang kita rasakan sekarang.
Menurut Herbert Feith, banyak sekali pembrontakan melawan penjajahan Belanda pada waktu itu bernaung di bawah panji-panji bendera Islam (Feith & Castles 1988: 195). Di sini terlihat betapa risaunya para ulama dan orang Islam untuk memandang fenomena penjajahan yang sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran dan kaidah-kaidah Islam dan bahwa perlakuan yang tidak adil dan merampas hak milik dan apa yang menjadi hak seseorang sangatlah diharamkan dalam Islam. Hal ini menunjukkan bagaimana peranan Islam dalam menyikapi kehidupan yang tidak hanya sekedar kehidupan tetapi juga ada masalah humanity di dalamnya yang segala sesuatunya telah diatur dengan cermat sesuai dengan fitrah manusia sebagai mahluk ciptaan Allah swt.
Selain itu, bisa kita lihat bagaimana para ulama atau para cendekiawan muslim atau pun raja pada waktu itu menggerakkan masa/rakyat untuk melakukan suatu gerakan perlawanan terhadap para penjajah yang memang bertentangan dengan nilai-nilai Islam atau nilai-nilai kemanusiaan umumnya. Gerakan perlawanan yang didasarkan pada hukum-hukum Islam demi mencapai suatu kemerdekaan waktu itu – dalam arti luas – adalah kemerdekaan untuk beribadah kepada Allah swt. dan menegakkan syariat Islam. Dalam perjuangan tersebut tampak bagaimana Islam mewarnai semangat untuk melawan kemungkaran yang ada. Artinya Islam dan nilai-nilainya bukan sekedar/sebatas sebagai ajaran agama saja, melainkan lebih dari sekedar agama yaitu, dapat dijadikan sebagai pedoman hidup atau sebagai suatu ideologi dalam menjalani kehidupan di dunia ini dan dalam segala dimensi kehidupan yang ada. Seperti yang dikemukakan oleh Drs. T. May Rudy (2003: 70), yang disadur dari pendapat DR. Yusuf Qardhawy dalam bukunya “Umat Islam Menyongsong Abad ke-21,” bahwa kenyataannya agama merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi pembentukan peradaban atau kebudayaan. Dari situ, dapat dimengerti mengapa Islam sangatlah berpengaruh terhadap masyarakat Indonesia pada waktu itu bahkan sampai sekarang.
Seiring dengan berjalannya waktu, pada masa pra-kemerdekaan telah hadir atau bermunculan suatu gerakan-gerakan atau organisasi-organisasi masa, sosial dan pendidikan keislaman, yang pada masa berikutnya yaitu masa kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan berkembang menjadi aliran politik, partai politik, organisasi sosial dan pendidikan atau pun sebuah aliran keagamaan saja dan lain-lain, yang ikut mewarnai proses kedinamikaan Indonesia menuju kemerdekaan dari para penjajah. Dan tak jarang, adakalanya gerakan-gerakan atau organisasi-organisasi masa keislaman pada waktu itu berselisih paham mengenai ajaran Islam sendiri, tetapi yang perlu ditekankan disini adalah aspek kebersamaan dalam menyatukan semangat untuk melawan penjajah dan keinginan untuk merdeka serta bagaimana pengaruh gerakan-gerakan atau organisasi-organisasi masa keislaman tersebut pada proses kedinamikaan Indonesia, baik di bidang politik khususnya, maupun di bidang-bidang lainnya seperti ekonomi, sosial, dan budaya. Pemahaman mereka mengenai Islam telah banyak melahirkan suatu pemikiran mengenai bagaimana "pesan-pesan" dalam al-Quran dan al-Hadist dapat diimplementasikan dalam kehidupan dunia ini untuk mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia dan membentuk suatu kehidupan (baca: negara) yang berpedoman dan berasaskan pada Islam serta membawa negeri ini pada suatu negeri yang baldatun toyyibah warobbun ghofuurun[1].
Sementara itu, pada waktu kemerdekaan atau tepatnya saat proklamasi Indonesia, Islam tetap berpengaruh terhadap perpolitikan Indonesia. Bagaimana proses pembentukan sistem politik yang akan dianut oleh Indonesia terjadi tarik ulur antara pihak nasionalis, yang menghendaki suatu negara bukan berdasarkan pada agama, dengan pihak Islamis, yang menghendaki ideologi dan pedoman hidup bangsa adalah sesuai dengan Islam (baca: al-Quran dan al-Hadistt). Sehingga, tak jarang pertarungan ideologi dan sistem politik yang tepat dan yang akan dianut oleh bangsa Indonesia terjadi, bahkan sampai pada tingkat yang paling ekstrim yaitu pembrontakan pada sistem politik yang ada, demi memperjuangkan prinsip dan ideologinya (dalam hal ini dilakukan oleh kalangan Islam meskipun tidak semuanya, terutama mereka yang mau berkompromi). Dan dapat dilihat pula pada saat sila pertama dari dasar negara, Pancasila, dalam tujuh kata terakhir yang berbunyi "...dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya" menjadi suatu perdebatan/permasalahan antara kalangan Islam dengan mereka yang non-Islam yang berargumen bahwa tujuh kata tersebut dapat menyebabkan disintegrasi bangsa terutama dari Indonesia bagian timur. Pada akhirnya tujuh kata tersebut, dari kalangan Islam meskipun ada juga yang menolak dan bersikukuh terhadap tujuh kata tersebut agar dicantumkan dalam sila pertama Pancasila, sepakat untuk dihapuskan dari sila pertama Pancasila. Betapa jelas bahwa Islam sangatlah memiliki pengaruh yang besar terhadap kedinamikaan Indonesia selama ini.
Pertarungan itu juga meliputi penilaian kritis kalangan Islam terhadap hukum-hukum yang ada di Indonesia, sehingga memicu reaksi untuk merubah (baca: melawan) hukum-hukum yang ada dengan cara-cara yang melembaga, seperti mengajukan revisi dan penolakan, maupun tidak melembaga seperti pembrontakan, pada tingkat yang paling ekstrim, seperti yang terjadi di Aceh, yang notabene masyarakatnya adalah mayoritas muslim sehingga diberi julukan Serambi Mekkah, Daud Beureueh memproklamasikan Aceh sebagai satu wilayah Negara Islam Indonesia dengan pernyataannya bahwa:
"Atas nama Allah kami rakyat Aceh sudah membuat sejarah baru di atas persada tanah tumpah darah, kami berkendak membentuk suatu Negara Islam. ...Kami akan mengatakan bahwa tindakan kami ini disebabkan oleh hukum yang kacau atau karena kekacauan hukum; tentu tidak heran; kekacauan akibat (karena) kekacauan hukum, tentu orang tidak akan dapat memperbaiki akibat sebelum is sendiri memperbaiki asal pokok musababnya (Feith & Castles 1988: 209-211).”
Tampak bahwa bagaimana pertarungan ideologi atau pemikiran politik, yang berpengaruh terhadap kehidupan bangsa, sangatlah tajam dan pada ujung-ujungnya terjadi suatu manifestasi perlawanan dalam bentuk solusi akhir yaitu membrontak atau melakukan pembrontakan terhadap sistem politik yang ada.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada saat Indonesia akan melakukan pemilihan umum pertama tahun 1955, banyak kalangan Islam mendirikan suatu partai politik yang berazaskan Islam sebagai fondasi utama dalam perjuangan politiknya. Akibatnya, pada pemilihan umum 1955 suara umat Islam terpecah-pecah. Partai Masyumi yang sebelumnya sudah diramalkan akan mendapat suara terbanyak atau bahkan mayoritas mutlak ternyata hanya mendapat seperlimanya saja, lebih sedikit dari PNI salah satu partai nasionalis. Sementara, NU hanya mendapatkan 18% saja (Feith & Castles 1988: 197). Tetapi dalam perolehan kursi di DPR, Masyumi memperoleh kursi lebih banyak, yaitu sebanyak 60 kursi, dari pada PNI yang selisih hanya 2 kursi yaitu, 58 kursi. Sementara itu, NU memperoleh 47 kursi (Tim Penyusun Master 2004: 8). Meskipun demikian, kalangan Islam tetaplah berpengaruh terhadap masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Hal ini bisa dimaklumi karena pengaruh sebuah "komunitas atau kalangan" tertentu seperti halnya suatu siklus gelombang yang pada saat tertentu bisa naik secara tajam dan dengan waktu yang relatif lama dan begitu pula pada saat tertentu bisa turun secara berkala dan bahkan signifikan.
Hal tersebut, bisa dilihat pada masa Orde Baru, Soeharto. Dalam demonologi pemerintahan Orde Baru, yang berkuasa sejak 1966, politik Islam telah lama dinamai sebagai “ekstrem kanan.” Nama tersebut dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mendefinisikan batas-batas perilaku politik yang dapat diterima, dan untuk mengeluarkan dari arena politik, ide-ide, pelaku-pelaku, dan organisasi-organisasi yang dianggap berada di luar "konsensus nasional" yang didefinisikan oleh doktrin negara, Pancasila (Liddle 1997: 65). Hal ini menyebabkan marginalisasi Islam dalam politik maupun dalam dimensi kehidupan lain di arena nation-state Indonesia. Banyak represi yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap kalangan Islam sehingga membuat mereka tidak berkutik untuk melakukan perlawanan-perlawanan politik. Namun, iklim Orde Baru telah berubah, semenjak Soeharto lengser dari jabatannya, menjadi iklim Reformasi yang telah memberikan nuansa yang kondusif bagi "pertarungan" dan partisipasi politik bagi seluruh elemen masyarakat, termasuk Islam, demi mengembangkan suatu tatanan kehidupan yang barn (baca: pasca rezim Orde Baru) yang lebih baik, adil, transparan dan berkebebasan yang bertanggung jawab.
Di masa Reformasi, kalangan Islam dan politiknya telah bangkit kembali untuk tetap mewarnai arena politik Indonesia demi satu tujuan agar ditegakkannya nilai-nilai dan Ideologi Islam untuk menciptakan "masyarakat yang Islami" tanpa harus menyingkirkan entitas kebangsaan yang ada dan masyarakat non-muslim lainnya, tetapi tetap dalam semangat toleransi antar komunitas yang ada dan membentuk negeri yang Islami. Berdasarkan penjelasan di atas maka terlihat betapa kedinamikaan yang dialami bangsa Indonesia selalu diwarnai oleh Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia ini, mulai dari zaman kerajaan sampai zaman reformasi sekarang.
0 comments:
Post a Comment