Setidaknya terdapat dua macam peringkat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan apa yang harus diamati, yaitu unit analisis dan unit eksplanasi. Unit analisis merupkan sesuatu yang perilakunya hendak dideskripsikan, dijelaskan, dan diramalkan. Dengan kata lain, unit analisis ini bisa juga disebut sebagai variabel dependen, yaitu varibel yang keberadaannya dipengaruhi oleh variabel lainnya. Sementara, unit eksplanasi merupakan sesuatu yang dampaknya terhadap unit analisa hendak diamati. Untuk itu, unit eksplanasi bisa juga disebut sebagai variabel independen, yaitu variabel yang keberadaannya mempengaruhi variabel dependen (Mas’oed 1990: 35; Silalahi 2006: 122-123; Suyanto & Sutinah 2005: 48-49). Dengan demikian, unit eksplanasi sangat menentukan dinamika yang terjadi dalam unit analisis.
Selanjutnya, Patrick Morgan membuat lima klasifikasi tingkat analisa yang dapat digunakan untuk memahami perilaku aktor dalam hubungan internasional, yaitu tingkat analisa individu, kelompok individu, negara-bangsa, kelompok negara-bangsa, dan sistem internasional (Mas’oed1999: 40-42).
1.Tingkat Analisa Individu, fenomena hubungan internasional pada dasarnya dicerminkan oleh interaksi perilaku individu-individu yang ada didalamnya. Untuk memahami realitas hubungan internasional, diperlukan suatu pengkajian mengenai sikap dan perilaku para tokoh utama pembuat keputusan, seperti kepala negara atau pemerintahan, menteri luar negeri, penasehat keamanan, dan sebagainya.
2.Tingkat Analisa Kelompok Individu, apa yang terjadi dalam hubungan internasional merupakan akumulasi tindakan individu dalam kelompok atau organisasi tertentu. Sehingga, fenomena hubungan internasional lebih dilihat sebagai hubungan antar berbagai kelompok individu di berbagai negara. Untuk memahami hubungan internasional diperlukan pengkajian mengenai perilaku kelompok-kelompok individu dan organisasi-organisasi yang terlibat dalam hubungan internasional, seperti kabinet dalam pemerintahan, dewan penasehat keamanan, organisasi birokrasi, departemen atau badan-badan pemerintahan, dan sebagainya.
3.Tingkat Analisa Negara-bangsa, asumsi dasar dari tingkat analisa ini bahwa semua pembuat keputusan, dimana pun berada, akan berperilaku sama jika menghadapi situasi yang sama pula. Sehingga, kenyataan yang ada dalam hubungan internasional lebih dicerminkan oleh perilaku negara-bangsa, yang selama ini dianggap sebagai aktor dominan dalam hubungan internasional. Oleh karena itu, untuk memahami hubungan internasional diperlukan pengkajian mengenai proses pembuatan keputusan tentang hubungan internasional, terutama politik luar negeri suatu negara. Dengan kata lain, tingkat analisa ini melihat negara-bangsa sebagai unit yang utuh.
4.Tingkat Analisa Kelompok Negara-bangsa, seringkali negara-bangsa melakukan tindakan internasional tidak secara sendiri-sendiri, tetapi adakalanya sebagai suatu kelompok. Sehingga, fenomena hubungan internasional lebih dicerminkan sebagai interaksi antar kelompok negara-bangsa yang tergabung dalam pola dan pengelompokan tertentu, seperti aliansi, regional, blok ekonomi, blok ideologi, maupun pengelompokan dalam PBB, dan sebagainya.
5.Tingkat Analisa Sistem Internasional, pada dasarnya negara-bangsa dan aktor-aktor lainnya dalam hubungan internasional merupakan suatu unit yang terdapat dalam sistem yang lebih besar, yaitu sistem internasional. Semua aktor hubungan interasional bertindak dan berinteraksi dalam sistem tersebut. Sehingga, menurut tingkat analisa ini, dinamika yang terjadi dalam sistem internasional berpengaruh terhadap perilaku para aktor hubungan internasional yang ada didalamnya. Sistem yang lebih besar telah menentukan perilaku aktor sebagai unit terkecil dalam sistem tersebut. Oleh karena itu, untuk memahami realitas hubungan internasional diperlukan pengkajian mengenai sistem itu sendiri dan membuat generalisasi mengenai sistem itu sebagai suatu keseluruhan, sehingga dapat menjelaskan perilaku para aktor hubungan internasional didalamnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa terdapat lima unit analisa yang mengandung lima unit eksplanasi sekaligus, yaitu tingkat individu, tingkat kelompok individu, tingkat negara-bangsa, tingkat kelompok negara-bangsa, dan tingkat sistem internasional atau global.
Secara umum, terdapat tiga kemungkinan yang bisa kita pakai manakala menggunakan tingkat analisa tersebut (Mas’oed 1990: 38). Pertama, analisis induksionis, apabila unit eksplanasinya lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan unit analisisnya. Contoh: unit eksplanasi = negara-bangsa, sedangkan unit analisisnya = kelompok individu. Kedua, analisis korelasionis, apabila unit eksplanasinya memiliki tingkatan yang sama dengan unit analisisnya. Contoh: unit eksplanasi = negara-bangsa, sedangkan unit analisisnya = negara-bangsa. Ketiga, analisis reduksionis, apabila unit eksplanasinya lebih rendah tingkatannya dibandingkan dengan unit analisisnya. Contoh: unit eksplanasi = negara-bangsa, sedangkan unit analisisnya = sistem internasional.
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan M. Edy Sentosa Jk. bersama empat orang lainnya yaitu, Dean Darmawan, M. Fuad Arief, Novrita Maria Ulfa, dan Widy Dinarti, mereka semua adalah teman seperjuangan di jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisip Unair. Tulisan ini adalah hasil karya kami. Semoga dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
***_***
Motivasi di Balik Keikutsertaan Mahasiswa HI
dalam Kepengurusan HIMA
Kehidupan kampus selalu diwarnai dengan berbagai pandangan mengenai kewajiban yang harus diambil dan dijalankan oleh mahasiswa.Hal ini terkait dengan legitimasi yang ada dalam kehidupan sosial yaitu, seorang mahasiswa harus menjalankan kewajibannya untuk menuntut ilmu. Ini membuat orientasi-kuliah menjadi mainstream dalam kehidupan mahasiswa. Namun, ditengah-tengah mainstream yang ada, terdapat mahasiswa yang melakukan hal di luar legitimasi tersebut yaitu, dengan ikut serta dalam aktivitas organisasi. Orientasi-organisasi kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam aktivitas perkuliahannya. Sehingga, ia tidak hanya fokus pada kewajiban kuliah tapi juga aktivitas organisasi menjadi sebuah perhatian yang tak kalah pentingnya.
Kenyataan tersebut sesuai dengan yang diungkapkan bahwa masyarakat memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai di dalam lingkungannya. Hal ini menunjukkan motivasi yang dimiliki mahasiswa ketika ia memutuskan untuk terlibat aktif dalam suatu organisasi. Jika dikaitkan dengan pendapat Merton, maka motivasi tersebut sangat terkait erat dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh mahasiswa.
Selanjutnya, motivasi yang dimiliki mahasiswa untuk ikut serta dalam organisasi merupakan bentuk self-oriantation yang bersifat pribadi dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya. Hal itu seperti yang diungkapkan bahwa orientasi pribadi merupakan bagian yang melekat erat dalam diri individu pada setiap dimensi hubungan sosialnya dengan lingkungan masyarakat. Dengan demikian, motif self-orientation merupakan sebuah landasan dalam diri mahasiswa yang menimbulkan keinginan untuk terlibat dan ikut serta dalam aktivitas organisasi.
Tak heran, ketika orientasi-kuliah dan orientasi-organisasi sudah menjadi kesatuan dalam setiap aspek aktivitas mahasiswa di kampus maka, seperti yang diungkapkan oleh , aktivitas tersebut akan menjadi sebuah kebutuhan yang harus terpenuhi. Sehingga, timbul sebuah motivasi yang besar dalam diri mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada akhirnya, jika kebutuhan itu telah tercapai maka ia akan memperoleh kepuasan pribadi.
Berdasarkan temuan data yang penulis himpun dan olah, motivasi yang dimiliki para pengurus HIMA untuk ikut serta dalam organisasi HIMA adalah untuk mendapatkan kecakapan yang tidak mungkin didapatkan di bangku perkuliahan. Kecakapan tersebut meliputi, kecakapan mengatur waktu, kecakapan birokrasi, kecakapan surat-menyurat, dan kecakapan lainnya. Nampak jelas bahwa kecakapan-kecakapan tersebut jarang didapatkan dari bangku kuliah, karena kecakapan seperti ini sangat bersifat praktis. Karena bersifat praktis maka mereka menilai kecakapan tersebut akan berguna di dalam dunia kerja setelah mereka lulus dari bangku kuliah.
Selain itu, motivasi lainnya adalah untuk memperoleh eksistensi dan aktualisasi diri dalam lingkungan dimana mereka berada. Eksistensi ini terkait dengan keiginan dan ego yang ada dalam diri mahasiswa untuk lebih dikenal oleh mahasiswa-mahasiswa lainnya. Bahkan, lingkup tersebut sampai pada keinginan untuk lebih dikenal oleh para dosen di lingkungan program studinya. Dari sini,motivasi eksistensi menjadi bagian yang tak terpisahkan ketika mahasiswa ikut serta dalam suatu organisasi.
Sementara itu, motivasi aktualisasi diri terkait dengan keberadaan dan keinginan mahasiswa untuk mengaktualkan potensi yang ada dalam dirinya, sebagai bagian dari upaya untuk memaksimalkan potensi tersebut secara lebih praktis dan fisikal. Melalui organisasi, mahasiswa percaya bahwa potensi tersebut dapat diolahkembangkan secara kreatif sehingga memberikan kelebihan tersendiri baginya yang tidak atau belum tentu dimiliki oleh mahasiswa lainnya yang tidak aktif dalam organisasi.
Motivasi berikutnya yang ditemukan penulis adalah untuk memperoleh dan mengembangkan soft skill yang dimiliki dalam dirinya. Soft skill tersebut menjadi sebuah kebutuhan bagi para pengurus HIMA HI, dimana hal itu digunakan sebagai penyeimbang kemampuan intelektualitas yang mereka miliki. Sehingga, pengetahuan yang mereka peroleh dapat secara langsung diaplikasikan dalam keseharian mereka terkait dengan aktivitas organisasi yang dilakukan. Soft skill tersebut seperti terampilnya kemampuan berbicara dan mengemukakan pendapat di depan publik.
Motivasi menarik lainnya yang ditemukan penulis adalah adanya daya dan dorongan untuk merubah sistem organisasi HIMA yang dianggap kurang sesuai dengan pemikiran mahasiswa. Selain itu pula, adanya kesempatan untuk menambah pengalaman dan membangun networking, juga menjadi motivasi yang melandasi mahasiswa untuk bergabung dalam kepengurusan organisasi. Motivasi ini dianggap penting oleh mahasiswa dalam rangka memperoleh teman dan lingkungan serta pergaulan baru. Ini memudahkan mereka mendapatkan informasi-informasi baru yang dirasa perlu baik dari mahasiswa lain maupun dari dosen-dosen.
Berbagai motivasi yang melatarbelakangi Mahasiswa HI untuk menjadi pengurus HIMA seperti yang diuraikan di atas, menunjukkan sebuah kebutuhan yang merupakan bagian dari aktivitas mereka sebagai mahasiswa itu sendiri. Kebutuhan tersebut menjadi penting bagi mereka karena hal itu menimbulkan kepuasan diri ketika terpenuhi, walaupun demi pengejaran kepuasan tersebut melanggar legitimasi-legitimasi sosial yang ada.
Capaian Prestasi Mahasiswa HI yang Menjadi Pengurus HIMA
Melihat motivasi-motivasi yang dimiliki mahasiswa HI yang menjadi pengurus HIMA seperti yang diuraikan diatas, memberikan sebuah penilaian atau pandangan terhadap prestasi yang mereka peroleh. Prestasi akademis maupun non-akademis menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi mahasiswa tersebut. Karena, ia memiliki kemampuan yang tidak hanya di ukur dari aspek kognitif saja tetapi ia juga bisa membuktikan kemampuan tersebut secara aplikatif dan praktis. Inilah capaian yang dimiliki oleh mahasiswa yang tidak hanya berorientasi-kuliah tetapi juga organisasi, suatu kelebihan tersendiri yang membedakan dengan mahasiswa yang berorientasi-kuliah saja. Menilai pendapat Parsons, ini merupakan bagian dari orientasi pribadi untuk berprestasi.
Berdasarkan temuan data yang penulis himpun, mahasiswa yang menjadi pengurus HIMA menunjukkan sebuah prestasi yang imbang. Dalam arti, aktivitas mereka di organisasi tidak menjadikannya halangan untuk tetap fokus pada kewajiban kuliah mereka. Ini memberikan dampak pada mereka untuk membuat managemen waktu yang baik dalam mengatur aktivitas perkuliahan di satu sisi dan organisasi di sisi lainnya. Oleh karena itu, mereka kemudian tidak menunda-nunda waktu yang ada dan berusaha untuk menyelesaikan tugas tepat waktu. Sehingga, semua aktivitas yang ia lakukan tidak terbelengkalai. Tak heran, dalam penelitian ini ditemukan bahwa dengan kondisi seperti itu membuat mahasiswa yang menjadi pengurus HIMA tersebut untuk merencanakan skala prioritas dalam setiap aktivitas yang mau dilakukannya.
Selain itu, ada hal menarik yang ditemukan penulis yaitu, terjadinya penurunan prestasi ketika mahasiswa HI menjadi pengurus HIMA HI. Hal ini karena adanya proses adaptasi yang dijalankan sewaktu terlibat dalam kegiatan HIMA. Hal ini terkait dengan ketidakmampuan mahasiswa dalam membagi waktunya. Jadi, menurun atau tidaknya prestasi mahasiswa sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam membagi waktu. Proses adaptasi ini menjadi bagianpenting dalam capaian prestasi mereka. Pada akhirnya, mereka bisa beradaptasi sehingga memberikan implikasi signifikan terhadap keseimbangan prestasi mereka, baik akademis maupun non-akademis.
Prestasi akademis dapat dinilai dari IP yang mereka capai. Dengan memahami temuan data pada subbab sebelumnya, maka dapat dikatakan mereka secara akademis berprestasi, walaupun seperti yang diungkapkan dalam paragraf sebelumnya, sempat terjadi penurunan nilai IP. Namun, itu hanya pada awal-awalnya saja ketika proses adaptasi masih belum bisa mereka lakukan.
Hal yang menarik kemudian adalah penilaian prestasi akademis mereka tak dapat dipisahkan dari keaktifan di kelas. Dimana keaktifan di kelas menunjukkan tingkat pengetahuan yang mereka miliki. Dalam penelitian ini ditemukan, pengurus HIMA yang aktis dalam kegiatan organisasi belum tentu mereka aktif di kelas. Keaktifan di kelas, sesuai dengan temuan data yang ada, dipengaruhi oleh sejauh mana latar belakang akademis yang mereka miliki. Jadi, tidak ada suatu pernyataan bahwa yang aktif diorganisasi menjadi aktif pula di kelas. Kemampuan seseorang tergantung dengan usahanya dalam mendalami hal tersebut. Namun, setidaknya para Mahasiswa HI yang menjadi pengurus HIMA mempunyai kebanggaan terhadap prestasi akademis yang mereka capai, walaupun prestasi itu tidak terkait dengan keaktifan mereka di organisasi.
Selain prestasi akademis, mahasiswa HI yang menjadi pengurus HIMA juga menunjukkan capaian prestasi non-akademis. Capaian prestasi ini terutama mereka peroleh dari aktivitas mereka di luar kuliah. Aktivitas organisasi kemudian menjadi ukuran bagi capaian prestasi non-akademis ini. Dalam penelitian ini, capaian prestasi tersebut berupa berhasilnya membangun image yang baik mengenai perlunya persatuan dilkalangan mahasiswa HI yang tergabung dalam FKMHII. Selain itu, keberhasilan mengkoordinir sebuah event pertemuan nasional menjadikan kepuasan tersendiri bagi mahasiswa tersebut. Dan hal ini dapat dijadikan sebagai sebuah prestasi. Keberhasilan dalam mencapai prestasi tersebut sangatlah ditentukan oleh motivasi setiap individu dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya.
Dari penjelasan diatas, maka prestasi yang dicapai mahasiswa HI yang menjadi pengurus HIMA HI merupakan sebuah capaian yang dapat dinilai sebagai self-orientation yang ditujukan pada capaian terhadap pemenuhan kepuasan diri.
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan M. Edy Sentosa Jk. bersama empat orang lainnya yaitu, Dean Darmawan, M. Fuad Arief, Novrita Maria Ulfa, dan Widy Dinarti, mereka semua adalah teman seperjuangan di jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisip Unair. Tulisan ini adalah hasil karya kami. Semoga dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
***_***
Kehidupan kampus merupakan kehidupan yang penuh dengan dinamika intelektualitas dan pergerakan. Intelektualitas karena berbagai pengetahuan dan wacana selalu menjadi dasar dalam setiap proses perkuliahan maupun pembelajaran di kelas. Cengkrama mengenai abstraksi dan konseptualisasi dari fenomena sosial sangat mewarnai dinamika yang ada, yaitu begaimana mahasiswa menilai fenomena sosial tersebut melalui pendekatan ilmiah yang menjadi perhatian dalam studinya. Sementara itu, pergerakan karena aspek-aspek praktis, sebagai wujud aplikasi dari teori-teori yang mahasiswa dapatkan di kelas, selalu menjadi bagian tak terpisahkan dalam dinamika ilmiah didalamnya. Dengan kata lain, pergerakan merupakan aksi nyata yang dilakukan untuk mendekatkan kajian ilmiah dengan fenomena sosial yang ada dalam masyarakat. Dua hal tersebut menjadi domain dalam gelora kehidupan kampus.
Tak heran jika gelora tersebut telah mempengaruhi dinamika sosial diluar kehidupan kampus. Karena kampus merupakan pusat untuk mencari dan mengembangkan pengetahuan secara ilmiah. Tentunya, aspek-aspek praktis juga melandasi pencarian dan pengembangan pengetahuan tersebut sehingga hasil yang dicapai benar-benar aplikatif terhadap realitas sosial dalam masyarakat. Hal inilah yang kemudian memberikan sumbangan penting bagi kemajuan masyarakat dimana kampus itu berada. Untuk mencapai semua itu, gelora intelektualitas dan pergerakan yang ada dalam kehidupan kampus menjadi penghubung penting. Dengan gelora intelektualitas maka mahasiswa dapat memberikan kontribusi bagi penemuan metodologi dan metode bagaimana masalah itu dirumuskan secara ilmiah. Hal itu semakin komplit dengan gelora pergerakan yang ada dalam diri mahasiswa, sehingga temuan tersebut semakin aplikatif dalam penyelesaian masalah. Setidaknya, itu menggambarkan dinamika kampus yang ideal dimana mahasiswanya memiliki gelora intelektualitas sekaligus pergerakan.
Dari gambaran tersebut, hal mendasar yang kemudian muncul adalah fenomena dalam masyarakat kampus untuk membuat sebuah dikotomi mengenai seorang mahasiswa, yaitu mahasiswa yang memiliki orientasi-kuliah dengan mahasiswa yang yang memiliki orientasi-organisasi ketika mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Pendikotomian ini kemudian menjadi sebuah konsep yang acapkali dijadikan sebuah penilaian atas orientasi seseorang ketika menjadi mahasiswa. Sehingga, orientasi tersebut memberikan gambaran mengenai kehidupan mahasiswa di kampus.
Gambaran orientasi tersebut merupakan wujud gelora intelektulitas dan pergerakan yang ada dikampus. Artinya, orientasi-kuliah lebih cenderung ke gelora intelektualitas sebagai landasan mendasar ketika mahasiswa menjalani studinya. Sebaliknya, gelora pergerakan menjadi landasan bagi mahasiswa yang memiliki dan memilih orientasi-organisasi dalam menjalani studinya. Dua hal inilah yang sangat unik dalam dinamika kehidupan kampus. Yang terkadang memiliki penilaian tersendiri ketika mahasiswa memilih orientasi-kuliah atau orientasi-organisasi selama menempuh jenjang pendidikan di perguruan tinggi.
Ada mahasiswa yang sangat perhatian dengan orientasi kuliahnya. Orientasi-kuliah ini menyebabkan ia selalu fokus terhadap perkuliahan yang ada. Studi yang ia jalani menjadi sangat penting dalam proses pencapaian yang ia inginkan. Hal ini membuat mahasiswa yang berorientasi-kuliah saja acapkali mengabaikan atau tidak terlalu hirau terhadap kegiatan-kegiatan yang diadakan di kampus.
Sementara itu, ada pula mahasiswa yang memiliki orientasi-organisasi. Dengan orientasinya itu, ia selalu perhatian terhadap kegiatan-kegiatan yang ada di kampus. Tak heran jika perkuliahan di kelas selalu menjadi prioritas setelah organisasi. Kegiatan organisasi kemudian menjadi titik tolak dalam aktivitas dan proses pembelajarannya di kampus sebagai seorang mahasiswa.
Terdapat pula mahasiswa yang memiliki orientasi selain organisasi tetapi juga orientasi-kuliah. Aktivitas mahasiswa ini hampir sama dengan dikotomi mahasiswa seperti yang dijelaskan diatas, hanya saja ia menunjukkan konsistensi yang imbang antara kegiatan organisasi dengan kegiatan belajar di kampus melalui proses perkuliahan yang ada. Perkuliahan kemudian menjadi sama pentingnya dengan organisasi. Hal ini nampak dari keikutsertaan secara aktif dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian yang ada di kampus, baik dalam hal ikutserta sebagai peserta, panitia, dan pengurus organisasi. Keikutsertaan tersebut tak serta merta membuat ia melalaikan kewajiban kuliahnya. Kuliah merupakan bagian penting dalam proses belajar yang ia tempuh di perguruan tinggi. Tidak hanya dalam benak penulis, bagi siapa pun juga yang menilainya bahwa mahasiswa yang memiliki orientasi ini memang sangat ideal.
Oleh karena itu, pandangan mahasiswa yang memiliki orientasi-kuliah terhadap mahasiswa yang memiliki orientasi-organisasi bisa jadi berbeda. Satu sama lain memiliki ”alibi” tersendiri dalam menjustifikasi posisinya. Kewajiban seorang mahasiswa adalah menuntut ilmu semata untuk mencapai prestasi terbaik selama di perguruan tinggi, menjadi hal penting bagi mahasiswa yang memiliki orientasi-kuliah. Hal sebaliknya adalah pengembangan diri lebih lanjut dalam wadah-wadah organisasi, menjadi hal penting bagi mahasiswa yang memiliki orientasi-organisasi. Hal inilah yang memberikan warna dalam menilai kehidupan kampus.
Dalam sejarahnya, dinamika kehidupan kampus menunjukkan sebuah tren yang unik. Keunikan tren tersebut ditunjukkan dengan silih bergantinya orientasi mahasiswa pada masanya. Masa sebelum reformasi 1998, menunjukkan tren orientasi-kuliah yang mewarnai dinamika kampus (Kurniawan 2007: 1). Kemudian masa berganti, reformasi 1998 menunjukkan titik transformasi menuju orientasi-organisasi, sehingga gelora pergerakan menjadi landasan dalam tren orientasi ini. Namun, dalam perkembangan reformasi itu sendiri, tren tersebut ibarat bertransformasi kembali menuju orientasi-kuliah, sehingga sangat kental gelora intelektualitas dalam kampus. Tapi, gelora itu semu jika dibandingkan dengan gelora intelektualitas masa sebelum reformasi.
Masa setelah reformasi menunjukkan dinamika yang lebih mengarah pada orientasi-kuliah. Hal ini terkait dengan status Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara, yang dikenal PTBHMN, yang berimplikasi pada biaya pendidikan yang semakin tinggi. Tentunya, tingginya biaya pendidikan ini memberikan implikasi lanjutan bagi mahasiswa untuk memilih orientasi-kuliah daripada orientasi-organisasi. Anggapan untuk menjadi mahasiswa yang berorientasi-kuliah kemudian menjadi pilihan rasional dikalangan mahasiswa. Dengan begitu ia menjadi fokus kuliah dan segera menyelesaikan studinya. Sehingga biaya pendidikan dapat ditekan.
Meskipun orientasi-kuliah menunjukkan trennya dikalangan mahasiswa, tetapi tidak banyak pula mahasiswa yang tetap memilih orientasi-organisasi menjadi landasannya dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Semangat akan idealisme untuk lebih dekat dengan masyarakat dengan pergerakan yang praktis masih terdapat di sebagian mahasiswa. Setidaknya penulis melihat fenomena itu dihampir semua fakultas di Universitas Airlangga, yaitu masih ada mahasiswa yang orientasi studinya tidak hanya kuliah tetapi juga organisasi. Terlebih lingkungan dimana penulis berada, yaitu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), menunjukkan dinamika yang sangat unik mengenai orientasi studi tersebut diatas. Menilai latar belakang keilmuaanya, ilmu sosial dan politik, mahasiswa yang kuliah di kampus FISIP seperti menyelami dinamika kehidupan kampus yang terdikotomikan atas orientasi-kuliah dan/atau orientasi-organisasi selama jenjang studi yang diambil mereka. Hal ini pula yang penulis lihat dari orientasi yang dimiliki oleh mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, selanjutnya disebut Mahasiswa HI. Orientasi-kuliah dan orientasi-organisasi merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk diteliti dalam kaitan dengan Mahasiswa HI.
Kebanyakan mahasiswa program studi lainnya di lingkungan kampus FISIP menganggap eksklusif Mahasiswa HI. Hal ini terkait dengan jurusan ilmu hubungan internasional merupakan jurusan yang ”privilege” yang bersandar pada disiplin ilmu mutidisipliner. Fenomena ini telah membuat pandangan tersendiri terhadap Mahasiswa HI. Hal penting lainnya adalah bagaimana Mahasiswa HI memposisikan dirinya ketika bergaul, baik dalam arti interaksi sosial keseharian maupun dalam bentuk keikutsertaan Mahasiswa HI dalam matakuliah di luar program studinya, dengan mahasiswa program studi lainnya menghasilkan sebuah penilaian pula bahwa kebanyakan Mahasiswa HI adalah mahasiswa yang berorientasi-kuliah semata.
Melihat dinamika yang ada, penilaian itu bukanlah penilaian yang tidak berdasar. Mahasiswa yang mengambil program studi Ilmu Hubungan Internasional selalu disibukkan dengan tugas-tugas mingguan dalam setiap matakuliah yang mereka ambil. Sehingga, tugas mingguan merupakan rutinitas yang tak dapat diabaikan begitu saja. Menilai fenomena yang ada, rutinitas tugas tersebut akan semakin intens manakala jadwal kuliah yang mereka programkan sangat padat. Ini membuat hampir setiap hari Mahasiswa HI bergelut dengan tugas-tugasnya. Sehingga, aktivitas di luar kuliah jarang dilakukan, misalnya kegiatan organisasi.
Namun, ditengah-tengah mainstream Mahasiswa HI seperti tersebut diatas, ada keunikan yang penulis lihat yaitu, Mahasiswa HI yang perhatian dengan aktivitas di luar kuliah. Mereka adalah Mahasiswa HI yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional, selanjutnya disebut HIMA HI. Yang menarik untuk diteliti adalah Mahasiswa HI yang ikut serta menjadi pengurus HIMA HI tersebut. Disela-sela rutinitas tugas harian dan mingguan serta jadwal kuliah yang padat, mereka memberikan waktu untuk melakukan aktivitas organisasi, yang terkadang menyita waktu dan porsi belajar mereka. Ini merupakan fenomena yang unik dan menarik untuk diteliti, ditengah-tengah mainstream orientasi-kuliah dikalangan Mahasiswa HI. Sehingga, ada dua hal mendasar yang kemudian menjadi perhatian penulis yaitu, apa yang melandasi mereka untuk aktif dalam organisasi HIMA HI dengan ikut serta menjadi pengurus HIMA HI? Di sini kemudian ditekankan pada motivasi yang dimiliki pengurus HIMA HI. Perhatian berikutnya adalah bagaimana capaian prestasi, baik akademis maupun non-akademis, yang mereka peroleh ketika kuliah dan organisasi mereka jalankan secara bersama-sama? Itulah beberapa hal yang ingin penulis coba diskusikan dalam blog ini.
Millenium Development Goals (MDGs) merupakan sebuah kerangka global yang dibentuk pada 2000 oleh 189 negara untuk mencapai pembangunan yang kondusif bagi keberlangsungan hidup manusia di seluruh dunia, yang didalamnya terdapat delapan tujuan yang ingin dicapai bersama sebagai wujud kepedulian global atas tantangan-tantangan utama yang selama ini dihadapi dalam pembanguan (YIPD 2006; Official Web of UNDP). Sebagai sebuah kerangka global, MDGs memiliki peranan penting bagi perumusan dan pembuatan sejumlah mekanisme dan solusi alternatif secara bersama yang dapat meningkatkan kemajuan pembangunan sebuah bangsa. Dan pada akhirnya, akan dicapai sebuah kerjasama yang positif antar negara, baik negara maju maupun negara berkembang, untuk secara kolektif membangun kehidupan dunia menjadi lebih baik lagi.
Adapun delapan tujuan pembangunan millenium yang disepakati secara global tersebut meliputi (1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan tingkat mortalitas anak; (5) meningkatkan kesehatan maternal; (6) membasmi penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit kronis lainnya; (7) menjamin keberlangsungan lingkungan; dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (Official Web of UNDP). Fokus utama dari semua tujuan yang ingin dicapai adalah pembangunan manusia dengan meletakkan dasar pada konsensus dan kemitraan global untuk pembangunan. Hal inilah yang menjadi titik utama dalam mencapai target millenium development pada 2015.
Untuk memudahkan pencapaian MDGs, kerangka MDGs dilengkapi dengan sejumlah target dan indikator yang terdapat pada setiap tujuan milenium tersebut. Setidaknya terdapat 18 target dan 48 indikator dari semua tujuan milenium yang akan dicapai sehingga mempermudah dalam hal pengawasan dan pengukuran dari setiap kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh di setiap negara.
Terkait dengan penjelasan di atas maka, artikel ini memfokuskan pada tujuan MDGs ketujuh, yaitu menjamin keberlangsungan lingkungan. Ini sangat menarik dibahas karena masalah lingkungan telah menjadi perhatian bersama seluruh negara. Selain itu, masalah lingkungan merupakan hal yang krusial akhir-akhir ini terkait dengan sejumlah bencana alam dan perubahan iklim yang tak menentu akibat pemanfaatan lingkungan yang tidak berkelanjutan demi kepentingan dan keuntungan jangka pendek semata yang tidak mencerminkan pembangunan berkelanjutan. Masalah global warming kemudian menjadi perhatian utama seiring dengan semakin terancamnya keberlangsungan lingkungan kita di bumi ini yang pada akhirnya akan mengancam kehidupan manusia. Menilai krusialnya isu keberlangsungan lingkungan ini, maka bentuk collective actions dan good type apa yang sebenarnya ingin dicapai dalam menangani isu tersebut.
Goal 7: Ensure Environmental Sustainability
Akhir-akhir ini telah banyak terjadi bencana alam yang melanda di setiap negara baik bencana yang terjadi secara alamiah maupun akibat ulah manusia. Trend terjadinya bencana semakin meningkat diiringi dengan daya rusak yang begitu dahsyat yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup manusia. Menurut laporan ISDR (International Strategy for Disaster Reduction), selama sepuluh tahun terakhir ini setidaknya 478.100 orang yang meninggal, dan lebih dari 2,5 miliar orang terkena dampak dari bencana alam yang terjadi. Dan sekitar US$ 690 miliar kerugian ekonomi yang harus ditanggung akibat bencana tersebut. Hal ini seperti yang tercermin dalam bencana tsunami di Aceh, Indonesia pada 2004 lalu, yang telah merenggut ribuan nyawa dan hancurnya tatanan kehidupan orang Aceh. Pada 2004 juga di Filipina terjadi bencana angin topan yang telah merenggut 1000 nyawa dan menghancurkan kehidupan rakyat Filipina. Yang terbaru adalah bencana yang terjadi di Myanmar telah menyebabkan hal yang serupa. Masih banyak lagi contoh kasus bencana yang terjadi pada dekade akhir ini yang telah membawa kehancuran bagi pembangunan dan kehidupan manusia, termasuk di AS ketika Badai Katrina menghujam kawasan Kalifornia dan di Jepang yang akhir-akhir ini seringterjadi hujan asam.
Bencana-bencana tersebut terjadi tak lepas dari eksploitasi lingkungan alam besar-besaran, seperti penebangan hutan secara liar dan penambangan yang liar maupun legal, ataupun perkembangan industrialisasi yang telah membuat polusi udara, air, dan tanah. Tak heran jika bencana banjir akibat hutan gundul sering terjadi, bencana longsor akibat rusaknya kepadatan tanah, perubahan iklim yang tak menentu, dan akhir-akhir ini yang banyak dibahas adalah global warming. Pada akhirnya, ini memicu timbulnya bencana yang tidak hanya berakibat pada dimensi kehidupan manusia namun juga lingkungan itu sendiri akan semakin rusak parah. Jika ini terjadi maka bencana akan terus terjadi, sehingga antara bencana dan kerusakan lingkungan akan terjalin suatu siklus yang tak putus. Tentunya, dimensi kehidupan manusia akan terancam. Oleh karena itu, interval antara bencana dan lingkungan adalah dimensi manusia yang harus berupaya untuk meminimalisir atau mencegah bencana dan kerusakan lingkungan yang terjadi.
Upaya tersebut tidak akan berhasil dan mencapai titik dimana bencana dan kerusakan lingkungan dapat dihindari dan dicegah, manakala tidak ada komitmen bersama untuk menaggulangi bencana dan kerusakan lingkungan tersebut. Untuk itu, collective action sangat diperlukan dalam mengatasi masalah ini. Ini didasarkan bahwa kerusakan lingkungan atau bencana yang terjadi di suatu wilayah akan berdampak pada perubahan keseimbangan ekosistem maupun iklim atau cuaca dimana dampak perubahan tersebut dapat menyebar dan mempengaruhi keseimbangan alamiah wilayah lain. Hal ini sangat jelas dalam isu global warming yang kini menjadi isu bersama semua negara anggota UNFCCC yang berjumlah 191 negara (Tempo Interaktif, 14 November 2007). Global warming merupakan serangkaian dari Goal 7 yang diupayakan untuk mencapai dan menjamin keberlangsungan lingkungan. Hal ini tak lepas dari target kesembilan yaitu mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya yang hilang dengan indikator pengurangan deforestasi dan emisi gas rumah kaca (United Nations 2006, hal. 18-20).
Masalah global warming telah menciptakan rezim UNFCCC sebagai sebuah kerangka untuk mencegah atau menanggulangi dampak lingkungan akibat pemanasan global, seperti perubahan iklim dan cuaca yang tak menentu, efek rumah kaca, dan lain-lain. Isu global warming telah menjadi perhatian semua negara, kecuali AS, manakala tercapai sebuah kesepakatan dalam bentuk Protokol Kyoto untuk secara bersama-sama tanggap atas perubahan iklim yang semakin memanaskan suhu di bumi. Menjadi perhatian karena, efek pemanasan global tidak hanya dirasakan oleh satu atau dua negara saja melainkan seluruh negara di dunia akan terkena imbasnya karena kita hidup dalam satu atap bumi.
Fenomena global warming effect tersebut telah nampak dengan ditandai oleh sering terjadinya siklus hujan yang tak menentu, badai yang kian kuat daya topannya, mencairnya es kutub utara dan selatan yang agresif, suhu panas bumi yang semakin meningkat (efek rumah kaca), meningkatnya suhu rata-rata Danau Baikal, Siberia, Rusia hingga 1,21 derajat Celcius sejak 1946 yang menyebabkan terancamnya keseimbangan ekosistem di dalamnya (Kompas, 1&3 Mei 2008).
Sementara, menurut Verena Puspawardhani, koordinator kampanye bidang iklim dan energi World Wild Fund (WWF) Indonesia, efek global warming telah juga dirasakan Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan fenomena perubahan musim dimana musim kemarau lebih panjang yang menyebabkan gagal panen, krisis air bersih, dan kebakaran hutan; hilangnya berbagai jenis flora dan fauna, ini ditunjukkan dengan sebanyak 90-95 persen karang mati di Kepulauan Seribu akibat naiknya suhu air laut; meningkatnya temperatur suhu dari tahun 1998 sampai sekarang; dan meningkatnya kasus malaria dan DB karena suhu tropis yang ekstrim. Bahkan, diprediksikan bahwa pada 2070 pasang laut akan telah menyebabkan sekitar 800 ribu rumah yang berada di pesisir harus dipindahkan dan sebanyak 2.000 dari 18 ribu pulau di Indonesia akan tenggelam (Gatra.com, 30 Juni 2007).
Secara konkrit, collective actions yang dilakukan dalam menangani global warming ini seperti yang tertuang dalam Bali Roadmap sebagai hasil dari pertemuan UNFCCC di Bali pada 3-14 Desember 2007 (Tempo Interaktif, 14 November 2007). Point-point penting dalam Roadmap tersebut adalah mitigasi, adaptasi, teknologi, dan financing (endonesia.com, 30 November 2007). Upaya mitigasi dilakukan dengan mekanisme negara maju diminta untuk memberikan insentif kepada negara berkembang sebagai upaya menurunkan laju deforestasi. Adaptasi, dilakukan dengan menurunkan emisi gas rumah kaca melalui sustainable development, baik di negara maju maupun di negara berkembang, sampai pada 25-40 persen dalam rangka mencapai level stabilisasi gas rumah kaca dunia (Tempo Interaktif, 16 Desember 2007). Ketentuan tersebut sesuai dengan Annex-I. Teknologi, dilakukan dengan mewajibkan negara industri untuk mengupayakan alih teknologi rendah emisi gas rumah kaca. Sementara, financing dapat dikatakan sebagai pemberian insentif pada negara berkembang yang memiliki kawasan lindung di atas 10 persen. Semua hal tersebut menunjukkan sebuah aksi bersama dalam mencegah dan menyiasati efek-efek global warming bagi masa depan kehidupan manusia. Dan semua hal tersebut pada akhirnya akan memberikan kontribusi dalam mencapai Goal 7.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa good type yang ingin dicapai dalam Goal 7 adalah pure public goods. Salah satu ciri dari pure public goods adalah non-rivalry, yaitu konsumsi suatu barang (goods) oleh satu pihak tidak mengurangi ketersediaan kesempatan pihak lain untuk mengkonsumsi barang yang sama, dan non-excludable, yaitu baik pihak yang berkontribusi maupun tidak, tetap dapat menikmati manfaat barang tersebut (Sandler & Arce dalam Fiscal Studies 2002, hal. 198). Jika dilihat, keberlangsungan lingkungan yang dicanangkan dalam MDGs merupakan upaya untuk menjamin manfaat dari lingkungan tetap bisa dinikmati setiap generasi. Sehingga dampak dari kerusakan lingkungan merupakan efek bagi pengurangan akses individu terhadap sumber daya yang ada. Yang pada akhirnya akan menyebabkan persaingan dalam “mengkonsumsi” lingkungan. Selain itu, kebijakan nasional sebuah negara dalam mengatur lingkungan merupakan bagian eksternaliti dari pure public goods.
Masalah yang kemudian muncul adalah adanya free-raider dalam penanganan masalah lingkungan. Ini merupakan sebuah konsekuensi dari sifat non-excludable. Jika suatu negara berupaya mengurangi emisi gas rumah kacanya untuk menanggulangi global warming maka secara langsung akan berkontribusi terhadap pemeliharaan lingkungan dan pengurangan efek rumah kaca di bumi. Adanya pengurangan efek rumah kaca di bumi secara tidak langsung pula dirasakan manfaatnya oleh negara yang tidak berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kacanya. Oleh karena itu, upaya-upaya yang dilakukan oleh suatu negara untuk menjamin keberlangsungan lingkungan tidak diperlukan sebuah capacity building untuk memperkenankan negara lain mengambil manfaat dari upaya tersebut.
Selanjutnya adalah tipe collective action yang dilakukan dalam mencapai Goal 7 lebih pada summation, yaitu setiap unit kontribusi terhadap public goods akan berpengaruh terhadap tambahan barang yang tersedia untuk dikonsumsi (Sandler 2000, hal. 54). Hal ini tercermin dari sikap dan komitmen semua negara, kecuali AS, peserta UNFCCC di Bali yang menghasilkan Bali Roadmap untuk secara kolektif melakukan upaya pengurangan global warming. Kontribusi yang dilakukan setiap negara akan berpengaruh terhadap penurunan tingkat global warming di bumi sehingga bencana alam dan kerusakan lingkungan dapat diminimalisir dan disiasati. Pada akhirnya, kondisi tersebut akan menjamin keberlangsungan lingkungan yang lestari sehingga akan memberikan manfaat dalam jangka panjang dalam hal pemanfaatan lingkungan bagi semua individu. Hasil akhirnya adalah Goal 7 mungkin dapat dicapai pada 2015.
Namun, jika diamati upaya untuk mencapai keberlangsungan lingkungan pada 2015 belum menunjukkan trend yang positif. Dalam Bali Roadmap misalnya masih mencerminkan hubungan vertikal antara negara maju dengan negara berkembang yang tercermin dalam gap teknologi lingkungan yang tidak dimiliki negara berkembang. Sementara dengan kemajuan teknologinya, negara maju dapat dengan mudah melakukan upaya pengurangan emisi. Hal ini berdampak pada tekanan-tekanan yang dilakukan negara maju terhadap negara berkembang untuk mengurangi emisinya–hal yang belum mungkin dilakukan oleh negara bberkembang manakala industrialisasi masih menjadi dasar pembangunan mereka. Masalah ketimpangan teknologi ini juga bisa dipakai oleh negara maju untuk mencapai kepentingan ekonomi-politiknya, yaitu negara berkembang sebagai pangsa pasar teknologi negara maju, yang pada akhirnya akan terjebak pada paradigma industrialisasi. Selain itu, upaya mitigasi merupakan sebuah bentuk pelanggengan superioritas negara maju terhadap negara berkembang. Dengan mekanisme mitigasi ini membuat negara berkembang sebagai tempat pembuangan sampah emisi negara maju dan ini akan berdampak bagi semakin terbelakangnya negara berkembang dalam pembangunan. Pada akhirnya, upaya untuk mencapai Goal 7 hanya terjadi secara partial di beberapa wilayah saja. Ini merupakan kelemahan dari summation.
Untuk itu diperlukan sebuah kerjasama yang didasarkan pada i’tikad baik dan good political will dari negara-negara maju untuk secara murni membantu negara berkembang dalam usaha bersama mencapai Goal 7 ini. Karena secara fundamental kerangka MDGs merupakan bentuk “techniqal assistence” negara maju terhadap negara berkembang yang selama ini indeks pembangunannya masih dibawah dan mempunyai banyak kelemahan. Jadi, sebenarnya upaya-upaya atau solusi-solusi yang telah disepakati seperti tersebut diatas perlu ditingkatkan lagi dengan dasar i’tikad baik dan good political will dari negara-negara maju. Karena selama ini setiap bantuan yang diberikan masih memiliki tendensi politik lebih parah lagi bantuan tersebut merupakan “jebakan hutang” yang selamanya tidak bisa dibayar negara berkembang (Perkins 2007). Dan pada akhirnya, ini akan menjadikan ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju. Oleh karena itu, summation yang dilakukan haruslah benar-benar mencerminkan kontribusi setiap negara untuk secara murni menambah level supply dari keberlangsungan lingkungan.
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan suatu bangsa yang mayoritas penduduknya adalah muslim (baca: beragama Islam) yaitu sekitar 90 persen (Feith & Castles 1988: 195). Agama Islam adalah agama yang banyak dianut oleh penduduk dan warga negara Indonesia tetapi selain itu ada juga para penduduk dan warga negara Indonesia yang menganut agama non-Islam diantaranya Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghuchu dan agama lainnya yang dapat dikatakan penganut agama yang minoritas dari pada penganut agama Islam di Indonesia. Sehingga banyak kalangan, baik masyarakat; politisi; pengamat politik; mahasiswa; agamawan; birokrat; dan lain-lain, yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan suatu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Hal ini juga diperkuat dengan adanya pernyataan dari Menteri Luar Negeri Indonesia, Hasan Wirajuda, tentang bargaining power dalam diplomasi Indonesia dengan negara lain bahwa Indonesia adalah suatu negara dengan penduduk muslim moderat terbesar yang demokratis.
Jika kita lihat lagi dari sejarah Indonesia pada zaman kerajaan, banyak berdiri kerajaan yang berpedoman dan berideologikan Islam seperti Kerajaan Demak, Kerajaan Banten, Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Ternate dan Tidore dan lain-lain. Berdasarkan fenomena tersebut maka kehidupan masyarakat pada waktu itu tidak asing lagi dengan kehidupan yang bernuansa Islami dimana segala sesuatunya berpedoman pada al-Quran dan al-Hadist. Sementara itu, semangat perjuangan para ulama dan orang-orang Islam dalam melawan kolonialisme/penjajahan yang dilakukan oleh Belanda, yang sudah masuk dan menjajah Indonesia pada zaman kerajaan pada waktu itu, sangat besar untuk membawa Indonesia terlepas dari belenggu dan rantai penjajahan yang pada akhirnya menuju Indonesia Merdeka, seperti yang kita rasakan sekarang.
Menurut Herbert Feith, banyak sekali pembrontakan melawan penjajahan Belanda pada waktu itu bernaung di bawah panji-panji bendera Islam (Feith & Castles 1988: 195). Di sini terlihat betapa risaunya para ulama dan orang Islam untuk memandang fenomena penjajahan yang sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran dan kaidah-kaidah Islam dan bahwa perlakuan yang tidak adil dan merampas hak milik dan apa yang menjadi hak seseorang sangatlah diharamkan dalam Islam. Hal ini menunjukkan bagaimana peranan Islam dalam menyikapi kehidupan yang tidak hanya sekedar kehidupan tetapi juga ada masalah humanity di dalamnya yang segala sesuatunya telah diatur dengan cermat sesuai dengan fitrah manusia sebagai mahluk ciptaan Allah swt.
Selain itu, bisa kita lihat bagaimana para ulama atau para cendekiawan muslim atau pun raja pada waktu itu menggerakkan masa/rakyat untuk melakukan suatu gerakan perlawanan terhadap para penjajah yang memang bertentangan dengan nilai-nilai Islam atau nilai-nilai kemanusiaan umumnya. Gerakan perlawanan yang didasarkan pada hukum-hukum Islam demi mencapai suatu kemerdekaan waktu itu – dalam arti luas – adalah kemerdekaan untuk beribadah kepada Allah swt. dan menegakkan syariat Islam. Dalam perjuangan tersebut tampak bagaimana Islam mewarnai semangat untuk melawan kemungkaran yang ada. Artinya Islam dan nilai-nilainya bukan sekedar/sebatas sebagai ajaran agama saja, melainkan lebih dari sekedar agama yaitu, dapat dijadikan sebagai pedoman hidup atau sebagai suatu ideologi dalam menjalani kehidupan di dunia ini dan dalam segala dimensi kehidupan yang ada. Seperti yang dikemukakan oleh Drs. T. May Rudy (2003: 70), yang disadur dari pendapat DR. Yusuf Qardhawy dalam bukunya “Umat Islam Menyongsong Abad ke-21,” bahwa kenyataannya agama merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi pembentukan peradaban atau kebudayaan. Dari situ, dapat dimengerti mengapa Islam sangatlah berpengaruh terhadap masyarakat Indonesia pada waktu itu bahkan sampai sekarang.
Seiring dengan berjalannya waktu, pada masa pra-kemerdekaan telah hadir atau bermunculan suatu gerakan-gerakan atau organisasi-organisasi masa, sosial dan pendidikan keislaman, yang pada masa berikutnya yaitu masa kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan berkembang menjadi aliran politik, partai politik, organisasi sosial dan pendidikan atau pun sebuah aliran keagamaan saja dan lain-lain, yang ikut mewarnai proses kedinamikaan Indonesia menuju kemerdekaan dari para penjajah. Dan tak jarang, adakalanya gerakan-gerakan atau organisasi-organisasi masa keislaman pada waktu itu berselisih paham mengenai ajaran Islam sendiri, tetapi yang perlu ditekankan disini adalah aspek kebersamaan dalam menyatukan semangat untuk melawan penjajah dan keinginan untuk merdeka serta bagaimana pengaruh gerakan-gerakan atau organisasi-organisasi masa keislaman tersebut pada proses kedinamikaan Indonesia, baik di bidang politik khususnya, maupun di bidang-bidang lainnya seperti ekonomi, sosial, dan budaya. Pemahaman mereka mengenai Islam telah banyak melahirkan suatu pemikiran mengenai bagaimana "pesan-pesan" dalam al-Quran dan al-Hadist dapat diimplementasikan dalam kehidupan dunia ini untuk mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia dan membentuk suatu kehidupan (baca: negara) yang berpedoman dan berasaskan pada Islam serta membawa negeri ini pada suatu negeri yang baldatun toyyibah warobbun ghofuurun[1].
Sementara itu, pada waktu kemerdekaan atau tepatnya saat proklamasi Indonesia, Islam tetap berpengaruh terhadap perpolitikan Indonesia. Bagaimana proses pembentukan sistem politik yang akan dianut oleh Indonesia terjadi tarik ulur antara pihak nasionalis, yang menghendaki suatu negara bukan berdasarkan pada agama, dengan pihak Islamis, yang menghendaki ideologi dan pedoman hidup bangsa adalah sesuai dengan Islam (baca: al-Quran dan al-Hadistt). Sehingga, tak jarang pertarungan ideologi dan sistem politik yang tepat dan yang akan dianut oleh bangsa Indonesia terjadi, bahkan sampai pada tingkat yang paling ekstrim yaitu pembrontakan pada sistem politik yang ada, demi memperjuangkan prinsip dan ideologinya (dalam hal ini dilakukan oleh kalangan Islam meskipun tidak semuanya, terutama mereka yang mau berkompromi). Dan dapat dilihat pula pada saat sila pertama dari dasar negara, Pancasila, dalam tujuh kata terakhir yang berbunyi "...dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya" menjadi suatu perdebatan/permasalahan antara kalangan Islam dengan mereka yang non-Islam yang berargumen bahwa tujuh kata tersebut dapat menyebabkan disintegrasi bangsa terutama dari Indonesia bagian timur. Pada akhirnya tujuh kata tersebut, dari kalangan Islam meskipun ada juga yang menolak dan bersikukuh terhadap tujuh kata tersebut agar dicantumkan dalam sila pertama Pancasila, sepakat untuk dihapuskan dari sila pertama Pancasila. Betapa jelas bahwa Islam sangatlah memiliki pengaruh yang besar terhadap kedinamikaan Indonesia selama ini.
Pertarungan itu juga meliputi penilaian kritis kalangan Islam terhadap hukum-hukum yang ada di Indonesia, sehingga memicu reaksi untuk merubah (baca: melawan) hukum-hukum yang ada dengan cara-cara yang melembaga, seperti mengajukan revisi dan penolakan, maupun tidak melembaga seperti pembrontakan, pada tingkat yang paling ekstrim, seperti yang terjadi di Aceh, yang notabene masyarakatnya adalah mayoritas muslim sehingga diberi julukan Serambi Mekkah, Daud Beureueh memproklamasikan Aceh sebagai satu wilayah Negara Islam Indonesia dengan pernyataannya bahwa:
"Atas nama Allah kami rakyat Aceh sudah membuat sejarah baru di atas persada tanah tumpah darah, kami berkendak membentuk suatu Negara Islam. ...Kami akan mengatakan bahwa tindakan kami ini disebabkan oleh hukum yang kacau atau karena kekacauan hukum; tentu tidak heran; kekacauan akibat (karena) kekacauan hukum, tentu orang tidak akan dapat memperbaiki akibat sebelum is sendiri memperbaiki asal pokok musababnya (Feith & Castles 1988: 209-211).”
Tampak bahwa bagaimana pertarungan ideologi atau pemikiran politik, yang berpengaruh terhadap kehidupan bangsa, sangatlah tajam dan pada ujung-ujungnya terjadi suatu manifestasi perlawanan dalam bentuk solusi akhir yaitu membrontak atau melakukan pembrontakan terhadap sistem politik yang ada.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada saat Indonesia akan melakukan pemilihan umum pertama tahun 1955, banyak kalangan Islam mendirikan suatu partai politik yang berazaskan Islam sebagai fondasi utama dalam perjuangan politiknya. Akibatnya, pada pemilihan umum 1955 suara umat Islam terpecah-pecah. Partai Masyumi yang sebelumnya sudah diramalkan akan mendapat suara terbanyak atau bahkan mayoritas mutlak ternyata hanya mendapat seperlimanya saja, lebih sedikit dari PNI salah satu partai nasionalis. Sementara, NU hanya mendapatkan 18% saja (Feith & Castles 1988: 197). Tetapi dalam perolehan kursi di DPR, Masyumi memperoleh kursi lebih banyak, yaitu sebanyak 60 kursi, dari pada PNI yang selisih hanya 2 kursi yaitu, 58 kursi. Sementara itu, NU memperoleh 47 kursi (Tim Penyusun Master 2004: 8). Meskipun demikian, kalangan Islam tetaplah berpengaruh terhadap masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Hal ini bisa dimaklumi karena pengaruh sebuah "komunitas atau kalangan" tertentu seperti halnya suatu siklus gelombang yang pada saat tertentu bisa naik secara tajam dan dengan waktu yang relatif lama dan begitu pula pada saat tertentu bisa turun secara berkala dan bahkan signifikan.
Hal tersebut, bisa dilihat pada masa Orde Baru, Soeharto. Dalam demonologi pemerintahan Orde Baru, yang berkuasa sejak 1966, politik Islam telah lama dinamai sebagai “ekstrem kanan.” Nama tersebut dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mendefinisikan batas-batas perilaku politik yang dapat diterima, dan untuk mengeluarkan dari arena politik, ide-ide, pelaku-pelaku, dan organisasi-organisasi yang dianggap berada di luar "konsensus nasional" yang didefinisikan oleh doktrin negara, Pancasila (Liddle 1997: 65). Hal ini menyebabkan marginalisasi Islam dalam politik maupun dalam dimensi kehidupan lain di arena nation-state Indonesia. Banyak represi yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap kalangan Islam sehingga membuat mereka tidak berkutik untuk melakukan perlawanan-perlawanan politik. Namun, iklim Orde Baru telah berubah, semenjak Soeharto lengser dari jabatannya, menjadi iklim Reformasi yang telah memberikan nuansa yang kondusif bagi "pertarungan" dan partisipasi politik bagi seluruh elemen masyarakat, termasuk Islam, demi mengembangkan suatu tatanan kehidupan yang barn (baca: pasca rezim Orde Baru) yang lebih baik, adil, transparan dan berkebebasan yang bertanggung jawab.
Di masa Reformasi, kalangan Islam dan politiknya telah bangkit kembali untuk tetap mewarnai arena politik Indonesia demi satu tujuan agar ditegakkannya nilai-nilai dan Ideologi Islam untuk menciptakan "masyarakat yang Islami" tanpa harus menyingkirkan entitas kebangsaan yang ada dan masyarakat non-muslim lainnya, tetapi tetap dalam semangat toleransi antar komunitas yang ada dan membentuk negeri yang Islami. Berdasarkan penjelasan di atas maka terlihat betapa kedinamikaan yang dialami bangsa Indonesia selalu diwarnai oleh Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia ini, mulai dari zaman kerajaan sampai zaman reformasi sekarang.
[1] Lihat misalnya al-Qur’an, Surat Saba’ (34): 15.
Teori Fungsionalisme yang dikemukan oleh Robert K. Merton bertolak pada pemahaman mengenai masyarakat dimana semakin beragam dan semakin gigatin sebuah sistem sosial kemasyarakatan akan menciptakan tujuan-tujuan yang hendak ingin dicapai. Merton (dalam Margaret M Poloma 2000: 33-34) mengemukakan bahwa setiap masyarakat memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai di dalam lingkungannya. Untuk mencapai tujuan itu membutuhkan sarana (means), walaupun demi pengejaran tujuan itu melanggar legitimasi-legitimasi yang telah disepakati oleh masyarakat di dalam suatu sistem kemasyarakatan.
2. Self-Orientation Talcot Parsons
Self-orientation Talcot Parsons merupakan bagian dari penjelasannya mengenai pattern variable yang ia kembangkan pada 1960-an yang diturunkan dari dikotomi klasik Tonnies mengenai Gemeinschaft dan Gesellschaf (Margaret M Poloma 2000: 172-173). Pada intinya, Parsons menjelaskan bahwa self-orientation merupakan orientasi pribadi yang dimiliki individu dalam setiap tindakan yang mereka lakukan demi mencapai tujuan dan kepentingan pribadinya. Untuk itu, orientasi pribadi merupakan bagian yang melekat erat dalam diri individu pada setiap dimensi hubungan sosialnya dengan lingkungan masyarakat. Motif self-orientation kemudian menjadi sebuah gambaran dalam relasi sosial individu.
3. Teori Human Motivation A. H. Maslow
Teori Human Motivation dikemukakan oleh Maslow pada 1943. Maslow (dalam Harriman 1970: 389) mengemukakan bahwa setiap tindakan yang dilakukan manusia pasti didasarkan pada motivasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu yaitu, pemenuhan kebutuhan fisik, keamanan, kasih sayang atau afeksi, penghargaan, dan aktualisasi diri. Untuk itu, manusia berusaha memenuhi dan mencapai tujuan-tujuan tersebut sehingga menghasilkan sebuah kepuasan dalam diri manusia. Kepuasan ini merupakan sesuatu yang mendasar dalam diri manusia.
Selanjutnya Maslow mengungkapkan bahwa kebutuhan dasar tadi saling terkait satu sama lain. Namun, terkadang manusia memberikan prioritas terhadap kebutuhan tertentu. Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan yang menjadi prioritasnya maka tercipta motivasi yang sangat besar dalam diri manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan segera. Sedangkan kebutuhan lain yang belum menjadi prioritas akan dikesampingkan atau dilupakan, baik dalam arti melupakannya secara sengaja atau tidak.