.
.
.
.
.

Kebangkitan Islam di Indonesia

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Krisis ekonomi yang terjadi sejak akhir tahun 1997 dengan demikian jelas menimbulkan dampak-dampak signifikan terhadap perkembangan Islam di negeri ini. Perkembangan tersebut akan terus berlanjut mengikuti perkembangan zaman yang semakin jauh dari nilai-nilai agama dimana kemajuan zaman semakin membuat manusia kehilangan jati dirinya dan “kekacauan” karena sistem yang sangat sekuler. Lebih dari itu, berlarut-larutnya krisis ekonomi yang terjadi membukakan kenyataan tidak hanya rapuhnya “kelas menengah Muslim” tetapi juga bahkan ekonomi dan juga politik Indonesia ketika berhadapan dengan globalisasi (Azra 1999: xviii).

Dilihat dari perspektif perkembangan internalnya, umat Islam Indonesia sendiri kelihatannya semakin plural. Globalisasi pemikiran Islam yang memasuki Indonesia semakin beragam, sehingga “klaim-klaim kebenaran” dari pihak tertentu di dalam umat Islam Indonesia sendiri semakin kehilangan momentumnya. Secara aktual dapat dilihat, bahwa perbedaan dan pertikaian aliran di kalangan umat Islam, seperti antara Muhammadiyah dan NU misalnya, semakin tidak populer. Dan ini terlihat dari motif-motif kemunculan partai-partai politik Islam yang disebabkan persoalan furu’iyah, atau perbedaan mahzab dan aliran, tetapi lebih karena konteks pengaruh dan kekuasaan di kalangan elit kepemimpinan Muslim (Azra 1999: xix).

Sementara itu, para pengamat pernah memprediksi bahwa jika ada “kebangkitan Islam”, maka kebangkitan Islam itu akan terjadi di Indonesia atau Malaysia, atau tepatnya Asia Tenggara. Menurut Azra (1999, pp. 19-24), dengan berlanjutnya krisis ekonomi, politik, dan sosial di Indonesia, maka prediksi tersebut agaknya perlu dikaji kembali. Namun, variabel-variabel krisis tersebut dapat diabaikan atau jangan terlalu dibuat sebagai suatu problematika bagi kebangkitan Islam. Karena, pada hakekatnya krisis tersebut terjadi karena sistem yang “tidak harmonis” (baca: kacau) antara manusia, kehidupan, dan lingkungannya (an-Nabhani 2003). Jika kita memiliki keinginan dan kemampuan untuk mempengaruhi dan merubah sistem politik yang ada dengan suatu sistem yang benar-benar menyeluruh dalam memandang kehidupan–dalam arti yang seluas-luasnya–secara jelas dan objektif sehingga pemaknaan kehidupan akan dikaitkan dengan kehidupan selanjutnya–yang merupakan sebuah keniscayaan–pada akhirnya akan menimbulkan sinergi antara materi dengan rohani/spiritualitas. Dari sana akan terlihat suatu kehidupan yang penuh dengan “keharmonisan” dan ketawadu’an serta penuh kasih dan sayang antara manusia dengan sesama maupun dengan mahluk hidup ciptaan Allah Swt. serta dengan lingkungan sekitarnya.

Mengenai akan adanya kebangkitan/revivalisasi Islam ini, terdapat suatu pendapat yang sangat “mencolok” seperti yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dalam sebuah bukunya yang berjudul The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (dalam Rudy 2003: 72-74) mengatakan bahwa akan terjadi suatu benturan peradaban antara Islam dan Barat (baca: Amerika Serikat) setelah perseteruan dan perselisihan ideologi yang sebelumnya antara Barat, yang liberal kapitalis, dengan Komunis, yang dianggap diktator otoritarian. Lanjutnya bahwa musuh kedua Barat (baca: Amerika Serikat) setelah Komunis runtuh adalah Islam dan konfusianis (baca: Republik Rakyat Cina). Tesisnya mengenai benturan peradaban antara Islam dan Barat didasari oleh beberapa asumsi dan konflik yang terjadi diantaranya sebagai berikut.

a). Term la guerra fria merupakan istilah yang digunakan oleh orang-orang Spanyol abad XIII untuk melukiskan hubungan yang tidak “menyenangkan” antara mereka dengan umat Islam Mediteranian, dan pada tahun 1990-an, sebagian orang melihatnya sebagai “perang dingin peradaban” yang kemudian kembali terulang dalam hubungan antara Barat dengan Islam;

b). Islam adalah satu-satunya peradaban yang mampu membuat Barat selalu berada dalam keraguan antara hidup dan mati, dan ia telah melakukannya, setidak-tidaknya, dua kali yaitu ketika Khilafah Turki Utsmani melemahkan kekuatan Byzantyum dan kemudian menaklukan sebagian besar di wilayah Balkan serta Afrika Utara, serta mengepung Konstantinopel pada tahun 1453, kemudian pada tahun 1529 menyerbu Wina;

c). Bahwa 50% dari seluruh penyerangan yang terjadi di pelbagai negara antara tahun 1820 sampai dengan 1929 merupakan perang agama antara Islam dengan Kristen;

d). Konflik, di satu pihak disebabkan adanya perbedaan kondes Islam, terutama menyangkut pandangan hidup, mentransendensikan dan menyatukan antara agama dan politik versus konsep Kristen yang memisahkan antara Tuhan dengan Kaisar;

e). Tingkatan konflik antara Islam dengan Kristen senantiasa dipengaruhi oleh siklus pertumbuhan penduduk, kemajuan ekonomi, perubahan teknologikal, dan intensitas komitmen keagamaan;

f). Selama Islam tetap sebagai Islam (dan akan tetap demikian), Barat tetap Barat (yang tampaknya tidak bisa dipastikan), konflik fundamental antara dua peradaban besar dan dua way of life ini akan terus terjadi di masa yang akan datangsebagaimana ia pernah terjadi empat belas abad yang lalu;

g). Selama lima belas tahun, antara tahun 1980-1995, menurut Departemen Keamanan AS, Amerika Serikat telah melakukan tujuh belas operasi militer di Timur Tengah, seluruhnya diarahkan untuk menyerang Islam. Tidak pernah dilakukan bentuk-bentuk operasi miiter AS yang demikian itu terhadap peradaban-peradaban lain;

h). Bagi Barat, yang menjadi “ganjalan” utama bukanlah fundamentalisme Islam, tetapi Islam itu sendiri, sebuah peradaban yang masyarakatnya berbeda dengan kebudayaan yang mereka diyakini memiliki keunggulan dan terobsesi dengan inferioritas kekuatan mereka.

Itulah benturan peradaban yang disampaikan oleh Huntington. Poin yang ingin disampaikan disini adalah bahwa Islam baik sebagai agama dan ideologi sangatlah mempunyai potensi dan kemampuan yang dapat “memusingkan” Barat sehingga tidak menutup kemungkinan Islam akan bangkit kembali seperti mengalami kejayaan dan kemajuan masa lalu. Dan hal ini akan menjadi resistensi bagi Barat sendiri.

Dan adapun kaitannya dengan Islam di Indonesia maka akan sangat menguntungkan dan berpotensi sekali apabila Islam telah “revival” di seluruh dunia, entah awal dari revivalitas Islam itu sendiri berada di Indonesia, Malaysia, Iran, Mesir, Arab, Brunai atau di negara/tempat lain–entah dimana itu–yang pasti revivalitas Islam, menurut penulis, kemungkinan besar akan terjadi. Dan revivalitas itu akan mempengaruhi kedinamikaan politik dan sosial di Indonesia karena Indonesia merupakan negara Muslim terbesar di dunia. Dan pada saat itu umat Islam akan bersatu di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang apabila hal itu (baca: revivalitas) terjadi maka kemungkinan besar negeri tercinta kita akan menjadi Negara yang berazaskan Islam, suatu agama yang diridhoi oleh Allah Swt. untuk menjadi agama seluruh umat manusia dengan al-Quran dan al-Hadist sebagai pedoman hidupnya. Terlihat jelas betapa revivalitas Islam kemungkinan besar akan terjadi bahkan memiliki prospek juga di Indonesia, Islam di Indonesia akan revival.

Selain dari kerangka Huntington bahwa pada akhir abad ke-20 terjadi kebangkitan agama di seluruh dunia yang melibatkan intensifikasi kesadaran keagamaan dan menggejalanya gerakan-gerakan fundamentalis, berdasarkan Word Christian Encyclopedia 1982 bahwa sebagai hasil kenaikan jumlah penduduk dunia yang luar biasa, jumlah pemeluk agama Islam terus mengalami kenaikan secara dramatis, dan mencapai sekitar 20% dari seluruh penduduk dunia pada peralihan abad ke-20, yang beberapa tahun kemudian, akan mencapai kurang lebih 30% dari seluruh penduduk dunia pada tahun 2025. Hal ini juga mengisyaratkan pada Islam di Indonesia bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah beragama Islam, artinya agama Islam adalah agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat/warga negara Indonesia dari pada agama yang lainnya. Sehingga, dengan mengabaikan dan tidak terlenakan oleh perbedaan-perbedaan paham/aliran yang ada, sekali lagi bahwa prospek kebangkitan Islam di Indonesia adalah sangat besar.

Seperti yang diungkapkan oleh Azra (1999: 17-18) bahwa pengalaman Islam di Indonesia dalam [dua] dasawarsa terakhir membuat kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Islam tidaklah mengalami kebangkrutan dalam proses modernisasi. Seperti diketahui, banyak ahli seperti Donald E. Smith, Robert Bellah atau pakar/pendeta Protestan semacam Harvey Cox berteori bahwa agama akan mengalami kebangkrutan dan tersingkir dalam kehidupan masyarakat yang semakin teknokratis dan impersonal tidak lagi memerlukan agama, dan bahkan harus disingkirkan karena dianggap menghalangi modernisasi (Arif dalam Islamia vol. III no. 2, Januari-Maret 2007). Berheda dengan teori-teori tersebut, agama bahkan mengalami kebangkitan dan menemukan momentum dan vitalitas baru dalam modernisasi. Dengan demikian, jelaslah bahwa teori-teori yang berangkat dari kerangka sosio-kultural (sosio-cultural framework) Barat tidak selalu mampu mejelaska fenomena dan perkembangan masyarakat-masyarakat non-Barat, seperti masyarakat Islam. Pengalaman historis dan sosiologis Barat yang mempunyai latar belakang kultural keagamaan Kristen tidak harus sama dengan pengalaman Indonesia dengan lingkungan dan latar belakang sosial keagamaannya yang banyak diwarnai Islam (Azra 1999).

Oleh karena itu, jelas bahwa revivalisme Islam ini akan sangat berpengaruh sekali terhadap sistem sosial-politik di Indonesia. Sehingga kalangan muslim akan menjadi “suatu hal” yang sangat serius untuk sangat diperhatikan karena mereka telah memiliki potensi dan kemampuan serta kapasitas yang telah didukung oleh revivalisme Islam. Dimana revivalisme ini tidak hanya di Indonesia tapi seluruh Dunia untuk kembali berjaya seperti pada masa kejayaannya dulu, yaitu saat dipimpin oleh Rosulullah saw. dan pada zaman khalifaur rosyidin yang dipimpin oleh seorang khalifah–dimana khalifah ini menjadi pemimpin umat Islam sedunia. Maka timbullah persatuan yang kuat dan rasa persaudaraan yang tinggi seperti yang diajarkan oleh Rosulullah saw, bahwa sesama muslim adalah bersaudara, seperti apabila ada bagian dari tubuh kita yang sakit maka yang lainnya akan merasakan sakit juga. Di saat itulah entitas negara Indonesia akan menemui suatu “pembaruan sistem” yang pada akhirnya segala sesuatunya akan merujuk pada al-Quran dan al-Hadist. Mengenai perbedaan penafsiran al-Quran dan al-Hadist tidaklah perlu dikhawatirkan karena telah ada suatu khalifah yang memimpin umat Islam yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan atas hal tersebut (Kurnia dalam al-Wa’ie no. 86 tahun VII, 1-31 Oktober).

Salah satu momen yang terkait dengan revivalisme ini misalnya, pada 12 Agustus 2007 kemarin Hizbut Tahrir Indonesia telah mengadakan Konferensi Khilafah Internasional di Stadion Glora Bung Karno. Konferensi yang dihadiri seratus ribuan orang ini memberikan nuansa yang berbeda terhadap kebangkiatan Islam karena komitmen untuk mendirikan manhaj Kenabian (baca: Khilafah Islamiah) merupakan tujuan utama bagi HTI agar syariah bisa diterapkan di Indonesia. Manakala dibandingkan dengan muktamar NU ataupun Muhammadiyah maka sangat jauh sekali karena kedua gerakan Islam ini memiliki metoda yang beda dalam menerapkan syariah yang tidak harus melalui pemerintahan Islam (Khilafah). Menurut Hasyim Muzadi, yang dikutip dari Gatra.com, 9 Juli 2007 mengatakan,

“meskipun sama-sama berdakwah dan berjuang untuk menegakkan ajaran Islam, katanya, NU dan HTI memiliki pandangan yang mendasar tentang konsep kenegaraan. NU turut berjuang dalam upaya kemerdekaan Indonesia dan akan tetap mendukung tegaknya NKRI, sementara HTI berjuang mengembangkan Khilafah Islamiyah.”

Di lain pihak Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin ketika diwawancarai oleh ANTARA (Kapanlagi.com 2007) mengatakan,

“Saya kira kita sudah final dengan NKRI dan Pancasila sebagai landasan kita berbangsa dan bernegara, katanya, silakan saja HTI menganggap Khilafah Islamiyah sebagai kepemimpinan Islam. Tetapi dalam Islam, makna khilafah sangat luas dan banyak persepsi. Misalnya, setiap orang adalah khilafah atau pemimpin dalam dirinya sendiri.”

Terlepas dari perbedaan tersebut yang pasti dalam sejarah Indonesia, Islam memiliki pengaruh kuat terhadap dinamika bangsa ini yang berdampak pada kebangkitannya kembali.

Jadi, mengenai revivalisme Islam tidaklah perlu diragukan lagi karena banyak pengamat politik khususnya, telah memprediksikan hal tersebut dan sebagai konsekuensinya akan berimbas kepada Indonesia yang memiliki potensi muslim terbesar di seluruh dunia. Mengenai dimanakah–wilayah atau negara tertentu–revivalisme Islam itu terjadi, masih perlu dikaji dan diteliti lebih jauh lagi. Dan hal ini merupakan pertanyaan besar bagi kita, apakah akan terjadi di Asia Tenggara (tepatnya apakah di Indonesia, Malaysia, atau dimana?) atau terjadi di Timur Tengah (Arab Saudi, Mesir, Iran, atau dimana?) ataukah di Eropa mungkin, Amerika mungkin, atau dimana? Yang pasti (baca: kemungkinan besar) akan memiliki pengaruh bagi Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar.


2 comments:

  1. Irfa said...

    Iya,... memegang your value is ultimate defense and offense. What is your value? it is related your identity. West or East, Christian or Islam. You decide it.

    In doing that, read Identity by Amartya Sen. Dia bilang, everybody has multiple identity. She or he can live in Indonesia, a muslim, but already experience live in Maryland for couple years. Be aware of that.

  2. Edy Jayakarya said...

    you are right, and i do agree with you, but something that we hate to know, in this world there's hierarchy of civilization, not only our value. So the high point of civilization may becomes the greater leader to make this world doing by its order. Every life is nothing without the hierarchy of those. For this words, it doesn't means that i'm structuralist because i still emphasize the peaceful co-existence principle that we must hold together to live each other. And what civilization can do that? i think the civilization that has whole system to regulate our life more better than ever and make this world more secure... i think we had nice discussion, thanks for comment...

    Edy (the blog's owner)

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.