.
.
.
.
.

Amandemen Konstitusi Jepang Pasal 9

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk. & Yunita Iliana

print this page Print this article

Perkembangan yang sangat menarik dari politik di Jepang adalah adanya keinginan Jepang untuk membangun kembali kekuatan militernya sebagai basis keamanan dan pertahanan Jepang yang selama ini bergantung pada AS. Isu ini telah memberikan dampak signifikan bagi dinamika eksistensi pasal 9 yang telah banyak diperdebatkan oleh para anggota Diet, antara mereka (kaum kanan) yang menginginkan amandemen pasal 9 vs mereka (kaum kiri) yang tetap menganggap pasal 9 sebagai pasal pasifis yang tak perlu diamandemen. Hal ini telah memberikan dampak bagi semakin tidak jelasnya fungsi militer di Jepang, di satu sisi dianggap sebagai pasukan self-defense, tapi di sisi yang lain mereka memiliki kemampuan yang setara dengan militer. Tak heran jika isu amandemen pasal 9 mencuat sebagai respon terhadap dinamika eksternal dari hubungan internasional Jepang.

Selama lebih dari setengah abad, sejak Perang Dunia II berakhir, kapasitas Jepang untuk membangun kekuatan militernya dikekang oleh Konstitusi 1947. Konstitusi tersebut dibuat oleh AS sebagai negara pemenang Perang Dunia II, untuk melucuti semua kapasitas militer Jepang yang telah memicu Perang Dunia II. Dengan adanya konstitusi tersebut, negara Jepang yang tadinya bersifat ekspansionis-imperialis dan suka perang, kini telah berubah menjadi negara pasifis yang selalu menekankan solusi damai diluar kekerasan dan militerisme (Kompas, 16 April 2005).

Pada Mei 2007, bertepatan dengan perayaan 60 tahun konstitusi Jepang, Perdana Menteri Shinzo Abe berkeinginan untuk mengamandemen konstitusi. Amandemen tersebut terkait dengan pasal 9 dari konstitusi Jepang yang melarang Jepang untuk memiliki kekuatan militer dan mengharuskan Jepang untuk menjalankan kebijakan Pasifisme. Sebenarnya, isu amandemen pasal 9 telah ada sejak pasal itu ditetapkan. Hal ini tercermin dalam pertarungan kaum kiri vs kaum kanan dalam Diet menanggapi adanya pasal 9 tersebut (Reischauer dalam Mas’oed & MacAndrews 2001: 215).

Kaum kiri cenderung khawatir terhadap dinamika aliansi militer AS-Jepang dalam sebuah kerangka mutual security treaty misalnya, akan membawa Jepang ke era 1930-an yang diwarnai oleh peperangan. Sementara kaum kanan, mengangap bahwa progesifitas gerakan kaum kiri akan membawa Jepang ke arah yang lebih labil tanpa ada kekuatan yang dapat menunjang kepentingan Jepang di luar negeri. Oleh karena itu, isu amandemen pasal 9 ini telah menarik perhatian para politisi dan masyarakat Jepang sendiri dalam menanggapi dinamika eksternal dari hubungan luar negeri Jepang.

Hal yang sangat penting untuk diamati dalam membahas isu amandemen pasal 9 tersebut adalah faktor-faktor apa sajakah yang melandasi adanya amandemen pasal 9 tersebut sehingga sangat penting bagi stabilitas dan keamanan Jepang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka teori persepsi ancaman bisa digunakan sebagai alat analisis.

Teori Persepsi Ancaman

Persepsi merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam konteks hubungan internasional. Persepsi ini sangat berperan dalam menentukan bagaimana suatu aktor melihat dan mendefinisikan lingkungan atau realita. Untuk itu, persepsi dapat menjadi sebuah pedoman bagi suatu aktor untuk bertindak dan merespon atas realitas yang ia lihat.

Persepsi menurut Desiderato (dalam Rakhmat 1999: 51) merupakan pengalaman mengenai suatu objek, peristiwa, atau relasi-relasi yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan yang ada. Sehingga dapat dikatakan bahwa persepsi merupakan stimuli inderawi atas realitas suatu objek yang kita lihat dan nilai. Pada akhirnya persepsi ini akan berpengaruh terhadap tindakan dan reaksi yang dilakukan suatu aktor berdasarkan citranya atas lingkungan atau realitas tersebut (Holsti 1987: 470-471).

Menurut Holsti, persepsi suatu aktor tak lepas dari bagaimana pendefinisian situasi yang dilakukan oleh aktor tersebut terhadap lingkungan atau realitas yang dihadapi baik yang ada di internal maupun eksternal. Pendefinisian situasi tersebut terkait erat dengan kesan, sikap, kepercayaan, dan kebutuhan personal seperti doktrin dan ideologi serta analogi para decision-makers terhadap situasi yang dihadapinya. Holsti menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh suatu aktor didasarkan atas kesannya terhadap lingkungan dimana kesan tersebut terkait erat dengan nilai-nilai yang ada sehingga akan membentuk sikap aktor tersebut terhadap lingkungan atau realitas yang dihadapi (Holsti 1987: 470-486). Dengan demikian, persepsi suatu aktor sangat mempengaruhi tindakan apa yang akan diambil berdasarkan preferensi yang ada sesuai dengan penilaian atas lingkungan atau realitas.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dijelaskan mengenai persepsi ancaman, seperti yang dikemukakan oleh Dean Pruitt, bahwa semakin kuat pengaruh kecenderungan (predispositions) untuk merasakan ancaman maka semakin ancaman tersebut dapat dirasakan (dalam Papp 1988: 154). Kecenderungan untuk merasakan ancaman tersebut didasarkan pada persepsi bahwa suatu aktor menilai akan potensi ancaman yang datang dari lingkungannya.

Adanya keinginan Jepang untuk mengamandemen Konstitusi 1947 khususnya pasal 9 tak lepas dari adanya persepsi ancaman yang dirasakan Jepang dalam dinamika hubungan internasionalnya. Persepsi itu muncul dari penilaian Jepang terhadap lingkungan eksternal yang berpotensi sebagai ancaman bagi keamanan dan perdamaian Jepang. Amandemen pasal 9 merupakan suatu cara bagi Jepang untuk menyeimbangkan potensi ancaman yang muncul dari luar.

Dinamika dalam Implementasi Pasal 9

Beberapa waktu lalu tepatnya Mei 2007, Jepang sedang menghadapi masalah besar yang berkaitan dengan konstitusi atau undang-undang negaranya. Pemerintahnya sedang berusaha melakukan amandemen konstitusi negara secara meyeluruh. Namun dari beberapa amandemen yang ada, masalah yang paling menimbulkan polemik di dalam maupun luar negeri adalah masalah konstitusi yang menyangkut perang. Konstitusi ini di Jepang tertuang didalam undang-undang Jepang pasal 9:


“(1) Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international disputes.

(2) In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never be maintained.

(3) The right of aggression of the state will not be recognized.”

(The Japanese Constitution)

Konstitusi tersebut telah ditetapkan beberapa tahun setelah Jepang mengalami kekalahan dalam PD II, yakni pada tanggal 3 Mei 1947. Kekalahan Jepang pada PD II mengakibatkan negara ini harus menerima Konstitusi Meiji 1889 digantikan dengan konstitusi yang dibuat oleh 24 pengacara AS dibawah ketua Charles Louis Kades atas kuasa dari Jendral McArthur (Everything 2001). Ini merupakan awal bagi Jepang untuk melucuti militernya secara sistematis dan konstitusional. Pada waktu itu, Jepang dipimpin oleh tokoh yang beraliran pasifisme (anti perang) keras, yaitu Perdana Menteri Shigeru Yoshida, sehingga konstitusi tersebut tak masalah diadopsi oleh Jepang (Sjamsumar 2005). Sampai saat inipun terkecuali aliran kanan, masyarakat Jepang secara umum menganggap bahwa pasal 9 ini telah berjasa dan memberikan kontribusi yang besar dalam mengantarkan Jepang ke pintu gerbang kemajuan yang telah dicapainya sekarang ini (Cipto 2006: 182-184).

Akibatnya, semua kebijakan Jepang lebih mengarah ke bidang ekonomi. Hubungan yang dibangun kemudian difokuskan pada bidang non-militer dan non-politik. Oleh karena itu, setiap konflik dunia yang muncul, Jepang tidak pernah mengikutsertakan pasukan militernya untuk membantu. Kontribusi yang dilakukan oleh Jepang lebih kepada bantuan finansial.

Pada 1991, Perdana Menteri Kiichi Miyazawa mengeluarkan konstitusi yang membenarkan keikutsertaan tentara bela diri Jepang, SDF (Self Defence Force) untuk tugas penyelesaian konflik dunia dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia. Saat itu kemudian tentara Jepang lebih dikenal sebagai PKO (Peace Keeping Operation). Pendapat pun banyak bermunculan ketika PKO tersebut diterjunkan dalam membantu misi perdamaian PBB.

Bagi negara-negara yang pernah berurusan atau bermasalah dengan Jepang pada masa PD II, mereka mengkhawatirkan hal tersebut sebagai bentuk kebangkitan kembali militerisme Jepang. Namun, pendapat positif muncul dari bekas musuh Jepang pada PD II, Amerika Serikat. Hanya saja, Amerika Serikat mengkritik Jepang terhadap kontribusinya yang hanya bersifat bantuan finansial saja, terutama saat operasi-operasi militer yang dilakukan oleh Amerika Serikat (war on terrorism), dan terutama pada saat penyerangan Amerika Serikat ke Afganistan dan Irak.

Sebenarnya, pengiriman SDF mulai dilakukan ketika konflik berkecamuk di Kamboja dan Timor-Timur. Sedangkan pengiriman SDF ke Irak, menurut beberapa kalangan berkaitan erat dengan hubungan politik Jepang dengan Amerika Serikat. Pengiriman SDF lewat team tentara penjaga perdamaian (Peace Keeping Force) di Kamboja dan Timor-Timur dilaksanakan atas kontribusi dengan PBB. Namun, pengiriman SDF ke Irak lebih dilakukan dalam kontribusi yang berkaitan dengan hubungan bilateral antara Jepang-AS. Sebagian pengamat politik ada yang menganggap bahwa hal tersebut dilakukan Jepang karena adanya kelemahan politik Jepang dalam mengambil sikap. Dan sebagian lagi menganggap bahwa pilihan tersebut adalah jalan terbaik yang harus dilalui Jepang.

Permasalahan pasal 9 Konstitusi 1947 ini juga dipengaruhi oleh pemikiran tiga kelompok di Jepang (Sjamsumar 2005). Pemikiran pertama berasal dari kelompok realis–militer, yang berpendapat bahwa Jepang harusnya memperoleh tanggung jawab militer lebih besar dalam masalah pertahanan. Selain itu, Pasukan Bela Diri (SDF) Jepang harus meningkatkan kemampuan komando, kontrol, komunikasi serta militer.

Kelompok kedua yang berhaluan nasionalis berpendapat bahwa Jepang seharusnya melepaskan diri dari Amerika Serikat dan membentuk pertahanan sendiri. Selain itu, Jepang harus lebih membatasi pengembangan kemampuan militernya.

Kelompok ketiga ialah kelompok pasifis, kelompok ini menganggap bahwa Jepang harus lebih berkontribusi dalam penciptaan perdamaian bersama PBB serta mengakhiri hubungan kerjasama dengan Amerika Serikat. Serta tetap mendukung konstitusi mengenai konstitusi, terutama pasal 9 dan mengurangi kemampuan militernya.

Perbedaan pemikiran tersebut telah memberikan dampak bagi dinamika amandemen pasal 9 dari konstitusi Jepang. Sehingga tak jarang dalam parlemen terjadi perdebatan panjang untuk amandemen pasal 9 tersebut. Tetapi nampaknya kecenderungan untuk mengamandemen pasal 9 masih menjadi pertimbangan besar bagi Jepang yang lebih mengarah pada kelompok satu dan dua.

Dengan demikian, tahun demi tahun Jepang telah menghadapi berbagai kesulitan dalam mengambil sikap pada berbagai kebijaksanaan politik internasionalnya. Sehingga Jepang mempertanyakan kembali akan hakekat eksistensi pasal 9 dalam konstitusinya. Keberadaan pasal tersebut mulai dirasakan oleh sebagian masyarakat Jepang sebagai pengakuan Jepang atas kesalahan dan kekhilafannya pada masa perang dunia. Keberadaan konstitusi tersebut sekarang telah menjadi rantai yang membelengu dan membatasi ruang gerak Jepang untuk membangun kapasitas militernya, terutama keinginan untuk berkontribusi dalam pasukan penjaga perdamaian.

Amandemen Konstitusi Jepang Pasal 9

Pergolakan antarkelompok dalam menilai pasal 9 telah dimulai ketika Konstitusi 1947 diadopsi oleh Jepang. Pergolakan tersebut telah membawa perdebatan panjang mengenai bagaimana Jepang bisa mempertahankan dan memelihara keamanan dan stabilitas negara ketika pasal 9 telah melarang Jepang untuk membangun kekuatan militernya. Pandangan yang berbeda itu nampaknya mengarah pada dominasi kaum pasifis kala itu yang memang sedang berkuasa. Tak heran jika pada 1950-1980-an, fokus utama Jepang adalah membangun kekuatan ekonomi mereka daripada militer (Cipto 2006: 182-189). Ini membuktikan bahwa masalah amandemen pasal 9 kurang begitu memiliki pangaruh signifikan bagi publik Jepang. Terlebih isu perdagangan luar negeri dan pertumbuhan ekonomi menjadi isu bersama untuk membangun Jepang pascaperang (Reischauer dalam Mas’oed & MacAndrews 2001: 215).

Pertimbangan untuk mengamandemen pasal 9 kemudian mencuat lagi pada 1990-an ketika Ichiro Ozawa, politisi dari Partai Demokratik (DPJ), sangat gencar menekankan perlunya membangun kembali negara Jepang sebagai negara normal artinya, negara yang dilengkapi oleh basis militer dan pertahanan nasional (Ihza 2008). Militer memiliki arti signifikan bahkan strategis bagi suatu negara dan itu merupakan hal yang harus dimiliki Jepang. Terlebih Ozawa menilai bahwa selama ini Jepang masih terkungkung oleh ketergantungannya terhadap pertahanan dan keamanan militer AS. Hal itu akan terus berlanjut manakala Jepang tidak memutuskan untuk mengamandemen pasal 9 tersebut.

Namun, masyarakat Jepang masih memilih untuk tetap mempertahankan pasal 9 karena mereka masih trauma atas sikap “suka perang” Jepang yang telah mengakibatkan pertumbuhan dan kemajuan Jepang hancur. Terlebih mereka merasa diuntungkan dengan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan yang kini diraih Jepang. Kemajuan dan pertumbuhan itu tak lepas dari komitmen Jepang pada masa PM Shigeru Yoshida (1946-1954) dan Takeo Fukuda (1976-1978) dalam membangun Jepang ke arah pembangunan ekonomi (Cipto 2006: 182-189). Terlebih maneuver AS yang mendukung partai komunis Jepang telah memberikan hambatan juga terhadap amandemen pasal 9 (Ihza 2008). Sehingga, amandemen pasal 9 kurang begitu menyentuh masyarakat Jepang.

Yang menarik adalah pada masa pemerintahan Junichiro Koizumi (2001-2006) menghasilkan sebuah undang-undang anti-terorisme sebagai respon terhadap tragedy 9/11 (Ihza 2006; Kapanlagi.com, 28 Oktober 2007). Tragedi tersebut mengantarkan Jepang untuk turut serta dalam menangani masalah keamanan dan perdamaian internasional dengan memberikan dukungan pada AS dalam agenda WOT-nya. Melalui kerangka undang-undang anti-teroris ini, angkatan laut Pasukan Bela Diri Jepang dapat beroperasi di Lautan Hindia dalam misi penyediaan logistik, yaitu pengisian bahan bakar bagi pasukan multinasional pimpinan AS di Afganistan dan Irak (Kapanlagi.com, 13 Desember 2007; Suara Merdeka Cybernews, 4 Oktober 2005). Ini memberikan kesempatan bagi Jepang untuk melatih kekuatan militernya di medan perang –suatu hal yang sangat bertentangan dengan pasal 9.

Pada masa PM Shinzo Abe (2006-2007), tendensi untuk mengamandemen pasal 9 semakin nampak walaupun tidak menyentuh esensi perubahan pada klausul pasal tersebut. Pada Januari 2007, lembaga pertahanan yang telah dibentuk Jepang yang berada dalam naungan kementerian pertahanan, dirubah dengan membentuk jabatan baru, yaitu Penasehat Keamanan Nasional – suatu jabatan yang kewenangannya setingkat menteri dalam kabinet (Hendrajit 2007). Era Abe ini juga diwarnai oleh dukungannya terhadap undang-undang anti-terorisme yang didasarkan pada aliansi keamanan AS-Jepang.

Perkembangan berikutnya, pada masa PM Yasuo Fukuda (2007-…) masalah amandemen pasal 9 menjadi isu penting bagi Jepang untuk menunjukkan komitmennya terhadap penciptaan kondisi damai dan aman tidak hanya bagi Jepang tetapi juga internasional. Tak heran jika misi pasukan Jepang di Afganistan untuk mendukung operasi AS masih menjadi prioritas Fukuda (Forum-Politisi.org, 8 Juli 2008). Untuk itu, perpanjangan undang-undang anti-terorisme menjadi penting bagi Fukuda dalam membangun kapasitas militer Jepang secara tidak langsung melalui keterlibatannya dalam operasi-operasi perdamaian. Dengan begitu, maka secara tidak langsung amandemen pasal 9 akan bergulir dengan sendirinya. Keinginan Fukuda untuk membentuk militer Jepang tidak sekedar sebagai pasukan bela diri, tetapi juga adanya kemungkinan membentuk pertahanan kolektif (cololective defense) (Hendrajit 2007). Ini merupakan perwujudan dari semakin besarnya keinginan Jepang, terutama dari kelompok kanan/kaum konservatif (LDP), untuk membangun kembali militernya sebagai basis pertahanan dan keamanan Jepang.

Namun, masalah amandemen pasal 9 ini masih mendapat tantangan dari kelompok kiri/kaum progresif terutama partai oposisi seperti DPJ dan partai komunis Jepang. Mereka menganggap bahwa segala bentuk dan upaya Jepang untuk terlibat dalam pengiriman pasukan merupakan tindakan yang berlawanan dengan pasal 9. Hal ini akan memberikan ekses bagi bangkitnya kembali militerisme Jepang dalam politik luar negerinya dan dikhawatirkan sikap “suka perang” akan muncul kembali yang malah akan menimbulkan ketegangan baik dikawasan maupun internasional atas sikap Jepang tersebut. Oleh karena itu, tak heran ketika DPJ memenangkan pemilu dalam pemilihan Majelis Tinggi pada 2007, menolak adanya perpanjangan undang-undang anti-terorisme yang berakhir pada 1 November 2007 tersebut (Kapanlagi.com, 13 Desember 2007). Kemenangan DPJ dalam Diet merupakan hal yang langka karena selama hampir lima decade, Diet dikuasai oleh LDP yang beraliran konservatif. Kemenangan DPJ ini telah memberikan dinamika yang signifikan bagi perjalanan amandemen pasal 9 Konstitusi 1947.

Hal yang penting untuk dilihat bahwa adanya kecenderungan secara politik dari Jepang untuk mengamandemen pasal 9 dalam setiap periode pemerintahan. Hal ini didasarkan pada upaya-upaya yang telah dilakukan oleh LDP sebagai partai yang berkuasa di Diet telah secara tidak langsung menggeser esensi dari pasal 9. Pembentukan SDF, undang-undang anti-terorisme, hingga penerjunan pasukan dalam misi perdamaian secara eksplisit tidak sesuai dengan klausul pasal 9 tersebut. Hal ini menyebabkan eksistensi pasal 9 masih menjadi suatu dilema bagi Jepang yang dalam prosesnya cenderung untuk diamandemen sebagai sebuah mekanisme untuk menjawab tantangan dan dinamika hubungan internasional kontemporer sekarang. Seperti yang diungkapkan Hendrajit (2007),


“…apa yang terungkap melalui kebuntuan yang terjadi di parlemen antara LDP dan Partai Demokrat[ik] Jepang sebenarnya hanya sekadar puncak gunung es yang menggambarkan adanya rencana strategis Jepang untuk membangkitkan kembali kekuatan militernya…merevisi pasal 9 dari konstitusi Jepang dengan memperluas cakupan peran militer Jepang…”


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Amandemen

Keinginan Jepang untuk mengamandemen pasal 9 tak lepas dari bagaimnana Jepang menilai perkembangan dan dinamika hubungan internasional di era kontemporer sebagai sebuah realitas yang harus dihadapi. Kondisi lingkungan eksternal yang ada telah membentuk persepsi Jepang atas diri dan lingkungannya yang diterjemahkan dalam sebuah kesan dan sikap Jepang untuk merespon kondisi tersebut. Pada akhirnya, penilaian terhadap lingkungan atau realita yang dihadapinya telah memberikan preferensi bagi Jepang untuk mengamandemen pasal 9.

Amandemen pasal 9 tersebut tentunya direpresentasikan oleh keinginan rezim yang berkuasa, dimana mereka memiliki kuasa untuk membuat dan mengambil kebijakan. Dengan demikian, upaya-upaya yang dilakukan LDP maupun kelompok konservatif lainnya, yang sangat gencar sekali menginginkan amandemen pasal 9 tak lepas dari berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi. Sehingga, tercipta sebuah preferensi untuk mengamandemen pasal 9 Konstitusi 1947.

Dinamika yang terjadi di kawasan Asia Timur telah memberikan persepsi tersendiri bagi Jepang untuk terus dapat mengamankan integritas wilayah dan stabilitas dalam negeri Jepang yang semakin terancam. Persepsi ancaman tersebut terutama berasal dari China yang dianggap sebagai kekuatan penyeimbang Jepang di kawasan. Perselisihan China–Jepang, terutama yang terkait dengan luka sejarah ekspansi Jepang ke China pada masa perang dunia, telah membentuk persepsi Jepang mengenai potensi retaliasi. Peningkatan kekuatan dan anggaran militer China serta modernisasi militer negara tersebut membuat Jepang khawatir akan ancaman terhadap keamanan wilayahnya. Selain itu, militer China kini telah mengembangkan dan ditunjang senjata nuklir.

Selain kekuatan militer, kekuatan perekonomian China di kancah internasional pun juga menjadi salah satu faktor yang mengancam integritas Jepang. Dengan peningkatan anggaran belanja militer yang cukup signifikan, China membuat Jepang harus berpikir beberapa kali untuk menganggap teritorinya aman. Seperti yang diungkapkan oleh Fukushiro Nukaga, pejabat pertahanan Jepang, “Kami harus waspada dan memperdalam pertukaran sebelum berbagai hal ini berubah menjadi ancaman militer.” (Geografiana, 21 November 2005). Selain itu, pasokan energi Jepang yang melewati laut China Selatan pun selalu diawasi oleh China yang tak jarang menimbulkan ketegangan antar kedua negara tersebut.

Selain China, persepsi ancaman tersebut juga berasal dari Korea, yaitu kemungkinan konflik dengan Korea Selatan. Negara ini memiliki permasalahan dengan Jepang mengenai kepulauan Dokdo/Takeshima. Jepang mencaplok Kepulauan Dokdo/Takeshima saat Perang Rusia–Jepang pada 1904, dan saat penaklukan Semenanjung Korea 1910-1945. Korea Selatan berpendapat bahwa Jepang jangan memaksakan klaim atas "Takeshima", sebutan Jepang untuk Dokdo, karena itu merupakan hasil pencaplokan masa imperiumnya. Dokdo pertama diklaim Jepang pada 22 Februari 1905 (Manafe dalam Sinar Harapan, 3 Juni 2006).

Konflik mengenai kepulauan Dokdo ini berkaitan dengan sumber daya alam yang terkandung di pulau tersebut. Sumber daya tambang yang ada di lepas pantai sekitar wilayah Dokdo ialah gas hydrat. Hal ini diketahui ketika perusahaan Korea, Gas Corp. membuat siaran pers tentang kemajuan proyek eksplorasi gas hydrat yang mencakup perairan sekitar Dokdo. Perusahaan gas tersebut mengatakan, terdapat ladang gas yang cukup besar. Hal ini telah menyokong industri di Korea Selatan sehingga peningkatan kemampuan industri Korea Selatan yang cukup maju juga membuat Jepang khawatir. Persaingan industri yang cukup terlihat jelas ialah mengenai dunia otomotif.

Masalah nuklir Korea Utara juga menimbulkan potensi ancaman bagi Jepang. Perkembangan nuklir Korea Utara tersebut dapat memicu Jepang untuk selalu waspada akan kemungkinan-kemungkinan konflik yang muncul akibat pengembangan dan uji coba nuklir mereka. Tak heran jika Jepang sangat berkepentingan untuk meredam pembangunan kekuatan nuklir Korea Utara melalui deklarasi tahun 2002 antara Jepang dan Korea Utara, yaitu Japan-North Korea Pyongyang Declaration. Selain itu, pertemuan enam pihak (six talk party) yang didalamnya melibatkan AS, sangat penting bagi Jepang untuk selalu mempengaruhi perkembangan nuklir Korea Utara tersebut. Dari sini sangat jelas bahwa potensi ancaman nuklir Korea Utara membuat Jepang merasa terancam keamanan dan pertahanannya. Terlebih pada 1 Mei 2005, seperti yang diberitakan kantor berita Jepang Kyodo bahwa sebuah rudal jarak pendek telah meluncur mengarah ke arah laut Jepang yang dating dari arah pantai timur laut Korea Utara. Diduga bahwa rudal tersebut merupakan rudal impor dari Rusia, Misil SS21 (Sjamsumar 2005).

Dan terakhir, persepsi ancaman tersebut muncul akibat desakan dari masyarakat serta keinginan AS untuk mengurangi jumlah personil militernya di wilayah Jepang. Desakan dari masyarakat muncul karena banyaknya jumlah militer AS. Selain itu, kekhawatiran masyarakat Jepang muncul ketika kekuatan militer negara–negara di kawasan Asia Timur meningkat, terutama China dengan peningkatan yang cukup mengesankan. Banyaknya personil militer AS tak lepas dari adanya pangkalan militer AS di Jepang. Tetapi bukannya tidak terima, AS justru ingin menarik pasukannya dalam jumlah yang besar. Keinginan penarikan pasukan tersebut bertujuan untuk menempatkan pasukan yang ditarik dari Jepang untuk diletakkan di wilayah Afrika. Selain itu, kepentingan AS di Timur Tengah telah menyebabkan Jepang harus turut andil dalam menyuplai kebutuhan perang AS, selain Jepang sendiri memiliki kepentingan akan pasokan minyak dari Timur Tengah.

Hal yang sangat menarik adalah adanya dinamika hubungan internasional yang kini diwarnai oleh terorisme. Isu terorisme mulai mencuat pasca tragedi 9/11 dimana atas tragedi ini AS kemudian mendeklarasikan war on terrorism. Jepang sebagai negara yang tergantung pada sistem keamanan dan pertahanan AS, merespon WOT AS tersebut dengan memberikan dukungan finansial dan pasukan SDF-nya ke Afganistan dan Irak. Terlebih dukungan tersebut dilandasi oleh undang-undang anti-terorisme sebagai landasan hukum jepang untuk terlibat dalam misi perdamaian. Dukungan tersebut tak lepas dari adanya persepsi ancaman dari gerakan dan kelompok teroris terhadap wilayah kedaulatan dan integritas Jepang. Terlebih secara geopolitik, Jepang sangat rawan terhadap serangan teroris.

Dengan demikian, berbagai faktor tersebut telah membentuk persepsi Jepang akan potensi ancaman yang datang dari kondisi lingkungan eksternalnya. Hal inilah yang kemudian membuat dinamika dalam mengamandemen pasal 9 menjadi sebuah keniscayaan – walaupun masih bergulir dalam bentuk perdebatan panjang di Diet.

Kesimpulan

Kebutuhan untuk mengamandemen pasal 9 dari Konstitusi 1947 adalah hal yang mendasar bagi Jepang untuk membangun kembali basis keamanan dan pertahanan nasionalnya demi menjaga integritas wilayahnya di era kontemporer sekarang. Kebutuhan untuk mengamandemen pasal tersebut tak lepas dari persepsi Jepang terhadap dinamika kawasan Asia Timur, terutama China yang telah berpotensi sebagai kekuatan yang mengancam stabilitas keamanan Jepang. Terlebih isu terorisme telah megantarkan Jepang untuk terlibat dalam agenda WOT-nya AS sebagai suatu mekanisme untuk mengamankan baik wilayah maupun kepentingan nasionalnya.

WOT tersebut secara tidak langsung berdampak pada terciptanya undang-undang anti-terorisme yang jelas-jelas berlawanan dengan pasal 9. Hal ini merupakan sebuah ironi bagi AS dimana ia adalah negara yang memaksakan bahwa militer Jepang harus dilucuti pasca PD II. Selain itu, sejarah Jepang di Korea telah memberikan persepsi sendiri bagi Jepang yang berpengaruh pada preferensi amandemen pasal 9 tersebut. Hal tersebut telah membentuk persepsi Jepang mengenai ancaman yang berpotensi mengganggu integritas wilayahnya. Sehingga kemudian, menjadi landasan bagi Jepang untuk meninjau lagi pasal 9 Konstitusi 1947.


0 comments:

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.