.
.
.
.
.

Terrorism and The Geopolitical of Indonesia

Posted by Edy Jayakarya

By : M. Edy Sentosa J.

print this page Print this article

Based On "The PKL Report in DENSUS 88 ANTI-TEROR POLDA JATIM Jl. Achmad Yani No. 116, Surabaya at Thursday, 21 June 2007"

Pasca tragedi 11 September AS, dunia internasional semakin inten dalam melakukan perang terhadap terorisme. Dentaman keras dunia internasional tersebut tak lepas dari kepemimpinan AS sebagai negara yang paling dirugikan, setidaknya ketika peristiwa 11 September tersebut terjadi di wilayah kedaulatannya, dan berambisi untuk melenyapakan segala bentuk teror terhadap keamanan dan kepentingan negaranya termasuk dunia internasional. Semakin banyak anggaran yang dikeluarkan demi war on terrorism(WoT)-nya, termasuk dana bantuan pendidikan dan kebudayaan serta militer untuk melawan dan mencegah terorisme internasional. Wilayah yang sekarang dicurigai “rawan” terorirme antara lain adalah Asia. Untuk itu, Indonesia menjadi perhatian penting bagi AS dalam WoT. Terlebih stigma seorang teroris adalah manusia “berjenggot” dan “celana di atas mata kaki” (baca: Muslim) dimana Indonesia merupakan negara Muslim terbesar dan posisi strategis Indonesia sendiri. Bantuan AS pun mengalir ke Indonesia dalam bentuk bantuan pendidikan dan budaya, terutama ke pesantren–guna memberikan pemahaman yang “baik” tentang agama dan terorisme, sampai bantuan untuk pembentukan pasukan khusus Anti-Teror, yaitu Densus88 Anti-Teror. Nah, dalam rangka memahami lebih “lanjut” mengenai terorisme dan posisi Indonesia secara geopolitik maka telah diadakan kuliah lapangan di Densus88 Anti-Teror Polda Jatim. Oleh karena itu, laporan ini berisi tentang perspektif Densus88 dalam WoT yang dikaitkan dengan “posisi strategis” (baca: geopolitik) Jawa Timur sebagai wilayah yang rawan “aktivitas” terorisme. Segala pandangan yang tertulis di dalam laporan ini adalah berdasarkan perspektif Densus88 Polda Jatim dan sumber referensi lain yang dikumpulkan penulis.

BAGIAN I

Sejarah munculnya studi geopolitik tak lepas dari berbagai analisis geografi yang dikaitkan dengan politik dan kebijakan luar negeri suatu negara terhadap wilayah-wilayah yang secara geografi dianggap sangat strategis bagi kepentingan dan kekuasaannya. Fokus perhatiannya adalah pengaruh aspek kebumian terhadap haluan dan aspek siasat dari suatu negara dalam hubungan dengan negara tetangga disekitarnya. Dalam sejarah dan perkembangannya strategi global dunia mengenal konsep sea power yang ditulis oleh Kapten Angkatan Laut AS Alfred Thayan Mahan yang menekankan pada penguasaan laut untuk menguasai dunia dengan didukung armada dan angkatan laut yang kuat tentunya. Tahun 1793-1815 adalah momentum awal bagi Mahan memunculkan konsep sea power.

Pada tahun tersebut terjadi suatu peristiwa perang antara Inggris dan Perancis, dimana dalam perang tersebut Mahan melihat peran dari British Royal Navy yang mengantarkan kemenangan bagi Inggris. Dari peristiwa tersebut, ia menulis dua buah buku yang dipublikasikan pada 1890, “The Influence of Sea Power Upon History, 1660-1783,” dan pada 1892, “The Influence of Sea Power on French Revolution, 1793-1812.” Buku tersebut sangat popular di Inggris yang pada masa itu mempunyai naval power yang kuat dan terbesar. Buah pemikiran Mahan mengenai Sea Power telah meciptakan suatu paradigma bahwa siapa yang menguasai laut, dia kan menguasai dunia.

Selanjutnya muncul Mackinder yang mengemukakan konsep land power dimana konsep tersebut dikenal dengan heartland (pivot area). Konsep land power tersebut menekan pada daerah heartland (pivot area) yaitu Euroasia. Pada intinya, Mckinder mengungkapkan bahwa siapa yang menguasai heartland akan menguasai dunia. Hal ini sangat bersebrangan dengan konsep sea power Mahan yang menekankan pada penguasaan atas lautan. Mackinder melihat heartland sebagai “pusat dunia” yang memiliki berbagai potensi dan harus bisa dikuasai oleh Inggris karena jika tidak demikian maka akan membahayakan dan mengancam posisi Inggris sebagai kekuatan besar ketika itu.

Era selanjutnya, dengan ditemukannya pesawat terbang pertama kali oleh Wilbur dan Wright bersaudara tahun 1903 telah membuat dimensi baru dalam geostrategi dunia yaitu pandangan Seversky tentang air power. Pandangan tersebut mengacu pada bagaimana Amerika Serikat harus memperhatikan dan membangun air powernya yang akan mendukung nasional power AS sendiri sebagai strategi penentu kemenangan dalam berperang. Selain itu, penemuan tersebut menjadi langkah awal bagi Seversky melihat potensi air power yang sangat strategis bagi konflik-konflik di masa depan. Kemajuan teknologi di bidang pesawat telah mengantarkan era baru dalam peperangan dan kehidupan manusia.

Bagi Seversky, air power adalah kekuatan yang sangat “fleksibel” dan menjadi kekuatan utama yang memiliki sejumlah keunggulan dan keuntungan bagi siapa saja yang dapat membangunnya. Seversky memandang angkatan udara lebih baik dan memiliki keunggulan yang pasti dari pada angkatan darat dan angkatan laut. Ia percaya bahwa air power akan memberikan suatu supremasi udara bagi sebuah negara. Dengan supremasi tersebut, negara lain yang akan melintas wilayah udaranya harus meminta izin terlebih dahulu kepada negara yang memiliki supremasi udara tersebut. Oleh karena itu, ia menyarankan pada Amerika Serikat untuk lebih memperhatikan air power daripada army dan navy. Hal ini tak lepas dari kemajuan teknologi di AS sendiri yang dapat menyokong pembangunan air powernya.

Dengan air power dan dukungan kemajuan teknologi tersebut memungkinkan AS dapat melakukan pengawasan dan menciptakan supremasi udara di wilayah lain. Seversky melihat bahwa potensi air power akn sangat besar dimiliki oleh AS dan Soviet serta Inggris yang berpotensi juga. Inilah yang disebut oleh Seversky sebagai age of intercontinental flight. Teori air power Seversky ini kemudian memunculkan istilah airman yang identik dengan instrumen air power yaitu pesawat terbang (jika Mahan dengan sea powernya memunculkan istilah seaman dan Mackinder dengan heartlandnya memunculkan landman).

Era geopolitik klasik mungkin sudah usai sampai era Seversky dimana Harold Sprout muncul sebagai awal bagi perkembangan geopolitik kontemporer dengan konsep Man-Millieu Relationships. Sprout menilai bahwa ada tindakan-tindakan politik tertentu yang berbeda karena perbedaan geografi dimana kebijakan diengaruhi oleh faktor manusia. Sehingga dimensi dari geopolitik dan geostrategi Man-Millieu Relationship Sprout meliputi geografi, manusia, dan politik atau yang disebut dengan antropoantrik.

Di era sekarang (pasca 11 September), aspek-aspek geopolitik terkait erat dengan agenda dunia internasional dalam WoT yang dimotori oleh AS sebagai negara yang merasa dirugikan karena peristiwa 11 September tersebut. Hal ini dapat dilihat dari perubahan konsep geopolitik dan geostrategi AS yang berubah total. Aspek-aspek security telah didefinisikan ulang dan keamanan domestik negaranya kini sangat diperhatikan oleh AS dan AS berkepentingan untuk “mengamanankan” negara-negara yang dianggap mensponsori dan sarang terorisme. Pasca Perang Dingin, keamanan dalam negeri AS sedikit diabaikan karena AS cenderung pada outward looking dan sibuk dengan mengatur wilayah-wilayah di luar negaranya. Sehingga meletuslah tragedi WTC dan Pentagon secara bersamaan pada 11 September 2001, yang oleh pemerintahan AS disebut sebagai serangan terorisme terhadap AS.

Dari peristiwa tersebut, dengan respon cepat AS mendeklarasikan War on Terorism terhadap bentuk-bentuk baru yang mengancam keamanan AS bahkan seluruh negara di dunia dan menfragmentasikan dunia kedalam dua pilihan “either you are wiht us or you are with the terrorist”. Kebijakan war on terorism AS ini mengundang banyak pro dan kontra, artinya sekutu AS dengan segala kemampuannya mendukung AS untuk melakukan perang terhadap terorisme, tetapi ada sejumlah negara terutama negara yang berpenduduk Muslim yang tidak setuju dengan AS karena mereka mengidentikkan terorisme dengan Muslim.

Terlepas dari pro kontra tersebut, perhatian semua negara kini terfokus pada War on Terrorism yang didengungkan AS. Dan WoT ini menjadi entry point yang baru bagi AS dalam hubungan luar negerinmya. Dari peristiwa ini, AS kemudian sadar bahwa adanya ancaman nyata terhadap keamanan domestik AS sendiri dimana kini telah muncul musuh baru yang tak terlihat (stealth), tak mengenal batas (boarderless), dan tak mengenal hukum dan kemanusiaan (lawless and inhuman).

Aspek-aspek geopolitik dan geostrategi AS kini berubah seiring dengan terjadinya 9/11 tersebut. Salah satu bentuk WoT yang dilakukan AS adalah invasi ke Afganistan yang dianggap sebagai sarang teroris dan yang mensponsorinya, dan juga Irak yang dianggap mempunyai senjata pemusnah masal walaupun pada kenyataanya tidak ditemukannya tuduhan tersebut.

Dan kini AS memberikan perhatian dan konsentrasi yang lebih terhadap kawasan-kawasan yang dianggap rawan terorisme, seperti Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Namun, apakah WoT ini merupakan strategi jangka panjang atau jangka pendek AS? Menurut Cohen, WoT yang dilakuakan oleh AS tak lebih hanya strategi jangka pendek saja karena WoT yang didengung-dengungkan ini hanya untuk mengantisipasi adanya side-effect dari Globalisasi yang merupakan strategi jangka panjang AS. Untuk itu, konsep geopolitik dan geostrtegi AS pasca 9/11 terhadap WoT hanya bersifat jangka pendek semata.

Terlepas dari penilaian Cohen mengenai kebijakan WoT AS, bebagai tindakan telah banyak dilakukan AS–terutama pada masa pemerintahan George Walker Bush–untuk mencari dukungan internasional dalam perang melawan terorisme. Seperti yang dikemukakan diatas, wilayah yang menjadi perhatian AS adalah Asia. Untuk itu, Indonesia menjadi perhatian penting bagi AS dalam WoT.

Terlebih stigma seorang teroris adalah manusia “berjenggot” dan “celana di atas mata kaki” (baca: Muslim) dimana Indonesia merupakan negara Muslim terbesar dan posisi strategis Indonesia sendiri. Bantuan AS pun mengalir ke Indonesia dalam bentuk bantuan pendidikan dan budaya, terutama ke pesantren–guna memberikan pemahaman yang “baik” tentang agama dan terorisme, sampai bantuan untuk pembentukan pasukan khusus Anti-Teror, yaitu Densus88 Anti-Teror.

Densus88 ini memiliki arti penting bagi perang melawan terorisme di Indonesia. Sejumlah prestasi telah dibuktikannya dan “cemoohan” publik pun pernah diraihnya. Bahkan apresiasi dari negara lain, terutama AS dan Australia, tak kunjung usainya ketika ada berita penangkapan seorang teroris di Indonesia. Kebanyakan para teroris tersebut berasal dari daerah Sumatera dan Jawa yang merupakan wilayah perekrutan anggota (Mantiqi II) oleh teroris.

Jawa Timur merupakan wilayah yang sangat subur bagi perekrutan anggota. Sebagaimana diketahui bahwa pelaku Bom Bali I Amrozi dan kawan-kawan merupakan penduduk yang bedomisili di Jawa Timur. Oleh karena itu, Densus88 Anti-Teror Kepolisian Daerah Jawa Timur bekerjasama dengan berbagai departemen guna mengamankan Jawa Timur dari aksi-aksi terorisme dan mencegah upaya perkrutan anggota oleh teroris. Selain itu, perspektif Densus88 Anti-Teror Polda Jatim dalam WoT dikaitkan dengan “posisi strategis” (baca: geopolitik) Jawa Timur sebagai wilayah yang rawan “aktivitas” terorisme.

Dari perspektif mereka (Densus88), aspek-aspek geopolitik sangat terkait erat dengan aspek-aspek nasionalisme terhadap ibu pertiwi. Geopolitik suatu padanan antara geografi dan politik yang digunakan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan sehingga siapa yang dapat memilikinya akan menjadi penguasa terhadap suatu entitas yang ditaklukkannya. Akibatnya, dapat melemahkan entitas yang dikuasainya tersebut. Hal ini dialami oleh Indonesia, terutama Jawa Timur dimana dari sisi geopolitik, terorisme telah memanfaatkan Jawa Timur sebagai wilayah Mantiqi II[1] untuk memperoleh anggota-anggota baru mereka.

Menurut Densus88, terorisme merupakan suatu bentuk kejahatan yang menimbulkan ketakutan terhadap manusia yang oleh karena itu terorisme adalah musuh bagi dunia internasional.· Untuk itu pula, msusuh bagi Indonesia juga. Sepak terjang terorisme di Indonesia dimotori oleh Al-Jamaah Al-Islamiah (JI) dan Dr. Azhari dan Noordin M. Top. Untuk yang pertama, merupakan jaringan terorisme internasional yang memiliki hubungan dengan teroris di Indonesia. Sehingga, menurut Densus88 terorisme yang ada di Indonesia merupakan jaringan dari JI. Tambahan pula bahwa Amrozi dan Muklas serta kawan-kawan lainnya merupakan anggota dari JI.

Sementara yang kedua, merupakan orang yang berkewarganegaraan Malaysia. Mereka melakukan aksi-aksi terorisme di Indonesia. Keduanya menggunakan Malaysia sebagai basis perencanaan dan mengumpulkan dana. Dan tempat eksekusi teror berada di wilayah Indonesia. Hal ini menimbulkan suatu prejudice di benak Densus88 bahwa jangan-jangan ini merupakan ambisi geopolitik Malaysia untuk menguasai wilayah Indonesia dan membuat Indonesia tidak aman yang akan berdampak pada stabilitas dan perkembangan kehidupan di Indonesia. Oleh karena itu, menurut Densus88 antara geopolitik dan terorisme sangat terkait erat.

Dapat kita lihat bagaimana Jawa Timur memiliki sejumlah SDA yang melimpah diantaranya minyak di Blok Cepu yang sekarang dikelola pihak asing yaitu ExonMobile; gas di wilayah Sidoardjo; serta perusahaan milik negara seperti Semen Gresik dan PetroKimia ada di Jawa Timur. Hal ini dapat menimbulkan aksi-aksi teror oleh teroris terlebih adanya aset asing di Jawa Timur yang sangat “dibenci” teroris.§ Untuk Densus88 mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang ada di Jawa Timur yang akan mengarah pada aksi-aksi terorisme.

Dari sini Densus88 menilai bahwa pemahaman akan geopolitik dan terorisme memerlukan sebuah pemahaman terhadap wawasan nusantara sehingga diharapkan dapat mencegah aksi-aksi terorisme yang dilakukan oleh warga negara Indonesia sendiri. Wawasan nusantara itu meliputi pemahaman akan sejarah perjuangan para founding-father dalam mendirikan Bangsa dan Negara Indonesia, ibu kita Ibu Pertiwi Indonesia, ideologi negara yaitu Pancasila, lambang negara Burung Garuda, bahasa negara Bahasa Indonesia, dan keragaman etnisª di Indonesia yang harus dijadikan sebagai pemersatu, seperti Batak, Sunda, Jawa, Ambon, Dayak, Asmat, Tionghoa, Madura, dan lain-lain. Dengan pemahaman terhadap wawasan nusantara tersebut maka akan menimbulkan suatu kewaspadaan dan ketahanan nasional yang kuat dan hal ini akan menjadi modal bagi seluruh manusia Indonesia untuk melawan dan memerangi segala bentuk terorisme.

BAGIAN II

Selain itu, yang menjadi perhatian lain bagi Densus88 adalah pemilihan kepala daerah (pilkada) dan gubernur (pilgub) serta kepala desa (pilkades) yang akan diadakan pada interval tahun 2007 dan 2008. Ini menjadi perhatian karena untuk mencegah aksi-aksi kerusuhan dan pengrusakan oleh para pengacau maupun simpatisan suatu kelompok atau partai tertentu pada dan pasca pilkada dan pilgub. Selain itu, mencegah adanya provokasi masa oleh oknum-oknum yang sengaja menciptakan kekacauan seperti teroris misalnya yang amenunggangi pilkada/pilgub tersebut atau partai/simpatisan yang tidak puas terhadap hasil pemilihan.

Pilgub Jatim akan diadakan pada tahun 2008 mendatang, tepatnya pada pertengahan bulan Juni. Namun, intensitas politiknya kini kian meningkat dengan ditandai pemasangan pamflet/poster para calon gubernur di sepanjang jalan dan tempat-tempat publik. Hal ini juga sama dengan pilkada dan pilkades di beberapa daerah Jatim. Untuk itu, penting bagi aparat keamanan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang pernah terjadi di daerah Sulawesi, terjadi pembakaran dan pengrusakan sejumlah tempat publik dan DPRD serta KPUD setempat.

Beberapa potensi konflik menjelang dan saat pilgub tersebut antara lain, DP-4, hal ini karena tidak dilakuka pendataan nama-nama calon pemilih sehingga terjadi tumpang tindih daftar pemilih yang terdaftar dengan yang seharusnya; masalah administrasi pemilihan; masalah pengrusakan oleh masa-masa yang tidak jelas, termasuk para incumben yang akan mengarahkan masa dengan memakai fasilitas dinas; serangan fajar ketika pemilihan dilakukan; adanya miskoordinasi antara PPS-3 dengan PPK yang tidak “beres” dimana PPS-3 hanya mengumumkan hasil pemilihan saja yang akan menimbulkan kecurangan; dan lain-lain. Semua itu akan menjadi potensi konflik sehingga sangat menjadi perhatian bagi Densus88. Dan jangan sampai konflik tersebut dimanfaatkan oleh para teroris.

Sementara itu, potensi konflik menjelang dan saat pilkada dibeberapa daerah Jatim antara lain, di Sampang, Madura, pelaksanaan pilkadanya mundur terus yang seharusnya tahun 2006 lalu sekarang dijadwalkan pada 14 November 2007. Selain itu, terjadi juga ketidakkonsekuenan para calon, seperti dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mencalonkan gubernur yang masih menjabat bernama Fadilah untuk maju lagi; dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mencalonkan bukan kader partai yang bernama Nurcahya dari Bank Indonesia.

Di daerah Batu, Malang, juga diantisipasi adanya konflik dimana dalam pemilihan tersebut ada koalisi partai-partai kecil yang membentuk Partai Gulo Klopo. Di Bojonegoro, pelaksanaan pemilihannya belum ada kepastian yaitu bulan Desember tahun ini atau Januari tahun 2008. Selain itu, terjadi juga konflik internal partai seperti yang dialami oleh PKB yaitu permasalahan kepengurusan kota yang ganda, aset kepemilikan partai, dan PAW.

Yang menarik lagi dalam musim pilkada ini adalah masalah Partai Papernas yang sangat kontroversial dan keberadaannya diresahkan oleh sebagian kalangan terutama kaum Muslim Indonesia dan kaum nasionalis yang akan menimbulkan konflik horisontal antar kelompok. Partai ini dianggap memiliki keterkaitan/kemiripan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)–partai terlarang di Indonesia–terutama program-program partainya dan berhaluan kiri. Oleh karena itu, Densus88 Anti-Teror sangat memperhatikan partai ini untuk mencegah adanya rovokasi masa dan hal-hal yang membahayakan ideologi negara.

Terkait dengan pilkada dan terorisme di Jawa Timur ini, hal yang sangat diantisipasi oleh Densus88 adalah keberadaan Abu Bakar Ba’asyir. Densus88 mengkhawatirkan ABB¨ akan “menunggangi” dan “memprovokasi” pilkada dengan tujuan-tujuan atau ambisinya untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia melalui penerapan perda syariat. Selain itu, ABB dianggap “berbahaya” bagi ideologi negara, Pancasila, yang akan mengundang usaha-usaha subversif. Hal ini seperti yang ditemukan oleh Densus88 mengenai ambisi ABB antara lain sebagai berikut.

Q Menjadikan Jawa Timur sebagai laboratium uji coba untuk syariat Islam;

Q Mengharapkan di setiap kabupaten ada nuansa syariat Islamnya, yaitu adanya peraturan daerah (perda) syariat;

Q Mendirikan Daulah Islamiah Indonesia;

Untuk itu, dalam moment pilkada ini Densus88 sangat concern terhadap segala upaya yang akan memicu konflik dan terorisme menjelang dan saat pilkada dilakukan. Ditambah lagi adanya partai yang dianggap meresahkan warga yaitu Papernas, dan keberadaan ABB di Indonesia yang selalu bolak-balik ke Jawa Timur yang akan sangat inten untuk menerapkan perda yang bernuansa syariat.

BAGIAN III

Terlihat betapa stigma terorisme sekarang telah bergeser ke siapa saja yang membahayakan ideologi negara. Namun, stigma yang “populer” di dunia adalah teroris identik dengan Muslim yang dianggap cenderung eksklusif. Hal pertama yang dicapkan oleh AS terhadap Muslim di dunia pasca 11 September. Dan kini Indonesia dianggap sebagai negara yang paling berhasil dalam membrantas, melawan, dan perang terhadap terorisme dengan sejumlah apresiasi dari negara lain.

Terorisme merupakan sebuah kejahatan yang anti-kemanusian yang setiap saat akan meneror ketenangan dan keamanan masyarakat. Beberapa kasus terorisme di Indonesia pun bisa dipecahkan walaupun PR ke depan dan sejumlah hambatan masih dihadapi dan menjadi kendala. Oleh karena itu, Densus88 Anti-Teror terus melakukan pencarian dan pemutusan mata rantai teroris di Indonesia khususnya di Jawa Timur oleh Densus88 Anti-Teror Polda Jawa Timur, baik melalui mekanisme legal sesuai dengan UU dan kode etik Kepolisian Republik Indonesia maupun dengan cara-cara ilegal seperti aksi-aksi intelejen untuk mengumpulkan informasi dan bukti kejahatan seorang troris.

Dalam melakukan tugasnya menghancurkan segala bentuk terorisme, Densus88 berpegang pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2003. Dalam UU tersebut sangat jelas mengenai definisi terorismev. Dalam definisi tersebut mengandung segala usaha yang dapat menimbulkan keresahan dan ketakutan masyarakat dimana diwujudkan dalam bentuk kekerasan dan penghancuran fasilitas publik oleh teroris. Uniknya, para pelaku teroris di Indonesia tidak berani untuk bertanggung jawab atas aksi yang merea lakukan. Tidak seperti para teroris luar negeri yang muncul ke publik lewat pemberitaan bahwa kelompoknyalah yang bertanggung jawab atas peristiwa terorisme tersebut.

Dalam melakukan pembasmian terorisme di Jawa Timur khususnya dan Indonesia umunya, Densus88 Anti-Teror Polda Jatim melakukan sejumlah kerjasama lintas batas baik level instansi/departemen , level daerah, maupun level negara. Hal ini dilakukan dengan sejumlah amsumsi yaitu, perencanaan di suatu negara tetapi eksekusi di negara lain, kejahatannya di suatu negara tetapi dampaknya ke negara lain, ada keterkaitan pelaku terorisme dengan negara lain, dan terakhir adalah adanya hubungan/jaringan teroris dengan kelompok separatis. Hal ini akan membantu dan mempermudah Densus88 dalam melakukan pembasmian terorisme di Jawa Timur. Terlebih, Jawa Timur merupakan daerah yang digunakan oleh teroris sebagai tempat persiapan, persembunyian, sasaran terorisme, dan perekrutan anggota.



[1] Mantiqi merupakan istilah yang digunakan oleh teroris di Indonesia untuk menyebut sebagai wilayah yang menjadi sasaran terorisme sesuai dengan pembagian wilayah Mantiqi tersebut. Wilayah Mantiqi ini dibagi atas empat wilayah. Mantiqi II itu sendiri merupakan wilayah perekrutan anggota oleh teroris yang berada dalam cakupan Pulau Sumatera dan Jawa. Sementara Mantiqi I merupakan wilayah untuk mencari dana yang mendukung aksi-aksi terorisme. Mantiqi I ini berada di wilayah Malaysia dan Singapura. Mantiqi III merupakan wilayah untuk melakukan tempat pelatihan/training calon para teroris yang telah direkrut. Mantiqi ini berada di Pulau Sulawesi dan negara Filiphina. Dan terakhir adalah Mantiqi IV yang fungsinya sama dengan Mantiqi I. Namun, Mantiqi IV ini berada di kepulauan Indonesia bagian Timur dan negara Australia.

· Melalui pernyataan ini, Densus88 menolak bahwa WoT yang dilakukannya adalah sebagai bentuk kepanjangan dari agenda AS dalam kebijakan WoT-nya. Karena terorisme dapat membahayakan semua orang dan sifat terorisme sendiri yang “tak terlihat” (stealth), tak mengenal batas (boarderless), dan tak mengenal hukum dan kemanusiaan (lawless and inhuman).

§ Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Amrozi, pelaku Bom Bali I, bahwa ia melakukan aksi pemboman tersebut untuk berjihad terhadap kaum kafir di Bali yang kebanyakan adalah para wisatawan dari Australia. Oleh karena itu, Densus88 melihat bahwa hal tersebut jangan sampai terjadi di Jawa Timur terutama dengan hadirnya aset asing disana.

ª Densus88 menyebutnya sebagai Saudara-Saudara Kita Sebangsa Setanah Air.

¨ ABB merupakan istilah yang dipakai Densus88 untuk menyebut inisial Abu Bakar Ba’asyir.

v walaupun tidak ada kesepakatan atau definisi yang jelas mengenai terorisme itu sendiri tetapi Densus88 menjadikan definisi terorisme menurut UU No. 15 sebagai pegangan dalam melaksankan tugasnya.

"Air Power: Seversky's View" by Seversky

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa J.

print this page Print this article

Review Artikel

Dalam perkembangannya, geostrategi global dunia mengenal konsep sea power yang ditulis oleh Mahan yang menekankan pada penguasaan laut untuk menguasai dunia dengan didukung sea power yang kuat tentunya. Kemudian muncul Mackinder yang mengemukakan konsep land power dimana konsep tersebut dikenal dengan heartland (pivot area). Siapa yang menguasai heartland akan menguasai dunia. Hal ini berseberangan dengan pendapat Mahan. Pada era selanjutnya, dengan ditemukannya pesawat terbang pertama kali oleh Wilbur dan Wright bersaudara tahun 1903 telah membuat dimensi baru dalam geostrategi dunia yaitu pandangan Seversky tentang air power. Pandangan tersebut mengacu pada bagaimana Amerika Serikat harus memperhatikan dan membangun air powernya yang akan mendukung nasional power AS sendiri. Untuk itu, makalah ini akan membahas pemikiran Seversky mengenai air power yang ia munculkan sebagai strategi penentu kemenangan dalam berperang. Selain itu, akan dibahas pula berbagai pandangan yang muncul mengenai air power ini, terutama di AS seperti conservative group, air isolationism, dan all-out group. Di bagian akhir akan dibahas mengenai paduan berbagai strategi global dunia yang didasarkan pada national power.

Pada tahun 1793-1815 adalah mememtum awal bagi Kapten Angkatan Laut AS Alfred Thayan Mahan memunculkan konsep sea power. Pada tahun tersebut terjadi suatu peristiwa perang antara Inggris dan Perancis, dimana dalam perang tersebut Mahan melihat peran dari British Royal Navy yang mengantarkan kemenangan bagi Inggris. Dari peristiwa tersebut, ia menulis dua buah buku yang dipublikasikan pada 1890, “The Influence of Sea Power Upon History, 1660-1783,” dan pada 1892, “The Influence of Sea Power on French Revolution, 1793-1812.” Buku tersebut sangat popular di Inggris yang pada masa itu mempunyai naval power yang kuat dan terbesar. Buah pemikiran Mahan mengenai Sea Power telah meciptakan suatu paradigma bahwa siapa yang menguasai laut, dia kan menguasai dunia.

Namun, pada perkembangan berikutnya muncul Mackinder yang memunculkan konsep land power yang menekan pada daerah heartland (pivot area) yaitu Euroasia. Pada intinya, ia mengungkapkan bahwa siapa yang menguasai heartland akan menguasai dunia. Hal ini sangat bersebrangan dengan konsep sea power Mahan yang menekankan pada penguasaan atas lautan. Mackinder melihat heartland sebagai “pusat dunia” yang memiliki berbagai potensi dan harus bisa dikuasai oleh Inggris karena jika tidak demikian maka akan membahayakan dan mengancam posisi Inggris sebagai kekuatan besar ketika itu.

Selanjutnya, asumsi dari teori Mackinder seperti terhempas ketika Seversky mengungkapkan konsep air powernya. Teori air power yang diungkapkan oleh Seversky tak lepas dari Wilbur dan Orville Wright bersaudara kebangsaan AS pada 1903 menciptakan sebuah pesawat terbang pertama yang dapat terbang selama 12 detik di udara. Pada 1905, keduanya kemudian menyempurnakan pesawatnya hinggga dapat terbang selama 33 menit untuk jarak 36 km dan baru pada 1919 telah berhasil menyebrangi Lautan Atlantik yang jaraknya 7666 km. Dengan penemuan itu, menjadi langkah awal bagi Seversky melihat potensi air power yang sangat strategis bagi konflik-konflik di masa depan. Kemajuan teknologi di bidang pesawat telah mengantarkan era baru dalam peperangan dan kehidupan manusia.

Bagi Seversky, air power adalah kekuatan yang sangat “fleksibel” dan menjadi kekuatan utama yang memiliki sejumlah keunggulan dan keuntungan bagi siapa saja yang dapat membangunnya. Seversky memandang angkatan udara lebih baik dan memiliki keunggulan yang pasti dari pada angkatan darat dan angkatan laut. Ia percaya bahwa air power akan memberikan suatu supremasi udara bagi sebuah negara. Dengan supremasi tersebut, negara lain yang akan melintas wilayah udaranya harus meminta izin terlebih dahulu kepada negara yang memiliki supremasi udara tersebut. Oleh karena itu, ia menyarankan pada Amerika Serikat untuk lebih memperhatikan air power daripada army dan navy. Hal ini tak lepas dari kemajuan teknologi di AS sendiri yang dapat menyokong pembangunan air powernya. Dengan air power dan dukungan kemajuan teknologi tersebut memungkinkan AS dapat melakukan pengawasan dan menciptakan supremasi udara di wilayah lain. Seversky melihat bahwa potensi air power akn sangat besar dimiliki oleh AS dan Soviet serta Inggris yang berpotensi juga. Inilah yang disebut oleh Seversky sebagai age of intercontinental flight.

Teori air power Seversky ini kemudian memunculkan istilah airman yang identik dengan instrumen air power yaitu pesawat terbang (jika Mahan dengan sea powernya memunculkan istilah seaman dan Mackinder dengan heartlandnya memunculkan landman). Airman ini kemudian menjadi suatu global view yang direfleksikan oleh Seversky, untuk memepermudah memahaminya, melalui proyeksi kartografi Kutub Utara secara azimutal yang equidistan. Dalam proyeksi kartografi tersebut digambarkan pemetaan wilayah penguasaan udara Amerika Serikat dengan Uni Soviet serta suatu wilayah himpunan bagian diantara kedua wilayah tersebut yaitu area of decision yang oleh Seversky didefinisikan sebagai “the mastery of the air will be decided.” Dan juga ada suatu wilayah netral sebagai basis strategis kedua negara yaitu Alaska dan Kamchatka. Sedangkan kepulauan Inggris dijadikan sebagai wilayah “tenable overseas base” yang tidak masuk kedalam air dominance dan area of decision AS dan Soviet.

Dalam proyeksi kartografi tersebut, wilayah jantung industri AS berada di Alaska, California, Florida, Newfounland, dan wilayah cadangan industrinya berada di wilayah dominasi udaranya yaitu Amerika Latin. Sementara wilayah jantung industri Soviet berada di Balkal, Caucasus, Murmanak, dan Kamchatka, dengan wilayah cadangan industri Soviet berada di wilayah dominasi udaranya yaitu Africa Southeast Asia.

Dalam pandangan Seversky, ia menyarankan pada AS untuk menguasai dan mempertahankan daerah Rimland agar dapat melindungi wilayah air dominasinya di Amerika Latin sehingga Amerika Latin tidak jatuh ke tangan Soviet yang berideologi Komunis. Karena penguasaan wilayah air dominance Soviet di Afrika Tengah dan Timur tidak menutup kemungkinan akan pengaruh Soviet di wilayah air dominance AS terutama di Amerika Latin tersebut yang oleh Seversky disebut sebagai “US own backyard.” Selain itu, wilayah kota Amerika Selatan terutama Brazil dan Argentina akan mudah diserang apabila AS tidak komitmen untuk menguasai Rimland dan mencegah pengaruh Soviet dengan menyerang bandara-bandara udara Afrika yang berada dibawah air dominance Soviet.

Pandangan Seversky tersebut merefleksikan kembali konsep pertahanan Wertern Hemisphere yang menekankan hubungan Utara-Selatan daripada Barat-Timur. Dalam konteks air power ini, terkait dengan Western Hemisphere Defense (WHD), banyak pandangan mengenai konsep tersebut. Sejumlah orang AS memiliki berbagai pemikiran dan pandangan mengenai air power yang dikemukakan Seversky. Pertama, kelompok Air Isolationism yang menekankan pada revivalisasi WHD. Mereka percaya akan teknologi yang berbasiskan mesin-mesin daripada tenaga manusia, dan percaya akan keterampilan (know-how) yang dimiliki oleh warga AS. Kelompok kedua adalah All-Out yang menekankan pada air strategy yang erat kaitannya dengan ekonomi yaitu dollar (uang) dan manusia. Kelompok ketiga yaitu Conservatif yang menekankan pada kekuatan darat. Kelompok Konservatif ini menilai bahwa air power hanyalah untuk membantu land power dan perang-perang yang terjadi di darat. Hal ini karena tempat pembuat keputusan tetaplah berada di darat. Sementara itu, sea power berperan dalam mensuplai kebutuhan garis depan pertempuran di darat. Dan air power sendiri berperan sebagai penjaga keamanan jalur-jalur laut, melakukan pengintaian di atas udara, dan sebagi artileri jarak jauh untuk memegat gerakan musuh. Jadi, menurut kelompok ini “surface movement” sangatlah dominan. Selanjutnya kelompok keempat yaitu Air-First Moderate yang menekankan pada Strategic Air Force yang dilengkapi dengan bom nuklir. Strategi tersebut merupakan “the Great Deterrent” yang dapat mencegah terjadinya perang besar antar negara. Pandangan kelompok ini didasarkan pada pandangan Slessor. Menurut kelompok air-first moderate ini perang lokal dapat terjadi dimana angkatan darat lebih banyak berperan dalam perang lokal tersebut. Untuk itu, Slessor menyarankan bahwa perlu adanya angkatan darat dan angkatan laut serta angkatan semi-statis khusus atau milisi (wamil) yang dapat menciptakan pertahanan sipil dan lokal (local and civil defense). Slessor sangat pesimis terhadap pandangan Mackinder tentang heartland. Menurutnya heartland yang memiliki keunggulan dalam luas, letaknya di pusat, dan sulit untuk diakses secara darat merupakan ketidakuntungan bagi Soviet karena posisi heartland dapat diserang dari segala penjuru arah mata angin. Sehingga ini menjadi penting bagi kekuatan non-Komunis untuk menguasai dan mempertahankan posisinya di Rimland dan apa yang disebut Spykman sebagai “off-shore islands” seperti Inggris, Jepang, Afrika, dan Australia. Oleh karena itu, kelompok ini yakin akan keunggulan kecepatan pesawat terbang yang dilengkapi dengan senjata bom nuklir yang akan membawa sejumlah keuntungan bagi siapa saja yang membangunnya. Hal ini tak lepas dari perkembangan Aeronautika itu sendiri sejak zaman Wilbur dan Wright 1903. Era perang nuklir ini akan membuat sejumlah kota-kota di suatu negara akan sangat mudah dihancurkan dan terkontaminasi oleh radio aktif. Hal itu membuat heartland, rimland, land power, sea power memiliki signifikansi yang sangat kecil atau tidak diperhitungkan. Dari sini kemudian berkembanglah pesawat yang digunakan sebagai “Strategic Bombardment” yang dilengkapi dengan bom nuklir. Dari berbagai pandangan mengenai air power di AS tersebut akan berpengaruh pada suatu keputusan yang harus dibuat dalam menentukan alokasi sumber daya yang ada, tenaga manusia, basis lokasi industri yang menyokong air power, dan kebijakan terhadap negara-negara rimland dan Amerika Latin.

Dalam perkembangannya muncul permasalahan self-sufficiency and defensibility serta pertahanan melawan intercontinental bombardment yang terkait dengan perfect defense AS. Kenyataannya, Seversky melihat bahwa walaupun AS sangat tergantung pada sumber-sumber material strategis di luar Western Hemisphere tapi melalui penimbunan barang, eksplorasi, subsidisasi, dan penelitian-penelitian ilmiah dan keilmuaan, AS menjadi suatu negara yang sangat mandiri (self-sufficiency) atau negara yang dapat mencukupi kebutuhannya sendiri serta memiliki basis pertahanan yang kuat apabila kebijakan yang terkait dengan rimland dipertahankan guna melindungi daerah air dominancenya yaitu Amerika Latin yang dianggap US own backyard.

Seversky mengungkapkan bahwa jika ada dua pihak yang mempunyai perfect defense maka akan mencegah serangan-serangan diantara dua pihak tersebut. namun, kenyataannya tidak ada suatu negara pun yang memiliki perfect defense tersebut, walaupun pertahanannya kuat, sehingga diperlukan suatu tindakan dan serangan balasan (retaliasi) dengan melancarkan serangan udara antarbenua. Untuk itu, diperlukanb sebuah persiapan yang matang untuk membangun basis pertahanan tersebut dan strategi serta taktik dalam melakukan serangan balasan tersebut. strategi retaliasi tersebut dapat digunakan untuk preventive war, melakukan suatu agresi secara langsung terhadap musuh, atau jika musuh melintasi garis pertahanan negara–ini berarti menandakan suatu situasi negara sedang diserang oleh musuh.

Demikian pemikiran Seversky mengenai air power yang sangat berpengaruh di AS khususnya yang dijadikan strategi dalam militer. Menurutnya angkatan udara (air power) akan menjadi pola konflik di masa yang akan datang yang berpotensi pada national power suatu negara.

Composite View (Global Views of Politics and Strategy)

Pada dasarnya konsep strategi global dunia didasarkan pada konsep national power suatu negara. Entah konsep sea power, land power, maupun air power tak lepas dari national power suatu negara demi mencapai national interest mereka. Sehingga konsep-konsep tersebut sangat berpengaruh terhadap dinamika perang yang terjadi ketika itu dan setiap negara berusaha membangunnya dengan begitu hebatnya.

National power, di negara manapun, memiliki dua komponen yaitu “Inventori” dan “Strategi”. Setiap negara memiliki komponen Inventori tapi tidak semua negara memiliki komponen Strategi yang sama dan apa yang akan dilakukan dengan strategi tersebut. Komponen inventori, menurut Mackinder, disebut sebagai “Man Settling” dan komponen strategi disebut “Man Traveling”. Man Settling terdiri dari populasi suatu negara, budaya, dan material base. Sedangkan Man Traveling terdiri dari atmosfir, samudra dan kepulauan, Continental interior and peripheries, dan northern region. Setiap komponen tersebut sangat strategis bagi pengembangan air power, land power, dan sea power. Namun bisa menjadi sasaran yang empuk untuk dihancurkan seiring perkembangan aeronautika seperti yang diungkapkan Seversky dan Slessor. Ditambah lagi strategic bombardment yang telah ada dilengkapi dengan bom nuklir.

Jadi pada dasarnya Strategi dan Kebijakan Luar Negeri adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan yang saling menentukan sau sama lain. Dan keduanya tak lepas pula dari national power suatu negara yang dibangun untuk mencapai national interestnya.

Indonesia Foreign Policy Under Soekarno

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Politik atau kebijakan luar negeri pada hakikatnya merupakan ”kepanjangan tangan” dari politik dalam negeri sebuah negara. Politik luar negeri suatu negara sedikitnya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kondisi politik dalam negeri, pengambil keputusan, kemampuan ekonomi dan militer, dan lingkungan internasionalnya (Coplin 1992, 165-175; dan Sihbudi 2002). Sejak Bung Hatta menyampaikan pidatonya berjudul ”Mendajung Antara Dua Karang” (1948), Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu blok negara-negara superpowers, menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di dunia internasional (Pembukaan UUD 1945).

Seperti diamanatkan konstitusi, Indonesia juga menentang segala bentuk penjajahan di atas muka bumi ini, dan menegaskan bahwa politik luar negeri harus diabdikan untuk kepentingan nasional. Oleh sebab itu, pendulum pelaksanaan politik bebas-aktif dapat bergerak ke kiri dan ke kanan, sesuai dengan kepentingan nasional pada masa-masa tertentu. Dengan kata lain, kebijakan luar negeri merupakan refleksi dari politik dalam negeri dan dipengaruhi perubahan dalam tata hubungan internasional baik dalam bentuk regional maupun global. Karena itu, setiap dinamika yang terjadi dalam perpolitikan dalam negeri akan mempengaruhi diplomasi sebagai manifestasi kebijakan luar negeri. Secara umum visi dan orientasi politik luar negeri Indonesia seharusnya tidak berubah. Namun, perubahan dimungkinkan jika berkaitan dengan usaha perbaikan ekonomi dan citra Indonesia di mata internasional. Dasarnya tetap bertitik tolak pada konstitusi, tetap ikut membantu menciptakan perdamaian dan keadilan sosial serta politik bebas-aktif yang diabdikan pada kepentingan nasional. Dan bagaimana dengan politik luar negeri Indonesia masa Soekarno?

Pada masa Soekarno (1945-1965), politik luar negeri Indonesia bersifat high profile, flomboyan dan heroik, yang diwarnai sikap anti-imperialisme dan kolonialisme serta konfrontasi. Pendulum politik bebas-aktif lebih condong bergerak ke kiri, di mana Jakarta tampak lebih akrab dengan Moskow, Beijing maupun Hanoi, dan tampak gerang terhadap AS dan sekutu Baratnya (Hartadi 2008). Bangkitnya PKI dan kelompok-kelompok kiri pada masa Soekarno memang ikut mempengaruhi agresifitas politik luar negeri Indonesia. Namun, agresifitas itu bisa dipahami karena menonjolnya berbagai kepentingan nasional Indonesia pada masa-masa pasca-kemerdekaan hingga dekade 1960-an. Hal ini tak lepas dari faktor-faktor determinan politik luar negeri seperti tersebut diatas. Pertama, kondisi politik dalam negeri pasca proklamasi masih kurang stabil dan diwarnai pertentangan basis pencarian dan pemilihan ideologi negara. Berbagai perubahan konstitusi dan bentuk negara pun terjadi, mulai UUD 1945, UUDS 1950, dan kembali ke UUD 1945, betuk NKRI pun berubah ke RIS dan kembali lagi ke NKRI, bahkan ideologi Pancasila pun berpaham NASAKOM. Perubahan-perubahan tersebut tak lepas dari pengaruh Belanda (dan sekutu) yang masih menginvasi Indonesia sampai tahun 1948 serta dinamika gerakan-gerakan politik (partai) di Indonesia yang mengusung banyak ideologi. Ini kemudian menguatkan Soekarno bahwa Indonesia perlu nasionalisme Pancasila yang berjiwa internasionalisme dan menolak bentuk-bentuk neokolonialisme dan imperialisme untuk menjaga integritas wilayah dan kedaulatan. Tak heran jika pada Mei 1964, Soekarno melakukan konfrontasi dengan Malaysia melalui Dwikora, karena pendirian negara Federasi Malaysia dibawah bayang-banyang Inggris dianggap sebagai ancaman terhadap nasionalisme Indonesia dan ini berdampak pada integritas wilayah Indonesia pula.

Kedua, kondisi ekonomi Indonesia sangat terpuruk dan kacau ditandai dengan inflasi tinggi sampai 600%, berlakunya mata uang asing sebagai mata uang nasional seperti matau uang Jepang dan Belanda, serta utang luar negeri yang dibuat pemerintah antara 1950-1956, masing-masing berumlah: Rp 3,8 miliar, Rp 4,5 miliar, Rp 5,3 miliar, Rp 5,2 miliar, Rp 5,2 miliar, Rp 5,0 miliar, dan Rp 2,9 miliar (Higgins 1957 dalam Baswir 2006)[1]. Ini berdampak pada pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat kurang terpenuhi, terlebih ada kebijakan yang membatsi jumlah kepemilikan uang sebesar Rp 250,00 untuk yang belum menikah dan Rp 350, 00 untuk yang sudah menikah. Kondisi ini telah menciptakan konsep ekonomi Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri) dan Dekon (Deklarasi Ekonomi) serta Sosialisme Indonesia oleh Soekarno. Sehingga tak aneh jika Soekarno alergi terhadap bantuan Barat dan sekutunya. Seperti semboyannya ”Go To Hell With Your Aids”, yang mengangap bantuan tersebut sebagai bentuk Neokolonialisme dan Imperialisme (Nekolim). Posisi itu diambil Soekarno karena lebih mementingkan pembangunan nation-building dan politik ketimbang ekonomi dan Barat sering kali berbelit-belit dalam memberikan bantun. Seperti pada tahun 1950, menyusul kesediaannya untuk memberikan pinjaman sebesar 100 juta dolar AS, Pemerintah AS menekan Indonesia untuk mengakui keberadaan pemerintahan Bao Dai di Vietnam. Karena tuntutan tersebut tidak segera dipenuhi, pemberian pinjaman itu akhirnya tertunda pencairannya (Weinstein, 1976: 210 dalam Baswir 2006).

Dan tahun 1952, setelah menyatakan komitmennya untuk memberikan pinjaman, pemerintah AS kemudian mengajukan tuntutan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengembargo pengiriman bahan-bahan mentah strategis ke Cina. Sebagai negara produsen karet dan anggota PBB, secara tidak langsung tuntutan tersebut ”terpaksa” dipenuhi Indonesia. Persitiwa yang paling dramatis terjadi pada 1964, menyusul keterlibatan Inggris dalam konfrontasi dengan Malaysia, pemerintah Indonesia segera meyikapi hal itu dengan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Inggris. Ini adalah nasionalisasi kedua yang dilakukan Indonesia setelah nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada 1956. Mengetahui hal itu, pemerintah AS segera turut campur. Setelah beberapa waktu sebelumnya menekan Indonesia untuk mengaitkan pencairan pinjamannya dengan program stabilisasi Dana Moneter Internasional (IMF), AS kemudian mengaitkan pencairan pinjaman berikutnya dengan tuntutan untuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia. Campur tangan AS tersebut ditanggapi Soekarno dengan mengecam utang luar negeri dan menentang AS. Pada akhirnya, Indonesia lebih dekat dengan poros Sosialisme Soviet sebagai ”pilihannya”.

Kondisi ekonomi yang ambruk tersebut membawa pengaruh terhadap lemahnya pembangunan kekuatan militer sebagai salah satu determinan dalam politik luar negeri. Perlengkapan dan peralatan militer yang ada belum memadai bagi pertahanan dan keamanan negara, tak jarang pembrontakan terjadi (seperti DI/TII, RMS, PRRI, G-30S/PKI) dan upaya-upaya untuk menjaga integritas wilayah terkendala (seperti Sirian Barat, Sulawesi Utara, dan lain-lain) (Badrika 2000: 13-45). Ketika upaya pembebasan Irian Barat melalui operasi Trikora, militer Indonesia sangat membutuhkan peralatan militer yang memadai, lobi-lobi ke AS pun dilakukan untuk membeli senjata tapi ditolak. Indonesia pun mendekati Soviet, dan Khruschev menjanjikan bantuan senjata, pelatihan militer, hingga kapal selam pada Indonesia. Selain itu, Soviet bahkan mendukung mendukung masuknya Irian Barat sebagai wilayah Republik Indonesia. Ini kemudian yang mengkhawatirkan pihak AS. Untuk menjaga agar jangan sampai Indonesia semakin ke kiri, Amerika memutuskan mendukung integrasi Irian melalui Rencana Bunker dan Persetujuan New York yang pada akhirnya akan diadakan Pepera (Badrika 2000: 40-41; Tan 2007: 149-153; dan Sudirman 2005).

Ketiga, pengambil keputusan kala itu sangat senter pada kharismatik Soekarno, dimana ia bertindak sebagai ”wakil rakyat” Indonesia di forum Internasional, hal ini tak lepas dari dinamika politik dalam negeri Indonesia sendiri, bahkan ia sempat dinobatkan sebagai Presiden Seumur Hidup. Selain itu, dengan kondisi negara yang kurang stabil akibat pertarungan ideologi dan politik kala itu, membuat Soekarno melakukan pendekatan-pendekatan ”Terpimpin” dalam menjalakan politik luar negeri maupun dalam negerinya untuk menjaga stabilitas dan bangunan politik Pancasila Indonesia. Tak urung, kemudian mucul Demokrasi Terpimpin Pancasila menggantikan Demokrasi Parlementer RIS. Kondisi ini mendekatkan Politik Luar Negeri Soekarno ke arah sosialisme yang cenderung mengarah pada blok Soviet. Tentunya, semua keputusan politik luar negeri berada di tangan Soekarno atas dasar Demokrasi Terpimpin. Pada masa ini, Soekarno membentuk Poros Jakarta-Phnom Penh-Peking-Pyongyang pada 1960-an, sebagai bentuk independensi membangun masa depan bangsa. Selain itu, diadakan pertemuan dengan China melalui kerangka CONEFO sebagai alternatif dari sistem PBB yang dianggap memelihara status quo Barat (Tan 2007: 154-155). Tak heran jika pada 31 Desember 1964 Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Meskipun begitu, dalam kerangka pengambilan keputusan tetap mempertimbangkan ”group decisionmaking” tetapi elitis dan nuansa ”terpimpin” Soekarno sangat kental.

Keempat, lingkungan Internasional masa itu berada pada seting menjelang akhir Perang Dunia II dan awal Perang Dingin, dimana sistem internasional bersifat bipolar dan high politic yang diwarnai oleh rivalitas Komunisme Soviet vs Liberalisme AS (Situmorang dalam Pareira [ed] 1999: 125-148). Kedua kekuatan tersebut saling berlomba-lomba membuat persenjataan modern yang menimbulkan ketegangan dan kecemasan internasional, pada akhirnya kekhawatiran akan perang nuklir muncul. Dalam kondisi semacam ini, Soekarno menilai perlunya suatu gerakan bersama dari negara-negara berkembang untuk tidak memihak salah satu Blok dan mempromosikan perdamaian dunia serta nilai-nilai internasionalisme Pancasila. Untuk itu, pada 1961 dibentuk Gerakan Non Blok sebagai respon ketidakberpihakan negara-negara berkembang terhadap bipolaritas AS dan Soviet tersebut. Dan pada 1955, diadakan Konferensi Asia Afrika di Bandung sebagai kelanjutan dari Konferensi Kolombo 28 April – 2 Mei 1954 di Srilanka. Tujuannya adalah untuk mempromosikan perdamaian dan membangun masa depan negara berkembang ke arah yang lebih stabil dan kondusif. Dan kepentingan Indonesia sendiri adalah dalam rangka menjaga dan memelihara integritas politik bangsa Indonesia yang baru merdeka sebagai pondasi bagi nation-building dan state-building. Di sinilah Indonesia menentukan posisinya dalam kerangka Politik Luar Negeri Bebas-Aktif.

Nampak bahwa politik luar negeri bebas-aktif Indonesia pada masa Soekarno condong ke blok Sosialis dan lebih pada isu-isu high politic dan perjuangan bangsa Indonesia dalam membangun image sebagai negara besar dan berpengaruh di level baik regional maupun internasional untuk setara dengan negara-negara lain. Hal ini tak lepas dari kondisi bangsa Indonesia yang saat itu baru merdeka dan sedang membangun nation- dan state-building-nya. Kesatuan politik lebih penting bagi Soekarno pada waktu itu daripada membangun basis ekonomi rakyat. Tak heran, semua itu telah tercermin dalam aksi dan reaksi serta interaksi politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Panglima Besar Revolusi, Soekarno.



[1] Yang mencengangkan, sesuai dengan hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB), pengakuan kemerdekaan Indonesia ternyata harus dibayar mahal dengan mengakui utang luar negeri yang dibuat oleh Hindia Belanda. Akibatnya, terhitung sejak 1950, pemerintah Indonesia serta merta memiliki dua jenis utang, yaitu utang luar negeri warisan Hindia Belanda senilai 4 miliar dolar AS, dan utang luar negeri baru Rp 3,8 miliar.

The Giant from The East Comes Back (What Learn Can We Get From The Revival of China)

Posted by Edy Jayakarya

By: M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Secara historis, China menganggap dirinya sebagai pusat peradaban dunia sampai pada akhirnya, melalui politik candu yang dilakukan Eropa, telah membuat goresan luka dalam sejarah China yang dikenal dengan Abad Penghinaan. Namun, melalui semangat yang super-intellegence dikalangan pemimpin China mulai dari Sun Yat Sen, Mao Tse Dung sampai Deng Xiao Ping telah membangkitkan kembali martabat China sebagai pusat peradaban dunia, hal ini terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang progresif telah membawa dampak bagi peningkatan kapasitas power China dalam hubungan internasional. Era ini merupakan tahapan China untuk sampai pada zaman keemasan klasik “The Middle Kingdom” dan ini merupakan momentum kebangkitan nasional China yang bertumpu pada sejarah, ideologi, dan karakteristik budayanya yang tinggi. Untuk itu, artikel ini akan membahas mengenai kebangkitan nasional China dan signifikansinya bagi bagi peningkatan power China secara regional dan global

Perkembangan yang menarik pada abad 21 ini adalah kebangkitan kembali China sebagai sebuah negara yang memiliki kapasitas ekonomi dan militer yang signifikan bagi pembangunan powernya dalam hubungan internasional. Hal ini telah berimplikasi pada pandangan baru dunia akan China, yang tidak lagi dipandang sebagai negara berkembang yang miskin atau seperti julukan yang diberikan Jepang, Zhi Na, yang artinya Orang Sakit di Asia (Wresti 2005 dalam Kompas, 23 Oktober 2005), tetapi China lebih dipandang sebagai the new global economic player di era globlalisasi sekarang. Nampak jelas perubahan pandangan tersebut berkorelasi dengan pembangunan yang begitu mengesankan selama kurang lebih tiga dekade akhir, sejak Deng Xiao Ping mereformasi dan memodernisasi China dalam empat program modernisasinya yang lebih sedikit terbuka dalam pembangunan ekonominya, walaupun masih berlandaskan pada sistem komunisme. Progresifitas ekonomi tersebut kini telah menjadi bukti nyata bagi kebangkitan kembali China.

Tentunya kebangkitan nasional China tak lepas dari fluktuasi sejarah masa lalu, dimana perkembangan tesebut telah menciptakan karakter bangsa dan dinamika progresif dalam pembentukan state-building China. Bagaimana tidak, paham konfusianisme sebagai peletak dasar falsafah bangsa China telah ditransformasi secara sosio-kultural oleh Mao Ze Dong ke dalam falsafah komunisme marxis-leninis sebagai bentuk ideologi untuk membangun China modern. Transformasi ini telah menciptakan perubahan sosial mendasar bagi kehidupan rakyat China yang lebih revolusioner. Komitmen untuk memperjuangkan komunisme telah dibayar mahal dengan tragedi Tiannanment yang banyak memakan korban jiwa demi tegaknya revolusi budaya China tersebut. Tak urung paham komunisme masih menjadi basis kekuatan utama bagi negara, khususnya Partai Komunis China dalam membentuk arah pembangunan bangsa ke depan. Namun, semangat komunisme awal yang digagas Mao mengalami banyak hambatan dalam mewujudkan China sebagai negara modern dan teori tiga dunia-nya, terlebih kemajuan pembangunan ekonomi masih lamban. Dinamika yang dihadapi dengan masa-masa sulit tersebut tak membuat komitmen untuk menjalankan komunisme semakin redup. Hal ini karena kuatnya peran negara dalam sistem sentralisasi dan semangat revolusioner telah menjadi bagian dari rakyat China yang kemudian membentuk komunisme militan. Pada perkembangannya, komunisme militan bertransformasi ke arah nasionalisme pragmatik, hal ini karena faktor kepentingan ekonomi lebih utama dalam membangun China (Sudjatmiko 2005, dalam Kompas, 20 Mei 2005).

Melihat dinamika yang kurang begitu menguntungkan bagi kemajuan China dengan sistem isolasionisnya, Deng Xiao Ping pada 1978 kemudian mencanangkan program empat modernisasinya demi memicu kemajuan sosio-ekonomi China sebagai sebuah entitas politik yang luas dan besar. Selain itu, Doktrin “Buyao Dangtou” (self-restraint) dan penggunaan istilah interdependensi sebagai penyebutan era Globalisasi telah menjadi landasan bagi pembangunan China ke depan. Pada era Deng ini, ekonomi China mulai terbuka bagi investasi asing (liberalisasi) untuk mengembangkan potensi ekonomi China. Liberalisasi ekonomi tersebut hanya sebagai instrumen untuk menopang dan memperkuat ekonomi domestik sehingga akan membangkitkan daya kompetisi ekonominya. Tentunya, tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan produktivitas dan standar ekonomi rakyat yang lebih “setara” dan makmur.

Meskipun begitu, sistem komunis masih merupakan pengatur dimensi kehidupan rakyat China. Hal ini yang kemudian memunculkan sebuah paradoks unik dalam sistem politik dan ekonomi China yang jika dilihat sekilas seperti terdapat amalgamasi Komunisme dengan Kapitalisme, dimana banyak pengamat yang menyebutnya sebagai sistem semi-kapitalisme atau memang itulah komunisme ala China yang telah mengalami pergeseran paradigma dari era Mao ke Deng dalam melihat dirinya secara internal dan eksternal. Terlepas dari paradoks diatas, program modernisasi Deng telah memberi arti bagi kemajuan dan kebangkitan China sebagai “great power” kembali, baik dalam kapasitas ekonomi maupun militernya. Pada 1980-an, misalnya, terjadi pertumbuhan sekitar 10 persen di sektor pertanian dan industri. Dan pada tahun 1992, dengan basis ekonomi pasar yang terkontrol, telah menimbulkan mobilitas para petani dari pedalaman ke perkotaan sebagai efek pembangunan ekonomi Deng.

Selain itu, sejak 1993 Deng telah menetapkan 2000 kawasan ekonomi khusus di China yang dapat dikembangkan sebagai sentra-sentra ekonomi bagi pusat pertumbuhan (Arvian 2007 dalam Tempo, 19-25 Februari 2007). Ini telah menurunkan laju inflasi pada 1996 sebesar 8 persen dan kemiskinan dari 53 persen pada 1981 menjadi 8 persen pada 2001.

Yang lebih menakjubkan di era kontemporer sekarang pada 2000-an adalah seperti yang diungkap oleh Kynge (2007) dalam bukunya [edisi terjemahan bahasa Indonesia] “Ekonomi Cina: Kebangkitan Cina Menggeser Amerika Serikat sebagai Super Power Ekonomi Dunia,” sebagai berikut.

# China telah menaikkan anggaran militernya, setidaknya mencapai enam kali lipat dari anggaran 1991-2004.

# China telah menggeser AS sebagai ekspotir terbesar kedua di dunia, dan diprediksikan pada 2010 akan merebut tempat pertama dari Jerman.

# Hampir 57 persen perusahaan di kawasan Asia Pasifik percaya bahwa 10 tahun lagi, China akan menjadi pasar konsumer terbesar di dunia, menggeser AS.

# Cadangan devisa China adalah yang terbesar di dunia—mencapai $1 triliun lebih.

# Dan pada 2006, China merupakan ekonomi terbesar kedua setelah AS, dan diperkirakan pada 2050 akan menjadi nomor satu di dunia. Selain itu, China memiliki surplus simpanan bank terbesar di dunia—hampir $180 miliar. (tertulis dalam halaman cover belakang)

Walaupun begitu, Kynge (2007) juga mengungkapkan bahwa dibalik fantastisme kebangkitan ekonomi China tersebut terdapat hal ironis yang mesti diperhatikan, yang jika tidak, akan menjadi boomerang bagi kebangkitan China sendiri, yaitu diantaranya pencemaran dan kerusakan lingkungan, seperti di daerah aliran Sungai Kuning yang kini telah dipenuhi limbah industri dimana diperkirakan 66 persen ainya sudah tidak aman lagi untuk dikonsumsi; masalah ekspoitasi buruh yang tidak memperoleh upah minimum standar; budaya korupsi; penegakan HAM; dan demokratisasi, dan lain-lain (Kompas, 5 Juli 2007).

Kemajuan ekonomi dan militer China dapat dikatakan sebagai momentum kebangkitan nasional demi mencapai ambisi China untuk menjadi “great power” kembali seperti pada zaman keemasan klasik The Middle Kingdom dimana China merupakan pusat peradaban dunia dengan segala kegemilangan budaya dan sosio-kulturalnya yang luhur. Kebangkitan ini tidak hanya dirasakan oleh China sendiri namun negara-negara lain terkena imbas raksasa yang sedang menggeliat ini. Hal tersebut kemudian membuat dinamika hubungan regional dan global di dunia internasional semakin mengarah pada “level pengaruh” dan “dominasi” China baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya, terutama kawasan-kawasan yang selama ini tergantung pada AS, Eropa, dan Jepang. Hadirnya China dengan bangkitnya kembali powernya telah menjadikan China sebagai potensi alternatif yang dilirik oleh berbagai kawasan dalam membuat titik balance of power baru dan memberi nuansa baru pula dalam hubungan regional maupun bilateral China dengan negara lain. Dalam dinamika kawasan Asia Tenggara misalnya, negara-negara dikawasan ini telah menjadikan China sebagai potensi baru bagi balance of power terhadap AS dan Jepang, dimana ketergantungan Asia Tenggara terhadap AS dan Jepang sangat tinggi terutama dalam bidang ekonomi dan militer. Selain itu, China merupakan potensi pangsa pasar terbesar bagi produk-produk Asia Tenggara dalam hubungan perdagangan dengan China, walaupun tidak dipungkiri bahwa dalam menjalin dan mengembangkan hubungan bilateral maupun regional dengan China, negara-negara Asia Tenggara dipenuhi oleh sikap hati-hati (Cipto, 2007).

Secara ekonomi, kebangkitan China telah meresahkan sebagian besar negara terutama AS dan Eropa dimana banyak produk-produk China telah membanjiri negara dan kawasan tersebut, sehingga daya kompetisi produk domestic mereka terlimbas oleh daya kompetisi harga dan kualitas produk China yang lebih efisien. Tak heran jika pada 2004 lalu Presiden George Bush menekan China untuk mematuhi aturan WTO dan menjamin hak buruh serta perubahan kurs Yuan terhadap dolar secara floating. Di sisi lain, terkait dengan budaya, bahasa Mandarin kini menjadi bahasa populer yang tidak boleh tidak merupakan bahasa internasional. Hal ini sangat signifikan bagi power China, karena bahasa merupakan bentuk atau bagian dari soft power sebuah negara (Mochtar Pabotinggi dalam Kuliah Tjokroaminoto 2008). Selain itu, peningkatan anggaran militer China telah membuat khawatir Jepang sebagai negara tetangga di kawasan Asia Timur akan bahaya ancaman militer yang sewaktu-waktu dapat terjadi karena dapat merubah konstelasi pengaruh dan dominasi Jepang di Asia Timur. Hal ini seperti yang diungkapkan Fukushiro Nukaga bahwa Jepang sangat concern terhadap peningkatan anggaran militer China pada akhir-akhir tahun ini, yang berarti bahwa Tokyo kembali lagi menyatakan kecemasannya mengenai upaya China dalam mengembangkan kekuatan militernya (www.geografiana.com).

Itu semua menunjukkan betapa kebangkitan China telah membentuk dan meningkatkan power China yang sangat berpengaruh baik dalam hubungan bilateral, regional, maupun global. Selain itu bahwa kebangkitan China telah membuat posisi China tidak lagi dipandang sebelah mata sebagai negara besar yang berkembang dan miskin, dimana paham komunisme tidak relevan bagi pencapaian kemakmuran rakyatnya. Namun, rintangan ideologis tidak menjadikannya sebagai hambatan dalam meraih tujuan nasionalnya berdasarkan paham komunisme. Dan ini telah membentuk power China sebagai pemain utama di era interdependen ini. Dapat dikatakan bahwa kini Raksasa Timur sedang menggeliat dan kita harus mengambil pelajaran dari bangkitnya Raksasa Timur tersebut.

“The Two Faces of Development” by Prof. Sunil Kukreja

Posted by Edy Jayakarya

By : M. Edy Sentosa Jk.

print this page Print this article

Review Artikel

Artikel yang ditulis oleh Prof. Sunil Kukreja berusaha menjelaskan perkembangan pembangunan ekonomi negara berkembang mulai dari era kemerdekaan–saat mereka mencari jati diri dan konsep pembangunan yang relevan bagi kondisi masyarakatnya –dan era global sekarang dimana kemajuan ekonomi dunia telah menciptakan ketimpangan ekonomi antara negara maju dengan negara berkembang, serta adanya usaha-usaha yang dilakukan negara berkembang untuk meningkatkan posisi dan suara mereka di forum-forum internasional dengan membentuk mekanisme kelembangaan dan kerjasama antara negara-negara berkembang –seperti OPEC, UNCTAD, NIEO, KAA–yang pada akhirnya akan terbentuk semacam regionalisasi dan “solidaritas” negara berkembang sehingga bargaining position mereka dalam sistem internasional semakin didengar, bahkan diharapkan menjadi agenda setter dalam isu-isu pembangunan ekonomi ala negara berkembang. Pada akhirnya, upaya untuk meningkatkan kapasitas pembangunan ekonomi negara berkembang tidak berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan, sebagaimana tercermin dalam collective action mereka membentuk kerjasama dan institusionalisasi, karena orientasi berbeda antara negara berkembang dalam hubungannya dengan negara maju, terlebih paradigma neoliberal dipakai oleh sebagian negara berkembang sebagai paradigma pembangunan ekonomi mereka, tak heran jika terdapat perkembangan yang berbeda antar negara berkembang sehingga memunculkan istilah NIC (new industrial countries) bagi mereka yang berhasil menerapkan paradigm tersebut, tetapi ada juga yang tidak berhasil, malah mereka terjebak oleh jeratan hutang luar negeri baik melalui IMF dan Bank Dunia maupun kelompok negara maju.

Istilah Pembanguan [Development] yang muncul pada 1970 dan 1980-an, atau dikenal dengan Ekonomi Pembangunan, merupakan istilah yang terkait erat dengan perkembangan pembangunan ekonomi negara berkembang dimana mereka berusaha membangun kapasitas ekonominya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Umumnya, usaha-usaha yang dilakukan tersebut tak lepas dari preskripsi negara-negara maju yang telah berhasil membangun kapasitas ekonominya melalui basis industrialisasi. Sehingga muncul dinamika pembangunan ekonomi dalam negara berkembang yang terkadang membawa dampak negative bagi kondisi sosial dan budaya masyarakatnya. Kapasitas suatu negara dalam membangun ekonominya akan tercermin dalam tingkat GNP negara tersebut, dimana tingkat GNP tersebut akan mencerminkan apakah suatu negara tergolong ke dalam negara maju [Utara] atau negara berkembang [Selatan]. Hal inilah yang kemudian memunculkan istilah Utara – Selatan [North – South].

Tentunya, berdasar historical context, hubungan Utara – Selatan telah terbentuk ketika masa kolonialisasi dan imperialism. Kondisi ini telah menciptakan gap indeks pembangunan ekonomi antara negara berkembang dengan negara maju [sebagai negara kolonialis dan imperialis ketika itu] sampai sekarang. Hal ini diperparah manakala mereka telah merdeka, dimana terjadi keguncangan kondisi politik dan sosial yang berdampak pada stabilitas dalam pembangunan ekonomi. Sehingga pembangunan ekonomi yang mereka lakukan t jarang kontraproduktif dengan kesejahteraan yang diinginkan rakyat. Menurut Kukreja, setidaknya ada empat faktor yang berpengaruh terhadap dinamika dan proses pembangunan ekonomi negara berkembang tersebut. Pertama, proses pembangunan selalu diwarnai sikap curiga dan phobia terhadap negara Eropa. Kedua, negara berkembang menganggap kondisi “ketertinggalan” mereka akibat dari sejarah eksploitasi sumber daya dan dominasi kultur Barat. Ketiga, dinamika dan proses pembangunan tersebut tak lepas dari konteks Perang Dingin yang telah menyebabkan kemunduran bagi negara berkembang. Keempat, adanya pandangan bahwa negara berkembang dapat maju jika mereka menerapkan pola dan logika pembangunan Barat. Dalam prosesnya, keempat faktor tersebut berimplikasi pada semakin tertantangnya pembangunan yang dilakukan negara berkembang. Oleh karena itu, mereka [negara berkembang] kemudian membentuk semacam kerjasama dan institusionalisasi regional untuk mengatasi dinamika dan tantangan pembangunan kapasitas ekonomi mereka. Pada 1955, mereka berkumpul bersama mengadakan KAA yang diadakan di Indonesia sebagai tindak lanjut Konferenasi Kolombo 28 April – 2 Mei 1954 di Srilanka. Dalam bidang ekonomi, mereka sepakat untuk membangun kerjasama ekonomi atas dasar saling menguntungkan dan saling pengertian dan pemantapan hubungan dagang antar mereka. Isu yang tak kalah penting lainnya adalah anti-kolonialisme dan imperialism yang sangat digaung-gaungkan negara berkembang sebagai eks-negara jajahan Barat. Hal ini diperlukan agar pembangunan yang dilakukan tidak kontraproduktif bagi perkembangan kemajuan rakyatnya.

Usaha lain yang dilakukan untuk meningkatkan bargaining position dan mencapai kepentigan bersama adalah pembentukan OPEC dan UNCTAD sebagai mekanisme dalam meciptakan New International Economic Order (NIEO) yang diharapkan akan menfaslitasi gap atau kesenjangan ekonomi dan pembangunan antara negara berkembang dengan negara maju. Melalui kerangka OPEC ini, negara berkembang sempat dapat melakukan tekanan terhadap Barat pada 1970-an ketika embargo minyak diadikan senjata bagi OPEC yang berdampak pada kelesuan ekonomi Barat secara total. Yang tak kalah pentingnya adalah terbentuknya G77 sebagai bentuk aksi bersama dalam membangun ekonomi antar negar berkembang, selain sebagai reaksi terhadap terbentuknya G7 oleh kumpulan negara maju.

Namun, usaha pembangunan kolektif yang dilakukan oleh negara berkembang tersebut, pada akhirnya mengalami kegagalan akibat kompleksitas masalah yang mereka hadapi–sehingga mereka lebih mementingkan kepetingan nasional masing-masing dari pada collective action yang telah disepakati sebelumnya–dan tingkat ketergantungan yang begitu besar terhadap negara maju sehingga tak jarang preskripsi pembangunan negara maju banyak dijadikan pedoman bagi negara berkembang walaupun harus dibayar mahal dengan sumber daya dan stabilitas ekonomi yang semakin kacau. Di sisi lain, wacana neoliberal, seperti konsep Tinggal Landas Rostow, telah menjadi paradigma pembangunan ekonomi dimana perdagangan bebas, industrialisasi, dan akumulasi kapital menjadi basisnya dan mengabaikan faktor sosio-kultural negara berkembang. Tak heran jika sebagian besar negara-negara berkembang kemudian terjebak pada jeratan hutang luar negeri dimana sumber daya dan kekayaan alam kemudian “tergadaikan”. Ada hal yang menarik ketika paradigma neoliberal yang diterapkan negara berkembang telah menunculkan kelompok negara baru yaitu, new industrial countries, khususnya negara di kawasan Asia. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, mengapa sebagian dari mereka berhasil membangun ekonominya sementara sebagian yang lain tidak? Tentunya untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan penelitian lebih lanjut. Demikianlah yang diungkapkan Prof. Sunil Kukreja dalam artikelnya yang berjudul “The Two Faces of Development.”

Clock

Posted by Edy Jayakarya

Practice French Language : A L’HOTEL

Posted by Edy Jayakarya

By : M. Edy Sentosa J. & Fendy Eko W.

print this page Print this article

(Le reseptionist/LS)

(Le client/LC)

LC : Bonjour, monsieur.

LR : Bonjour, monsieur.

LC : Avez-vous une chambre disponible ? J’ai fait reserver.

LR : Oui, monsieur. Vous desirez ?

LC : Je voudrais une chambre simple avec des lits jumeaux sur la cour, s’il vous plait.

LR : D’accord c’est possible, monsieur. Avec une salle de bains, bien sur ?

LC : Non non, une chambre simple avec une douche.

LR : Ah monsieur, les chambres simples avec une douche ne sont pas sur la cour mais sur la rue.

LC : Alors, je prends une chambre sur la rue, tant pis.

LR : Bien monsieur, c’est possible. Une chambre simple avec des lits jumeaux et avec une douche sur la rue.

LC : Et, Y a-t-il une climatisation ?

LR : Oui, monsieur.

LC : Et, Il y a la television ?

LR : Monsieur, ici, toutes les chambres ont la television, et le telephone, et la climatisation.

LC : Justement, je veux une chambre sans telephone et sans television !

LR : Mais monsieur, ce n’est pas possible.

LC : Il y a bien une solution... ?

LR : Une solution, il n’y a pas de solution, monsieur.

LC : Alors, tant pis.

LR : Pardon monsieur, pour combien de personnes ?

LC : Pour deux personnes.

LR : Et, pour combien de jours ? monsieur.

LC : Pardon monsieur, quel est le prix par nuit ?

LR : Le prix par nuit, pour une chambre simple avec des lits jumeaux et avec une douche sur la rue, ca fait 540F (cinq cent quarante France) par nuit.

LC : D’accord, je la prends. Pour 15 (quinze) jours.

LR : Oui monsieur, c’est possible. Une chambre simple pour deux personnes et pour de 15 (quinze) jours.

Monsieur, votre passeport, s’il vous plait ?

LC : Cette la passeport.

LR : Puis, veuillez remplir cette fiche, s’il vous plait.

Signez ici, s’il vous plait.

LC : Quel est le numero de ma chambre ?

LR : Voila monsieur, chambre numero 210 (deux cent dix) la troisieme etages. Merci.

LC : Numero 210, merci.


LC : Ah monsieur, il y a un prix reduit ? ici a l’hotel.

LR : Oh... pardon pardon monsieur. Pour 15 (quinze) jours le prix reduit 10% (dix pour cent) depuis 540F , ca fait 486F (quatre cent quatre-vingt six) par nuit. Pardon, monsieur.

LC : Ce n’est pas probleme. Merci.

.
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Tesekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 M. Edy Sentosa Jk. on http://theglobalgenerations.blogspot.com]*|...:::|*|
.
.